RISIKO SASTRA DI BAWAH SUBORDINASI BAHASA

Djoko Saryono *

/1/
Dalam pemikiran sastra atau teori sastra modern dan malah mutakhir, paradigma kebahasaan berperanan sangat kuat dalam menentukan keberadaan sastra dan mencipta¬kan definisi sastra. Bahasa menjadi alas, dasar, dan landasan keberadaan dan definisi sastra. Pemikiran Rolland Barthes, Roman Jakobson, Gerard Genette, Tzvetan Todorov, Julian Kristeva, Derrida, dan Colin MacCabe, misalnya, menempatkan bahasa sebagai paradigma keberadaan dan pendefinisian sastra. Demikian juga teori-teori formalis, stilistika, strukturalis, pascastrukturalis, hermeneutika, dan dekonstruksi, misalnya, melihat keberadaan dan definisi sastra melalui bahasa.

Hal tersebut menunjukkan, pada dasarnya pemikir-pemikir modern sastra, pemikiran-pemikiran modern sastra, dan teori-teori modern sastra menjadikan bahasa sebagai determinator keberadaan dan definisi sastra. Hal ini mengakibatkan sastra di bawah regimentasi dan hegemoni bahasa: sastra merupakan subordinasi kuasa bahasa. Di sinilah kemudian muncul pandangan bahwa sastra mengada dan mendefinisikan diri dalam bahasa.

Pandangan tersebut kita kenakan juga kepada sastra Indonesia. Bahasa Indonesia telah kita jadikan determinator keberadaan dan definisi sastra Indonesia sehingga sastra Indonesia kita letakkan di bawah hegemoni bahasa Indonesia: sastra Indonesia merupakan subordinasi kuasa bahasa Indonesia. Selanjutnya, hal ini menimbulkan pandangan bahwa sastra Indonesia mengada dan mendefinisikan diri dalam bahasa Indonesia. Secara tegas sekali, hal ini bisa disimak, misalnya, dalam buku-buku pelajaran bahasa dan sastra Indonesia dan buku-buku apresiasi sastra Indonesia.

Demikianlah, bahasa Indonesia telah menjadi segala-galanya dalam sastra Indonesia sehingga sastra Indonesia di bawah bayang-bayang regimentasi dan hegemoni bahasa Indonesia. Tak terelakkan, sastra Indonesia dikuasai oleh logosentrisme sehingga ia pun selalu dilengketkan (tidak bisa dilepaskan dari) pada bahasa Indonesia. Dan, bahasa Indonesia pun menjadi panglima sastra Indonesia.

Sementara itu, kita tahu, bahasa Indonesia merupakan temuan nasionalisme Indonesia. Bersama-sama dengan tanah air dan bangsa Indonesia, ia menjadi manifestasi dan representasi paling nyata dari nasionalisme Indonesia. Di sinilah nasionalisme mengendalikan tanah air, bangsa, dan bahasa Indonesia. Selanjutnya tanah air dan bangsa Indonesia mengendalikan bahasa Indonesia. Karena itu, bahasa Indonesia di bawah kendali dialektika nasionalisme dan bangsa Indonesia. Ketika nasionalisme dan bangsa Indonesia sibuk menolak primordialisme atau lokalisme, bahasa Indonesia pun diharuskan menolaknya; ketika nasionalisme dan bangsa Indonesia sibuk membangun jati diri bangsa Indonesia, bahasa Indonesia pun harus ikut mewujudkannya; dan, ketika nasionalisme dan bangsa Indonesia sibuk mempertahankan dan meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa, bahasa Indonesia pun harus ikut mendukungnya.

Itu terus berlangsung sampai sekarang, sebagaimana akhir-akhir ini terlihat pada gerakan pengindonesiaan bahasa Indonesia. Semua ini mengimbas ke sastra Indonesia: secara tidak langsung sastra Indonesia pun (terbebani) harus ikut menolak primordialisme, membangun jati diri bangsa, dan memper-tahankan dan meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa.

/2/
Ada berbagai risiko yang harus diterima oleh sastra Indonesia dalam keberada-an dan definisi tersebut. Pertama, sastrawan Indonesia yang bukan beribu bahasa Melayu atau bahasa Indonesia mengalami kesulitan, bahkan dilema eksistensial. Banyak sastrawan Indonesia yang berasal atau bertolak dari berbagai bahasa lokal merasa gamang dan gagap ketika harus menyatakan diri atau mengekspresikan diri ke dalam bahasa Indonesia. Misalnya, banyak sastrawan Indonesia yang bertolak dari Jawa yang muncul tahun 1960-an dan 1970-an merasa gagap dan terasing ketika menulis dalam bahasa Indonesia yang karena hubungannya dengan nasionalisme dan bangsa Indonesia terbebani oleh nasionalitas dan sentralitas politik.

