Puisi Kontemporer, Antara Amir dan Chairil

Tjahjono Widijanto *
Republika, 13 Apr 2008

Seperti halnya sejarah, sastra juga mengenal mitos. Mitos dalam sastra ibaratnya perambah jalan sekaligus memberikan ruang kosong bagi generasi selanjutnya. Sebaliknya, seorang kreator, apapun genre yang dimasukinya tidak dapat melepaskan dirinya sebebas-bebasnya dari jejak-jejak pendahulunya yang ikut menyediakan jalan untuk dilaluinya.

Perkembangan generasi puisi Indonesia modern bermula dari dua mitos besar: Amir Hamzah dan Chairil Anwar. Perubahan tradisi perpuisian Indonesia yang beranjak dari dunia kosmologis budaya lama ke modernitas bermula dari Amir Hamzah. Bahasa puisi menjadi sasaran dan pusat perjuangan puisi-puisi Amir Hamzah.

Bahasa Melayu sebagai cikal bakal peradaban pusi Indonesia menurut Amir Hamzah harus mampu menghadapi perubahan dan perombakan menjadi bahasa yang memiliki kekuatan ucap menghadapi zaman. Perubahan dan perombakan itu diperlihatkannya dengan menggunakan bahasa Melayu dalam puisi-puisinya.

Amir Hamzah melakukan perubahan dan pemberontakan terhadap bahasa Melayu dengan teramat halus bahkan nyaris tidak kentara. Di satu pihak seolah-olah Amir Hamzah terikat dengan bahasa Melayu di pihak lain dengan sangat kreatif memasukkan berbagai kosa kata Jawa, Kawi bahkan Sanksekerta dalam sajaknya. Di tangannya bahasa Melayu beranjak dari dunianya menuju dunia ‘bahasa Indonesia’ yang melahirkan estetika puisi yang hebat tenaga pembayangnya.

Chairil Anwar menyebut puisi-puisi Amir Hamzah sebagai sinar cemerlang untuk gerakan bahasa baru walaupun ia destruktif terhadap bahasa lama. Melalui puisi-puisinya ia membawa bahasa Melayu keluar dari ‘pingitannya’ sebagai bahasa yang hanya hidup dalam bangsawan-bangsawan Melayu menuju alam ke-indonesiaan yang lebih terbuka, yang diharapkannya mampu mengemban ‘kebudayaan baru untuk persatuan Indonesia’.

Upaya Amir Hamzah untuk membawa bahasa Melayu ke bahasa Indonesia bagaimanapun juga tidak dapat melepaskan diri dari alam pikiran kosmologi budaya yang melingkupinya. Bagaimanapun kuatnya upaya Amir Hamzah memberontak terhadap bahasa Melayu, tetap tak berdaya membebaskan diri dari tradisi puisi kapujanggan atau tradisi puisi sastra kitab yang selalu menyikapi puisi sebagai representasi dari keindahan imanen-transenden yang terwujud dalam keindahan alam.

Akibatnya puisi-puisi Amir Hamzah cenderung tampil lembut mendayu-dayu dengan selalu menampilkan alam sebagai suatu keharmonisan yang indah dan menghayutkan yang sebenarnya secara realita mengingkari kenyataan alam kolonial.

Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Chairil Anwar pada dekade berikutnya. Chairil benar-benar memberontak dan memporak-porandakan bahasa Melayu. Puisi-puisi Chairil Anwar muncul sebagai alternatif perjuangan linguistik yang benar-benar baru dalam sastra.

Bahasa ucap Cairil muncul sebagai bahasa yang lebih berdarah yang tidak mendeskripsikan alam sebagai ‘gantungan sukma’ yang indah dan menghanyutkan tetapi justru menampilkan alam yang mencekam dan mengerikan. Alam bukan lagi representasi dari keindahan transedental tetapi representasi dari realitas zaman yang menyesakkan dada.

Kalau puisi-puisi Amir Hamzah melakukan perubahan bahasa Melayu dengan mencoba tetap berpijak di buminya, puisi-puisi Chairil benar-benar lahir dari upaya ‘meninggalkan sama sekali” dari bumi budayanya yang lama. Dengan tegas sekali diteriakannya: “Tiap seniman harus seorang perintis jalan. Penuh keberanian. Tidak segan memasuki hutan rimba penuh binatang puas, mengarungi lautan lebar tak bertepi, seniman adalah hidup yang melepas bebas.” (Pidato Chairil Anwar, 7 Juli 1943).

