: Sosok Historiografi Sastra Indonesi
Djoko Saryono
Sudah tiga belas esai penulisan sejarah sastra saya tuliskan. Selain aspek-aspek teoretis, ketiga belas esai itu mencoba menelaah secara aspektual enam historiografi sastra Indonesia yang berpengaruh baik di kalangan sastra dan pembaca sastra maupun kalangan pendidikan. Bisa dikatakan enam historiografi itu menjadi panutan banyak pihak. Dapat dikatakan, keenam historiografi itu ditulis sampai pada awal Orde Baru, paling tidak babakan sejarah sastra yang dijangkaunya sampai tahun 80-an. Pertanyaan yang muncul: seperti apakah historiografi sastra Indonesia yang muncul atau ditulis setelah tahun 80-an? Sebelum pertanyaan tersebut saya jawab dalam esai-esai berikutnya, marilah kita simpul-perikan sosok atau gambaran umum historiografi sastra Indonesia berdasarkan elemen-elemen atau aspek-aspek historiografi yang sudah diuraikan dalam esai-esai terdahulu.
Berdasarkan esai-esai terdahulu kita tahu bahwa sastra Indonesia dikonsepsikan berbeda-beda oleh para penulis sejarah sastra Indonesia karena dasar pemikiran dan perspektif yang mereka gunakan berbeda-beda juga. Meskipun demikian, kelima penulis historiografi yang ditelaah mengonsepsikan sastra Indonesia secara eksistensial, bukan esensial. Perumusan konsepsi sastra Indonesia diletakkan atau ditempatkan di tengah proses transformasi sosial, budaya, bahasa, dan politik; bukan diletakkan dalam citra idealistis tentang sastra Indonesia. Karena persepsi kelima penulis berbeda tentang transformasi ini mengakibatkan berbeda rumusan konsepsi sastra Indonesia. Akan tetapi, kelima penulis tampak sepakat bahwa sastra Indonesia merupakan spesies baru sastra yang hakikatnya modern yang lahir dari proses transformasi sosial, politik, budaya, dan bahasa sebagai akibat mekarnya nasionalisme dan disangga oleh paradigma negara-bangsa Indonesia.
Selanjutnya pembabakan waktu (periode) dan angkatan (generasi) tidak sama dalam kelima historiografi sastra Indonesia yang ditelaah. Ketidaksamaan ini disebabkan oleh (i) masa penulisan historiografi yang berbeda, (ii) pendekatan penulisan sejarah sastra yang tidak sama, dan (iii) konsepsi sastra Indonesia yang dipedomani atau diikuti oleh kelima penulis. Walaupun demikian, ketidaksamaan ini tidak subtansial, tetapi formal dan redaksional sebab terdapat kemiripan jangkauan waktu dan isi (bahan) yang dimasukkan ke dalam historiografi.
Pada dasarnya kelima historiografi memulakan babakan sejarah sastra Indonesia pada awal Abad XX walaupun alasan dan latar penetapannya tidak sama; dan mengakhiri babakan sejarahsastra Indonesia pada saat buku ditulis. Demikian juga penentuan angkatan sastra Indonesia. Sementara itu, jangkauan (waktu dan isi) sejarah sastra Indonesia tidak sama dalam kelima historiografi yang ditelaah. Ketidaksamaan ini disebabkan oleh (i) perbedaan konsepsi tentang sastra Indonesia yang dianut para penulis, (ii) masa buku ditulis berbeda, dan (iii) pendekatan penulisan sejarah sastra Indonesia yang berbeda.
Meskipun alasan dan latarnya berbeda, pada dasarnya kelima penulis memulakan waktu sastra Indonesia pada sekitar awal Abad XX. Zuber Usman, Bakri Siregar, Ajip Rosidi, dan Jakob Sumardjo menentukan titik permulaan sastra Indonesia pada tahun 1900 walaupun alas an dan latarnya berbeda;dan A. Teeuw menentukan titik permulaan sastra Indonesia pada tahun 1920. Dan, menurut kelima penulis ini titik akhir waktu sastra Indonesia berbeda lebih karena persoalan teknis penulisan buku daripada konsepsional. Pembicaraan sastra Indonesia oleh Zuber Usman diakhirkan pada tahun 1950-an karena bukunya ditulis pada dasawarsa itu; oleh Bakri Siregar diakhirkan pada tahun 1961 karena bukunya ditulis pada tahun 1964; oleh Ajip Rosidi diakhirkan pada sekitar tahun 1966 karena bukunya ditulis pada tahun 1968 dan belum direvisi menyeluruh sampai sekarang; oleh Teeuw diakhirkan pada tahun 1978 karena bukunya selesai ditulis ulang pada awal tahun 1980.
Dalam pada itu, perbedaan jangkauan isi karena masa penulisan buku dan pendekatan penulisan sejarah sastra Indonesia. Isi buku Zuber Usman dan Bakri Siregar sampai bahan-bahan tahun 1950-an;Ajip sampai dengan tahun 1960-an;dan Teeuw dan Jakob sampai tahun 1970-an. Isi buku Usman tidak mengikutsertakan sastra Melayu Rendah, sastra Melayu Tionghoa, sastra picisan Medan, dan konteks sosial, politik, dan budaya. Dalam pada itu, buku Jakob justru mengikutsertakan semua itu. Dalam hubungan ini buku Siregar dan Ajip mengikutsertakan konteks sosial, politik, dan budaya yang terkait di samping tokoh dan karya sastra. Buku Teeuw, meskipun tidak mengikutsertakan sastra Melayu Rendah dan Tionghoa, mengikutsertakan sastra terjemahan, sastra populer, dan peristiwa kesenian dan kesusastraan di samping tokoh-tokoh sastra dan karya-karya sastra yang penting.
Lebih lanjut, pendekatan penulisan sejarah sastra Indonesia berbeda-beda. KBI Zuber Usman lebih menggunakan pendekatan tokoh yang diteruskan dengan karya. SSIM Bakri Siregar menggunakan pendekatan sejarah umum khususnya sejarah sosial politik. ISSI Ajip Rosidi menggunakan pendekatan karya yang digabung dengan tokoh dan konteks sosial budaya. SBI I dan SBI II Teeuw menggunakan pendekatan semiotika meskipun tidak sepenuhnya. Dan LSIM Jakob Sumardjo menggunakan pendekatan sejarah umum khususnya sejarah sosial budaya dengan dipadu dengan pendekatan sosiologi sastra.
One Reply to “PENULISAN SEJARAH SASTRA INDONESIA (14)”