Goenawan Mohamad merasa menjadi Malin Kudang ketika harus meninggalkan bahasa ibunya, dan menulis puisi dalam bahasa Indonesia sebagaimana bisa dibaca dalam eseinya Potret Penyair Muda sebagai Si Malin Kundang; Linus Suryadi A. G. merasa terlempar ke dalam sebuah situasi sangat asing yang serba membatasi diri ketika menulis bahasa Indonesia sebagaimana bisa disimak dalam eseinya Transformasi Diri dalam Puisi Indonesia; Darmanto Jatman merasa menjadi manusia peralihan atau kepompong sebagaimana bisa disimak dalam esei Seorang Jawa Menulis dalam Bahasa Indonesia. Ajip Rosidi juga mengalami hal yang sama sehingga harus menjadi sastrawan ulang-alik Indonesia dan Sunda.

Bahkan sastrawan yang muncul tahun 1980-an dan 1990-an juga masih merasakan apa yang dirasakan Goenawan, Linus, dan Darmanto ini, antara lain Aming Aminuddin, Tjahjono Widarmanto, dan Bonari Nabonenar. Dhimas Arika Mihardja (almarhum), penyair dari Jambi, merasa belum menemukan tanah air dan pijakan karena bahasa Indonesia yang telah dipilihnya ternyata pecah-pecah:”tapi dimana segala yang bernama kata? Huruf-huruf berlepasan/ menikam dan membunuh dirinya sendiri/sekian lama kita meratapi bahasa yang pecah/ berdarah-darah”, keluhnya dalam sebuah puisinya. Ini semua, sekali lagi, menunjukkan bahwa sastrawan Indonesia sebenarnya menghadapi kesulitan, bahkan dilema eksistensial.

Pada umumnya ada dua cara dipilih oleh para sastrawan Indonesia untuk mencoba keluar dari kesulitan atau dilema eksistensial tersebut. Cara pertama ialah mengusung anasir budaya dan bahasa ibunya ke dalam sastra Indonesia. Hal ini banyak dilakukan oleh sastrawan-sastra¬wan berbahasa ibu bukan Melayu atau bahasa Indonesia. Misalnya, Goenawan Mohamad, Linus Suryadi A.G., Darmanto Jatman, Y.B. Mangunwijaya, Wisran Hadi, Ajip Rosidi, Ramadhan K.H., Gerson Poyk, I Gusti Panji Tisna, dan sebagainya mengusung anasir budaya dan bahasa ibunya ke dalam karya-karya mereka. Cara kedua ialah kembali kepada budaya dan bahasa ibunya ketika berkarya. Tidak sedikit sastrawan Indonesia yang menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa ibunya untuk keluar dari dilema eksistensial kesastrawanan¬nya. Ajip Rosidi, Suparto Broto, Wahyu Prasetya, Bonari Nabonenar, dan Tjahjono Widijanto, misalnya, menulis juga dalam bahasa ibunya di samping bahasa Indonesia. Sampai menjelang wafatnya, bahkan Romo Mangun masih menyimpan keinginan untuk menulis roman dalam bahasa Jawa.

Kedua cara tersebut ternyata mengakibatkan para pengamat dan kritikus, bahkan pembaca sastra melontarkan tuduhan yang bukanbukan (menurut saya). Umar Junus, sebagaimana bisa dibaca dalam bukunya Fiksyen dan Sejarah: Suatu Dialog, menuduh para sastrawan dari Jawa telah mengorbankan bahasa Indonesia pada satu pihak dan pada pihak lain memenangkan bahasa Jawa. Linus Suryadi A.G., menurut Umar Junus, telah mengorbankan bahasa Indonesia secara habishabisan dan memenangkan bahasa Jawa dalam karyanya Pengakuan Pariyem. Isu jawanisasi sastra Indonesia begitu panjang melanda sastra Indonesia. Teeuw menuduh ada jawanisasi sastra Indonesia sebagaimana dilontarkan di Horison dan Jawa Pos beberapa waktu lalu. Selanjutnya, banyak juga kritikus dan pembaca sastra Indonesia mengatakan adanya kebangkitan warna lokal yang hanyalah mencermin¬kan primordialisme dalam dunia sastra Indonesia.

