Kompas, 13 April 2019
Collegio del Verbo Divino
In principio erat Verburm,
et Verbum erat apud Deum,
et Deus erat Verbum,
(Ioan, Et)
Dari tempat itu seorang pastor Styria dikirim
Ke sebuah tempat di ujung dunia
Seorang bocah dari ujung dunia
Datang ke sana, di kemudian hari,
Mencari kata pertama yang dilupakan
Ketika si pastor meletakkan semua
Ingatannya di lembaran-lembaran kertas.
“Tak kami kenal huruf,” katanya
Kepada si pemimpin biara, orang yang
Menjemputnya di stasiun metro, dan
Menjamunya dengan pasta, parutan keju
Dan prosciutto.
“Tapi engkau membacanya dengan baik,”
Ujar si pemimpin biara menatapnya
Setelah menelan sepotong semangka.
“Ia berusia sebaya dirimu ketika diutus,
Dan kau tahu, selalu tidak mudah meratakan
Jalan yang bergelombang. Di sana, pada masanya,
Kupikir, bahkan belum ada domba untuk dicari.
Lihat dirimu, kau seekor domba sekarang.”
“Kami tak perlu menjadi domba
Jika hanya dibutuhkan untuk tersesat.”
“Siapa gembalamu?”
Bocah itu coba menebak, apa kemungkinan
Jawaban yang diberikan Yesus kepada Pilatus
Ketika pertanyaan tentang kebenaran belum
Sempar ia jawab, Pilatus malah keluar menemui
Orang-orang Yahudi dan mencuci tangannya.
Belum ia temukan kata pertama, tapi begitu
Banyak pertanyaan lain memenuhi kepalanya.
2017-2018
Seperti Kartago
buat Sitor Situmorang
Bahagia, o bahagia berlimpah, seandainya kapal-kapal
Troya tak pernah menyentuh pantai-pantai kami!
(Vergilius, Aeneis, buku IV, baris 657-658)
Seperti Kartago, habis dihancurkan,
Kulihat Dido mengarahkan pedang putus asa
Ke batang lehernya sendiri,
Tempat suara hilang tak kembali.
Adakah kesalehan Aeneas memancar dari sana?
Seperti Kartago, dibajak lalu tandus digarami,
Apakah yang mesti Vergilius katakan kepada si malang,
Yang dadanya berlubang ditembusi pedang,
Saat sepasang mata beradu sebelum angin melenyapkan pandang?
Adakah Kristus bagi si perempuan yang dirajam?
Seperti Kartago bagi Roma, siapakah lawan, siapakah kawan
Bagi Kristus ketika si mempelai mengabaikan derita kekasihnya?
Apakah cinta jika tak ada bahagia?
2018
Pietà
Ia sudah kusut
Sebelum semua ditimpakan kepadanya,
Sebelum jiwa-jiwa zaitun di bukit itu
Berguguran seperti dikutuk.
Mundur 23 tahun.
Ia berusia 1- tahun, berdiri di depan ibu
Yang menghapus sisa-sisa pasir di lututnya.
Ia jatuh, tapi tak takut.
Ia bangun dan tersenyum.
Ada ibu menjaganya.
Ia pikir untuk selamanya.
Tidak untuk selamanya, tentu saja.
Bahkan bapa pun sempat meninggalkannya.
Ia kini seekor keledai yang membongkar
Seluruh muatannya,
Dan sendiri menghadapi lubang jarumnya.
Di ujung lain adalah gelap.
Ia lihat gelap
Dan tak lihat apa pun
Sebelum kulit wajah ibu terkelupas
Seperti cat tua dari tangan Firenze
Di langit-langit sebuah kapela,
Tempat bapa, yang tangannya bendak
Meraih tangan sang perempuan,
Dibiarkan beku,
Sebelum ibu memeluknya.
2017-2018
Jalan Ke Koloseum
“Telah dihapuskan kata pertama dari nama kami
Ketika ia gurat buku permandian,
Ketika ia baca Kejadian, Tawarikh dan Matius.
Ia lenyapkan bunyi dari silsilah,
Ia gulung layar kami,
Ia tusukkan mesin Eropa pada lambung
Perahu kecil kami.”
2017
Mario F. Lawi bergiat di Komunitas Sastra Dusun Flobamora. Buku puisi terbarunya Keledai yang Mulia dan Puisi-puisi Lainnya (2019).