Semangat untuk melepas bebas dan mereguk segala sesuatu untuk menuju ke komologi budaya yang baru dengan tanpa ragu-ragu itu tercermin dengan gamblang dalam baris-baris puisi ”Kapada Kawan” sbb.

Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan
Tembus jelajah dunia ini dan balikkan
Peluk kecup perempuan, tinggalkan kalau merayu
Pilih kuda paling liar, pacu laju
Jangan tambatkan pada siang dan malam

Meskipun, diakui pula oleh Chairil bahwa perjalanan budaya ke yang ‘baru’ itu mengakibatkan juga seorang penyair untuk ‘dikutuk’ selalu mencari-mengembara tanpa sampai pada titik final, seperti terbaca pada sajak “Tak Sepadan” sbb.

Sedang aku mengembara serupa Ahasveros
Dikutuk sumpahi Eros
Aku merangkak dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka

60 tahun kemudian setelah era Amir Hamzah wajah perpuisian Indonesia di tangan generasi penyair yang lebih muda seperti Acep Zam-zam Noer, Zawawi Imron, Cecep Samsul Hari, dll, meskipun dengan pengucapan bahasa yang berbeda masih ada yang berangkat dari alam dan mampu membawa kepada pembacanya kepada “tamasya bahasa” seperti terlihat pada penggalan puisi “Cipasung” Acep Zam-zam Noor sbb.

Di lengkung alis mata sawah-sawah menguning
Seperti rambutku padi-padi makin merundukkan diri
Dengan ketam terus kupanen kesabaran hatimu
Cangkulku iman dan sajadahku lumpur yang kental

Puisi ini merupakan contoh bagaimana generasi terdahulu mampu menyediakan jalan bagi generasi berikut, dan sebaliknya bagaimana sebuah generasi baru dapat suntuk belajar dari generasi terdahulu meskipun berangkat dari ruh dan alam budaya yang berbeda.

Demikian juga semangat pengembara dan petualang Chairil yang berujung pada kerentanan pada kosmologi budaya lama juga masih menunjukkan gaungnya pada generasi sesudahnya. Seperti misalnya apa yang dialami penyair Goenawan Mohhamad yang harus ihlas menjadi malin kundang yang tidak pernah dapat kembali pada kosmologi budaya ibunya dan dikatakannya — penyair harus berani berdiri bebas tanpa masa lalu!

Kosmologi budaya lama merupakan kenyataan lampau yang dianggap tak lagi mampu ikut berkembang, kenyataan yang telah dihentikan cuma sepenggal kenangan, yang dalam puisinya “Kwatrin Sebuah Poci” dikatakan sebagai sesuatu yang kelak retak dan kita membikinnya abadi.

Kegelisahan puisi Chairil yang berusaha menggapai dunia baru akibat ketidakpercayaan terhadap kosmologi budaya lamanya mencapai puncaknya pada puisi-puisi Afrizal empat puluh tahun kemudian. Puisi-puisi Afrizal tampil sebagai personifikasi langsung dari gejolak budaya yang berlangsung di Indonesia pada generasinya, yang oleh Afrizal dikatakan sebagai migrasi budaya yang meninggalkan dunia lama yang kemudian menghasilkan sosok-sosok pribadi dan perubahan yang secara kultural tidak pernah dapat kembali pada budaya ibunya, dikatakan dalam pisinya:

Perubahan adalah sebuah kendaraan besar, untuk siapapun yang tidak mau jadi batu. Dan mereka bermigrasi diantara usungan-usungan mikropun: Memindahkan jenazah ayah sepertimemindahkan kesedihan, dari wabah kematian di luar sana (“Panorama Kematian Ayah 1”).

Generasi-generasi dalam puisi Afrizal adalah generasi yang hidup tanpa merasa dinaungi kosmologi dan mitologi historis yang jelas dan mengikat, generasi yang harus berumah dari timbunan kosmologi dan mitologi yang sudah membusuk dan memperbaiki diri diantara hiruk-pikuk, kecemasan, kegalauan dan kebisingan.

*) Tjahjono Widijanto, Penyair dan guru sastra.

Leave a Reply

Bahasa »