Perihal Dalil Kiai Sutara


Fatah Yasin Noor *

Kalau Kiai Sutara mendalil, maka doktrin agama adalah filsafat.

Saya agak bimbang meresensi buku Dalil Kiai Sutara (selanjutnya disingkat DKS). Untuk pengarangnya tidak saya singkat. Ini sebagai bentuk apresiasi saya dan rasa hormat. Saya tak mau mengikuti kepongahan penulis hebat yang suka menyingkat nama orang. Sapardi Djoko Damono disingkat SDD. Lukas Luwarso senang menyingkat nama orang. AS Laksana disingkat ASL. Goenawan Mohamad dengan GM. Nirwan Dewanto, ND. Nirwan Ahmad Arsuka dengan NAR.

Buku DKS adalah kumpulan esai. Terasa masih hangat, baru keluar dari percetakan. Sebelum saya buka isinya, ini kebiasaan saya, saya hirup bau kertas buku tersebut. Setelah bungkus plastik tipis buku itu kita buang ke keranjang sampah. Menjelaskan secara rinci bau buku perlu perbendaharaan kata sifat yang memadai. Memang agak sulit mengiris dengan kata bau-bauan yang bersumber dari buku. Boleh jadi kadar penciuman semua orang sama. Tapi boleh jadi juga sudah lahir cabang ilmu pengetahuan yang khusus memperkarakan indera penciuman. Kenapa hati terasa nyaman saat menghirup bau wangi. Juga kenapa rasanya pingin muntah saat mencium bau busuk. Tentu saja kita tidak menyalahkan hidung. Kadar kolesterol tinggi setelah makan daging kambing. Bisa diredakan dengan mengunyah bawang putih dan bawang merah mentah.

Kesan pertama mengelus buku Dalil Kiai Sutara (DKS): pastilah ini buku sangat serius. Seperti sebuah kitab yang berisi ilmu rahasia dan pengetahuan filsafat agama yang berat. Perlu waktu khusus untuk membacanya dan tidak boleh serampangan. Memperlakukannya seperti kitab suci yang sakral. Tidak bisa dibuka meloncat-loncat sembarangan kayak membuka majalah remaja yang penuh gambar-gambar menarik.

Kesan pertama itu tidak salah kalau menilik cover buku DKS ini: polos. Ini bukan novel atau buku dari penerbit besar yang memperhitungkan desain cover untuk menarik pembaca. Setidaknya desain sampul yang menuntun pembaca untuk menerka isinya. Cover digarap sendiri oleh penulisnya. Juga penghalaman isinya.

Mungkin ini kerja yang melelahkan, tapi mendatangkan kebahagiaan untuk pengarangnya. Capek tidak terasa kalau tenggelam dalam keasikan. Akhirnya mewujud buku yang layak jadi koleksi.

Menilik isinya, ternyata kesan pertama itu salah. Kita terkecoh oleh penampilan visual. Dalil Kiai Sutara adalah buku apa. Seperti buku-buku kumpulan tulisan Taufiq sebelumnya. Tapi sayang sekali kalau buku DKS tidak dibolak-balik. Dibuka lembar demi lembar. Sekumpulan tulisan dalam buku ini boleh dibaca dari mana saja. Kiai Sutara bercerita lagi dan lagi. Tulisan Taufiq ini sebenarnya mengambil bentuk bertutur ala cerpen. Dialog seorang santri dengan gurunya. Pemikiran dan pandangan si aku yang santri. Sebagai orang kedua, Kiai Sutara. Sementara si aku adalah santri yang patuh. Si santri nakal (dalam tanda petik walau petiknya gak ada) selalu memancing Kiai Sutara untuk bicara.

Kemampuan Taufiq Wr Hidayat dalam membangun dialog. Kiai Sutara adalah tokoh utama. Dari Kiai Sutara keluar banyak dalil yang kontekstual. Menolak agama sebagai dogmatisme. Kasarnya, agama itu hanya sampiran. Sederhana tapi mengandung kebenaran, misalnya soal agama. Tapi Taufiq tak jarang bermonolog.

Cover buku ini gelap dan dalam. Sama sekali tidak ada petunjuk kalau isi buku ini sebetulnya kumpulan prosa, sastra, esai, dan sejumlah cerita kehidupan sehari-hari. Tulisan-tulisan ringan yang mengalir lancar. Tak ada gambar atau ilustrasi yang menuntun pembaca untuk menafsir isi buku. Kata dalil menambah sangar. Sejumlah kutipan – katakanlah petuah bijak menambah nilai sebuah cerita. Tidak sembarangan asal mengutip. Respon “Kiai Sutara” terhadap banyak hal atas fenomena hidup. Ada kebenaran hakiki yang mendesak untuk diutarakan.

Untuk yang kesekian, saya lupa, mungkin Dalil Kiai Sutara buku yang keenam. Taufiq Hidayat memang gemar menerbitkan tulisannya sendiri. Tak ada hasrat menyodorkan tulisannya ke penerbit lain. Taufiq sudah sangat tahu bagaimana cara menerbitkan buku. Dia langsung berhubungan dengan percetakan. Tapi masalahnya bukan di situ. Kemerdekaan dan kebebasan sepenuhnya di tangan Taufiq. Tak ditekte penerbit. Iya, penerbit sebagai perusahaan tak mau rugi tapi untung. Buku dicetak untuk dijual, itu pasti.

Saya merasa tidak perlu lagi mengupas tulisan Taufiq Wr Hidayat. Saya anggap pembaca sudah hafal dan tahu kedalaman diksi dan gaya tulisan Taufiq Wr Hidayat. 78 esai dibagi menjadi empat sub judul. Membaca semuanya adalah kesetiaan yang keras kepala pada kejenuhan. Saya katakan saja tulisan di buku ini adalah, seluruhnya, esai. Definisi esai dipaparkan Arief Budiman sebagai tegangan antara fiksi dan yang faktual. Taufiq merespon kenyataan sosial politik dan agama dengan argumentasi, sekaligus mengelak jaratan formalisme lewat bentuk fiksi. Kiai Sutara yang fiktif menjadi cara si aku penulis menitipkan pemikirannya.

Mengamalkan bentuk dengan strategi ini sejatinya adalah sastra, dalam artian esai sebagai sastra. Puluhan esai Taufiq ini ibaratnya butiran kelerang di kantong. Setiap kelereng memiliki coraknya yang warna-warni. Kita bisa memungut satu kelereng dari kantong, dan menimangnya sepanjang hari. Ternyatalah, dengan cara mendekatkan sebutir neker di pelupuk mata, kita lupa di dalam nejer tadi mengandung pesan. Mungkin pesan moral, atau agama. Tapi segera kita melupakannya.
***

*) Fatah Yasin Noor, lahir di Banyuwangi tahun 1962. Puisi-puisinya dalam antologi API (Angkatan Penyair Indonesia, 1998). Esai-esainya bagai nyanyian ganjil -mengusung sesuatu yang nyaris tak tertangkap publik. Sajak-sajak tunggalnya terkumpul dalam buku “Gagasan Hujan” (PSBB, 2003), “Rajegwesi” (PSBB, 2009). Kumpulan catatannya yang unik dan panjang terhimpun dalam “Seribu Jalan Raya” (PSBB, 2011). Tulisannya tersebar di media-media massa nasional dan lokal, Kedaulatan Rakyat, Jawa Pos, Majalah Budaya Jejak dan Bali Post. Puisinya yang dimuat di koran Bali Post itulah yang menarik, waktu itu redakturnya Umbu Landu Paranggi. Tahun 1979, esainya yang kritis berjudul “Film Nasional, Sebuah Tanggapan” dimuat media sastra legendaris dan pertama kali di Banyuwangi, Kertas Budaya Jejak, besutan alm. Pomo Martadi dan Hasnan Singodimayan.
Fatah menempuh pendidikan menengah dan tinggi di Yogyakarta, -boleh jadi tradisi berpikir kritisnya terbangun dari sana. Di Banyuwangi, nyaris media sastra tidak lepas dari tangan dinginnya. Ia Pimred jurnal Sastra-Budaya Lembaran Kebudayaan, dan pernah mengomandani kelompok budayawan serta seniman yang menolak Dewan Kesenian Banyuwangi (DKB) tahun 2002. Ia bersama gerbong para budayawan “bawah tanah” sempat mendirikan DKB-Reformasi, sebagai tandingan DKB “pemerintah” bergaya Orba waktu itu. Gerak budaya yang dikerjakan sastrawan nyentrik ini tak bisa dianggap remeh, terbukti “gerbong” DKB-R produktif melahirkan karya-karya berkualitas secara berkala dan melakukan kajian sastra pula penulisan sejarah Banyuwangi. Tahun 1998, menjadi salah satu dari kelompok muda yang menghadirkan alm. W.S. Rendra di Gedung Wanita, Banyuwangi, dalam peluncuran buku puisi para penyair Jawa-Bali “Cadik”, sehari sebelum tumbangnya Soeharto! Di masa itu bukan main-main mengadakan kegiatan sastra yang kritis berhadapan dengan aparat. Di tahun itu juga, bersama penyair dan budayawan lain, ia mengemukakan sikap anti kekerasan menyoal peristiwa “santet” di Banyuwangi.

Leave a Reply

Bahasa »