“Pesta Remeh-Temeh” (The Festival of Insignificance) adalah novel kesebelas dari Milan Kundera. Berlatar di Paris, novel tipis ini bercerita tentang Alain, seorang laki-laki yang memiliki ketertarikan khusus terhadap misteri pusar sebagai daya tarik seksual wanita; Ramon, seorang pensiunan intelektual yang kerap kali punya masalah dengan suasana hatinya–sebagaimana misteri pusar bagi Alain, suasana hati juga menjadi sesuatu yang menarik perhatian Ramon sedemikian rupa; D’Ardelo, mantan rekanan Ramon, seorang laki-laki berkepribadian narsistik yang selalu ingin menarik perhatian orang lain dengan berbagai cara, termasuk dengan merekayasa penyakit kanker yang tak dideritanya; Charles dan Caliban, dua sahabat Alain dan Ramon yang menjalankan sebuah firma katering; dan Quaquelique, laki-laki tua yang masih saja menyibukkan diri dengan wanita-wanita muda demi menghindarkan diri dari kebosanan dan demi mendapatkan suasana hati yang menyenangkan.
Sebagaimana novel-novel sebelumnya, di dalam buku teranyarnya ini Kundera masih mengandalkan lelucon, seks, dan politik sebagai racikan esensial dalam ceritanya. Ia mengetengahkan sosok Stalin yang gagal menggiring rekan-rekan seperjuangannya ke dalam lelucon yang dituturkannya sebagai simbol dari politik yang kehilangan rasa humor. Dan bagi Kundera, ini adalah satu penanda zaman baru, zaman di mana lelucon tak lagi mampu meringankan berat serta sulitnya hidup beserta hal-ihwal yang tak tertahankan.
Masalah eksistensi juga masih menjadi perhatian Kundera di dalam novelnya ini. Eksistensi, beserta segala kebebasan serta kehendak yang dimilikinya, ia benturkan langsung dengan hak asasi manusia yang dalam praktiknya malah terkesan–atau boleh jadi–paradoks: Manusia kerap mengingkari hak asasi manusia atas nama hak asasi manusia. Sebuah lelucon yang lain!
Kundera yang begitu rewel soal bahasa juga menciptakan adegan anekdotikal dengan menghadirkan tokoh Caliban yang berpura-pura menjadi seorang Pakistan dan berbicara dalam bahasa Pakistan fiktif kepada seorang gadis Portugis yang berbicara dalam bahasa Portugis. Dan, ternyata, dua orang yang berkomunikasi dengan dua bahasa yang berbeda dan tidak saling memahami itu bisa menjadi sedemikian intim!
Dalam “Pesta Remeh-Temeh,” entah karena faktor usia atau hal yang lainnya, Kundera seperti ingin mengatakan bahwa dirinya tak lagi peduli dengan apa pun, dengan segala sesuatu. Tak ada yang serius di dalam kehidupan ini sehingga menyikapi kehidupan dengan serius hanya akan membuat tindakan itu sendiri menjadi konyol dan menggelikan.
Ada semacam ‘titik-balik’ di dalam novel ini, di mana Kundera, yang begitu percaya pada kekuatan lelucon, pada akhirnya berujar: “Hanya ada satu perlawanan yang memungkinkan: jangan menganggap serius lelucon.” Pada tahap ini ia melihat bahwa lelucon–yang ia imani–ketika disikapi secara serius, pada gilirannya akan kehilangan kekuatan serta hakikatnya sebagai lelucon itu sendiri, sebagai sesuatu yang meringankan dan membebaskan kita dari sikap serius dan hal-ihwal yang serius.
Menarik manakala Kundera menukil pandangan Hegel ihwal “unendliche Wohlgemutheit”–suasana hati menyenangkan (good mood) yang tak terbatas; hal itu bisa dilihat sebagai harapan terakhir Kundera di usia senjanya, bahwa yang ia inginkan hanyalah merasa senang, melepaskan diri dari segala sesuatu, menghindarkan diri untuk tidak terjebak dalam kesia-siaan menyibukkan diri dengan segala sesuatu, dan hanya berbahagia.
Dari mulai buku pertamanya, “The Joke” (1967), hingga bukunya yang paling akhir ini, “The Festival of Insignificance” (2014), Kundera telah sebisa mungkin membawa lelucon serta spirit humor hingga batas yang paling memungkinkan. Apa yang telah ditulisnya di dalam novel-novelnya semisal “The Joke,” “The Unbearable Lightness of Being,” “The Farewell Party,” “Identity” dan “The Book of Laughter and Forgetting,” ia kumpulkan, ia padukan, dan ia sarikan kembali di dalam “Pesta Remeh-Temeh” ini.
*) Lutfi Mardiansyah, lahir di Sukabumi, 4 Juli 1991. Menulis puisi dan prosa, serta menerjemahkan karya-karya sastra.