PENULISAN SEJARAH SASTRA INDONESIA (21)

: Sosok Samar Cerpenis Perempuan dalam Historiografi Sastra

Djoko Saryono

Dalam perspektif gender, ditemukan sosok samar sastrawan perempuan dalam sejarah sastra dan historiografi sastra Indonesia, walaupun sastrawan perempuan hadir dan berkiprah lebih awal daripada sastrawan laki-laki. Hal ini dapat disimak dalam dunia percerpenan Indonesia. Pertanyaan pokoknya, sebagai kreator sastra Indonesia yang lebih dulu hadir dalam dunia sastra Indonesia, siapakah cerpenis-cerpenis Indonesia awal yang telah menggubah cerpen dan menyiarkan cerpen-cerpen mereka di surat kabar dan atau majalah pada dua dasawarsa terakhir Abad XIX dan dasawarsa awal Abad XX? Seperti apakah sosok mereka atau minimal seperti apakah identitas sosial budaya mereka? Sosok cerpenis Indonesia dua dasawarsa terakhir Abad XIX dan dasawarsa awal Abad XX tersebut hanya samar-samar atau tersingkap sangat terbatas, bahkan bisa dikatakan tidak jelas atau tidak gamblang. Sejarah sastra Indonesia dan historiografi sastra Indonesia yang ada tampak mengabsenkan mereka.

Dikatakan demikian sebab nyaris semua sejarah-umum sastra Indonesia dan historiografi sastra Indonesia tak banyak mengulas dan memberi ruang bahasan bagi mereka. Di samping itu, juga sedikit sekali atau sangat terbatas informasi tentang mereka baik yang diberikan oleh media massa cetak maupun dokumen lain pada satu pihak dan pada pihak lain sudah tidak mungkin mencari informasi lisan kepada pihak-pihak terkait berhubung peristiwanya sudah sangat lampau. Pada paruh kedua Abad XIX dan awal Abad XX, pada umumnya media massa cetak berupa surat kabar dan majalah yang menyiarkan cerpen tidak selalu mencantumkan nama cerpenis, apalagi menampilkan identitas cerpenis secara jelas-lengkap seperti sekarang.

Data cerpen memang menunjukkan bahwa tidak semua cerpenis dicantumkan namanya dalam cerpen-cerpen yang mereka gubah dan kemudian dimuat di surat kabar dan atau majalah. Cukup banyak cerpenis yang cerpennya dimuat di surat kabar dan majalah Cahhabat Baik, Bintang Djohar, Warna Sari, Bok Tok, Penghiboer, dan lain-lain hanya disebut Anonim, mirip kebiasaan atau tradisi penulisan sastra daerah di berbagai geokultural Indonesia pada masa sebelumnya. Cukup banyak juga cerpenis yang hanya menggunakan nama sandi, misalnya nama Orang Kecil dan Que, hal yang mirip kebiasaan atau tradisi penulisan sastra Jawa Kuno pada masa lampau seperti sandi nama Empu Tanakung [Ahli nan Sedih] atau penulisan novel mashur Max Havelaar yang penulisnya disebut Multatuli [Aku yang Menderita].

Selain itu, ada pula cerpenis-cerpenis yang lebih menggunakan nama samaran, nama asli dan identitas sebenarnya tidak disebutkan dalam surat kabar dan majalah yang menyiarkan cerpen-cerpen mereka. Dalam hal ini bisa terjadi cerpenis sesungguhnya berserks (berjenis kelamin) laki-laki, tetapi menggunakan nama samaran perempuan. Dapat juga terjadi seorang cerpenis menggunakan beberapa nama samara. Lebih lanjut, data memperlihatkan, ada pula cerpenis-cerpenis yang secara terus-terang mengumumkan nama dan identitas mereka, atau minimal surat kabar dan majalah yang menyiarkan cerpen mereka mencantumkan pula nama dan identitas mereka.

Sesungguhnya tidak banyak atau hanya sedikit cerpen yang digubah dan disiarkan di surat kabar dan majalah pada dua dasawarsa terakhir Abad XIX dan dasawarsa pertama Abad XX disertai nama dan identitas cerpenis yang menggubahnya. Data menunjukkan bahwa cerpen-cerpen yang disiarkan di surat kabar dan majalah, antara lain Bintang Johar dan Cahabat Baik, pada dua dasawarsa terakhir Abad XIX tidak bernama alias anonim semua. Sandi nama, nama samaran, dan atau nama sesungguhnya baru dikemukakan serba sedikit dalam cerpen-cerpen yang disiarkan surat kabar dan majalah yang terbit pada dasawarsa pertama dan kedua Abad XX, antara lain majalah Bok Tok dan Penghiboer.

Contoh nama sandi atau sebutan, nama samaran, dan atau nama sebenarnya yang dicantumkan menyertai cerpen adalah Que, Orang Kecil, Modern, Touchstone, Juvenlie Kuo, Thio Liang Hin, dan Tuan H.F.R. Kommer. Berhubung ketersediaan dan keterjangkauan informasi yang saya miliki, saya tak dapat dilacak apakah nama sandi atau sebutan, nama samaran, dan nama sebenarnya tersebut adalah orang yang sama atau berbeda; apakah sebutan Modern itu sesungguhnya redaktur atau pengelola atau malah Kommer?. Apakah sebutan Orang Kecil itu sesungguhnya orang Peranakan Tionghoa ataukah keturunan Belanda ataukah orang pribumi?. Bahkan tidak bisa memastikan pula apakah sebutan Que, Orang Kecil, dan Modern itu lelaki ataukah perempuan?

Informasi-informasi pendukung atau sekunder pada umumnya juga tidak tersedia atau tidak terjangkau sehingga penelusuran identitas cerpenis juga sangat minim. Sebagai contoh, berdasarkan beberapa serpihan informasi pendukung memang dapat diketahui terdapat dua orang cerpenis yang selalu menyebutkan namanya, yaitu Tuan H.F.R. Kommer dan Thio Liang Hin. Tuan H.F.R. Kommer tergolong cerpenis yang sangat produktif dan telah pula menerbitkan antologi cerpen gubahannya dengan judul Warna Sari yang diterbitkan oleh Penerbit Boekhendel Tan Swan Le, Surabaia, pada tahun 1912, tetapi informasi lain yang komprehensif tentang identitasnya juga tidak tersedia. Demikian juga nama Thio Liang Hin yang beberapa kali memublikasikan cerpen-cerpennya di majalah Penghiboer.

Itu semua memperlihatkan bahwa identitas fisikal dan sosial budaya cerpenis Indonesia pada masa kelahiran dan awal perkembangan sastra Indonesia [dua dasawarsa terakhir Abad XIX dan dasawarsa pertama-kedua Abad XX sangat sulit diketahui secara pasti dan akurat, bahkan tidak mungkin diketahui sekalipun dengan mencermati cerpen yang digubahnya dan media massa cetak yang memuatnya. Mungkin hal ini disebabkan oleh tiada atau belum berkembangnya kebiasaan atau tradisi pemublikasian nama dan identitas cerpenis akibat komunalisme yang masih kuat di samping kebiasaan atau tradisi jurnalisme yang belum terbuka atau belum menganggap identitas penulis sebagai hal penting. Oleh karena itu, identitas fisikal dan sosial budaya cerpenis Indonesia sulit sekali dideskripsikan dan dieksplanasikan secara jelas dan lengkap; hanya bisa digambarkan secara sangat terbatas dan fragmentaris.

Berkenaan dengan itu, dalam perspektif gender, juga hampir mustahil dapat dideskripsikan dan dieksplanasikan identitas cerpenis perempuan dan atau identitas cerpenis laki-laki secara utuh-jelas. Sepanjang dua dasawarsa terakhir Abad XIX malah nama sandi atau sebutan dan nama samaran pun mencerminkan atau mengisyaratkan identitas laki-laki. Lebih-lebih sebutan Anonim jelas tidak bisa diketahui identitasnya sama sekali apakah laki-laki atau perempuan. Selain sebutan Anonim, pada dasawarsa pertama dan kedua Abad XX yang tersedia atau disebutkan juga nama sandi atau sebutan dan nama-nama samaran yang mencerminkan identitas cerpenis laki-laki.

Nama-nama sebenarnya cerpenis yang memublikasikan cerpennya juga merupakan nama laki-laki, misalnya Tuan H.R.F Kommer dan Thio Ling Hin. Tidak mengherankan, maskulinitas sangat menonjol dalam sejarah kepengarangan sastra Indonesia pada masa awal pertumbuhan dan pembentukan sastra Indonesia modern. Akan tetapi, tidak berarti feminitas tidak mewarnai sejarah perkembangan cerpen Indonesia. Di tengah dominasi warna maskulinitas, warna feminitas tetap terlihat dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan cerpen Indonesia karena semenjak tahun 1930-an para perempuan telah hadir, berpartisipasi, dan terlibat secara aktif, intensif, dan bermakna serta tidak dapat diabaikan dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan cerpen Indonesia.

Meskipun secara kuantitatif berjumlah jauh lebih sedikit dibandingkan dengan laki-laki, sejak awal pertumbuhan dan perkembangan cerpen Indonesia para perempuan sudah hadir, berpartisipasi, dan terlibat secara aktif, intensif, dan bermakna di dalam penulisan kreatif cerpen Indonesia, dua di antaranya S. Rukiah dan Suwarsih Djojopuspito. Mereka berdua dapat dijuluki cerpenis perempuan Indonesia. Secara sosial budaya, dalam batas-batas tertentu, cerpenis perempuan Indonesia itu memiliki karakteristik tertentu atau khusus dibandingkan dengan cerpenis laki-laki Indonesia. Dengan kata lain, terdapat identitas sosial budaya tertentu pada para cerpenis perempuan Indonesia di dalam sejarah pertumbuhan dan perkemban¬gan cerpen Indonesia. Di sinilah dapat diaju¬kan pertanyaan: Seperti apakah identitas sosial budaya cerpenis perempuan Indonesia dalam sejarah perkembangan cerpen Indonesia dan historiografi sastra Indonesia semenjak awal sastra Indonesia sampai dengan sekarang? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan memperhitungkan atau mempertimbangkan indikator (1) asal daerah/etnis, (2) pendidikan, (3) pekerjaan atau profesi dan aktivitas, (4) posisi dan kelas sosial dalam masyarakat, dan (5) kemampuan kreatif para cerpenis perempuan Indonesia yang dicermin¬kan melalui lamanya berkreasi, produktivitas, dan kualitas cerpen mereka. Berdasarkan lima indikator tersebut dapat dipetakan dan diperikan identitas sosial budaya para cerpenis perempuan Indonesia (yang dapat dikatakan penting) dalam sejarah perkembangan cerpen Indonesia dan historiografi sastra Indonesia.

Bersambung…

2 Replies to “PENULISAN SEJARAH SASTRA INDONESIA (21)”

Leave a Reply

Bahasa »