Tuduhan¬-tuduhan tersebut muncul, saya kira, karena bahasa Indonesia yang dikendalikan oleh proyek-proyek nasionalisme dan bangsa Indonesia telah menjadi determinator keberadaan dan definisi sastra Indonesia. Inilah akibat kedua regimentasi dan hegemoni bahasa Indonesia dalam sastra Indonesia dan berkuasanya logosentrisme dalam sastra Indonesia.

Akibat ketiga adalah bahwa sastra Indonesia selalu dilengketkan atau dibawah-kan pada bahasa Indonesia dalam berbagai kepentingan politik kebangsaan. Dalam pendidikan (pengajaran) nasional, secara niscaya sastra Indonesia dimasuk¬kkan ke dalam pengajaran bahasa Indonesia sehingga pengajaran sastra Indonesia merupakan bagian pengajaran bahasa Indonesia. Pengajaran sastra Indonesia di bawah subordinasi pengajaran bahasa Indonesia. Dalam politik kebahasaan, sastra Indonesia dijadikan salah satu unsurnya atau bagiannya. Hal ini bisa dilihat pada apa yang dikerjakan oleh Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Di lembaga ini pelindungan, pembinaan, dan pengembangan bahasa Indonesia membawahkan pembinaan dan pengembangan sastra Indonesia.

Demikian juga Kongres Bahasa Indonesia selalu membawahkan sastra Indonesia: pembicaraan dalam kongres ini meliputi pembica¬raan sastra Indonesia. Bahkan perundang-undangan kebahasaan terutama UU Kebahasaan dan PP Kebahasaan menempatkan sastra Indonesia di dalam bahasa Indonesia. Semua ini menyebabkan sastra Indonesia tidak pernah terlepas dari bayang-bayang nasionalisme, bangsa, dan negara-bangsa: sastra Indonesia senantiasa diharubiru oleh hirukpikuk proyek dan persoalan nasionalis¬me, bangsa, dan negara-bangsa Indonesia tanpa pernah sempat menyelesaikan proyek atau tugas dan masalah kulturalnya sendiri.

/3/
Regimentasi dan hegemoni bahasa Indonesia dalam sastra Indonesia, sebagai-mana terlihat pada ketiga risiko di atas, ternyata mengganggu keberkem-bangan, kemandirian, dan kebebasan sastra Indonesia dalam dialektika budaya bangsa Indonesia. Kalau kita menginginkan sastra Indonesia terbebas dari ketiga risiko di atas sehingga bisa berkembang, mandiri, dan bebas menentukan arah dan jati dirinya secara berarti, maka sastra Indonesia harus bisa membebas¬kan diri (dibebaskan?) dari regimentasi dan hegemoni bahasa Indonesia: perlu diupayakan agar keberadaan dan definisi sastra Indonesia terbebas dari subordinasi kuasa bahasa Indonesia.

Terbebasnya sastra Indonesia dari regimentasi, hegemoni, dan logosentrisme bahasa Indonesia akan membuat para sastrawan Indonesia lebih mandiri dan bebas berkreasi dan mentransfor¬masikan diri ke dalam sastra Indonesia, membebaskan sastrawan dan sastra Indonesia dari berbagai tuduhan yang tidak perlu, dan menjadikan sastra Indonesia bisa berdiri sendiri dalam konteks negara-bang¬sa Indonesia. Demikian juga keinginan agar pengajaran sastra Indonesia dipisahkan dari pengajaran bahasa Indonesia dapat direalisasi.

Pembebasan tersebut bisa kita mulai dengan cara mencermati berbagai pemikiran sastra yang menyodorkan determinisne bahasa dan mengembangkan pemikiran sastra yang bertolak dari perspektif humaniora, budaya, atau kesenian sebagai alternatifnya. Kemudian kita membebaskan sastra Indonesia dari subordina¬si bahasa Indonesia. Setelah itu, barulah bisa dilakukan pembebasan yang lain, misalnya pembebasan dari pandangan primordial tentang sastra dan sastrawan Indonesia, pemisahan pengajaran sastra dari pengajaran bahasa Indonesia, dan pembebasan sastra Indonesia dari proyek nasionalisme dan negara bangsa Indonesia. Meskipun demikian, harus diingat, semua itu sungguh sulit, bahkan muskil di tengah gairah penyederhanaan dan korporatisasi berbagai bidang kebudayaan dan peradaban.
***

*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.

One Reply to “RISIKO SASTRA DI BAWAH SUBORDINASI BAHASA”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *