Hudan Hidayat
– Nama –
Teori bukanlah penjelasan menjelaskan agar kita mengerti keadaan, tetapi keadaan itu sendiri. Keadaan adalah hasil teori; keadaan adalah teori. Dengan demikian kita hidup dalam dunia teori sehingga segalanya adalah teori. Jagat raya dan isinya adalah wujudnya, dan akan selalu disertai teori di setiap geraknya. Kehidupan ini hasil teori. Wajah teori berupa “tiada” meniscayakan “ada”, berlaku universal. “Ada” dan “Tiada” adalah sepasang oposisi. Saat indera melihat ke matanya melalui cermin, saat itu teori berjalan serentak: untuk melihat ke mata teorinya: harus ada cermin. Tanpa bantuan cermin kita tidak bisa melihat mata kita. Begitulah teorinya, tetapi begitu juga teorinya walau tanpa cermin kita sanggup melihat ke mata karena fungsi cermin telah diambil-alih pikiran. Pikiran bisa memandang ke matanya. Ia memandang melalui imajinasi.
Dunia seolah-olah rumit tapi sebenarnya sederhana. Ia eksistensi logika dengan nalar sebagai jantungnya. Masalah dunia seolah masalah diri yaitu materi yang terlihat mata dan immateri yang tak terlihat mata. Badan sedemikian jelas kelihatan tapi kesadaran di balik badan seakan Tuhan yang tidak bisa dicapai pengelihatan. Apakah keyakinan telah menggugurkan nalar? Keyakinan membuat kesadaran berpisah tapi ia adalah buah teori: kehadiran ada yang berpasangan. Teori muncul menghadapi perbedaan keyakinan melalui susun bersusunnya nilai yang dikandungnya. Akibatnya makna menjadi bertingkat-tingkat. Apabila diteorikan “keindahan membawa kita kepada kebenaran”, esensinya adalah kenyataan yang memiliki sifat kebun berjunjung: susun bersusunnya keindahan dan kebenaran yang menjadi sifat segenap ada.
Bertolak dari Surat Penyair Ia memberitahu melalui “bunyi” yang akhirnya terolah menjadi “tulisan”: ada puisi di dalam badan, seperti ada “puisi” di dalam “prosa”: Surat Penyair ialah Taa Siin Mim. Lika-liku yang sangat aneh, unik, bisa kita mulai dari sini akan relasi dunia yang kita maknai. Dunia yang bertingkat-tingkat, dijelaskan dengan penjelasan yang masuk akal, tapi kemudian susun bersusunnya makna, dari kebun berjunjung, mengaburkannya kembali seperti berita yang dibawakan oleh Surat Penyair. Kebun berjunjung yang amat menarik hati adalah tubuh seolah pohon di mana buah bukanlah di puncak pohon tapi di tengah, di dada bernama mirruhi. Bukan kepala yang memikirkan tapi dada. Apabila di puisi: bukan nama puisi yang menjadi kata induk tapi makna puisi yang menjadi isi puisi. Kata induk atau induk kata mendistribusikan, atau mengisap pecahan-pecahan untuk dijadikan pusat perbincangan.
Harun Nasution mengutip Al-Qur’an tentang “pikiran di dada” ini, sehubungan dengan soal wahyu. Apabila kita hubungkan dengan muasal kejadian maka persambungan ruh dengan dada memperlihatkan kesinambungan karena ia adalah kalbu yang letaknya di dada bukan di kepala. Nama puisi membuat kita ikut memikirkan, setelah sebelumnya penyair. Letaknya di atas, bahkan seolah terpisah dengan keseluruhan isi puisi. “Apakah mereka tidak melakukan perjalanan di permukaan bumi dan mereka mempunyai kalbu untuk memahami atau telinga untuk mendengar; sesungguhnya bukanlah mata yang buta tetapi kalbu di dalam dadalah yang buta.” (s. 22 – a. 46). “Memahami” adalah pekerjaan “pikiran”, dan pikiran disebut “di dada”: kalbu. Ia diseolahkan “telinga” yang “mendengar”, kalbu ini (“bukanlah mata yang buta tetapi kalbu”). Mata yang melihat, telinga yang mendengar, dengan demikian adalah caraNya berucap, mengucapkan hakikat “center”, yang kelak di teori sastra, “Work” yang menjadi ketiga elemen Abrams (Universe, Artist, Audience) sebagai tempat tumpahan. “A triangle Will do, with the work of art, the thing to be explained, in the center.” Tetapi sebenarnya ia pecahan dari “center” lain adalah “mirruhi”. “Fa’izaa sawwaituhuu wa nafakhtu fihi mir ruuhii…”. (Al-Qur’an Surat 38 ayat 72). Sebagaimana mirruhi adalah pecahanNya, sebagai pusat segala sesuatu termasuk ilmu sastra.
“When you told me you didn’t need me anymore”
Mengandaikan sumber ilmu sastra dariNya membawa akibat yang sangat jauh terhadap ukuran-ukuran sastra, atau seni pada umumnya. Mula-mula “Abrams” bergoyang. Center-nya diusik oleh susun bersusunnya kebun berjunjung. Karya kini terbalik karena Work bukanlah pusat lagi tapi tepi – tepian mirruhi. Gangguan yang masuk akal karena tingkatan-tingkatan ini merangkak naik, untuk terus naik karena “benda jatuh” ini ingin kembali. Romantisme dalam karya hanyalah pantulan dari surga yang telah hilang. “When you told me you didn’t need me anymore” adalah kuasa negatif yang tidak tertuju pada kamu-manusia tapi Dia sang pencipta. Sebuah “bahasa hitam” mengapa terasa indah di hati adalah salah satu akibat yang ingin kita arungi. Benarkah Dia yang tidak inginkan kita lagi atau sebaliknya: kita yang telah menampikNya. Kita mewacanakan hitam dari putih: warna yang menjadi bahasa kitabNya. Warna para penyair. Penyanyi juga seperti lirik lagu Mother yang kita letakkan bersama bunyi-Isyana: “Yang ditanam mengapa berduri”. Seperti bunyi lain yang kita dengar, bunyi Fendi: “kerikil yang membuat malas kakiku.”
Tiupan yang berbalik kita rasakan saat membeda-bedakan bunyi dan tulisan. Tulisan itu berumpit dengan lisan. Tulisan ada saat kita memikirkannya sebagai bayangan ide. Saat menulis adalah saat memberi gambar bernama bahasa terhadap sesuatu ialah bunyi, atau lukisan di dalam jiwa. Kita menuliskan pikiran, membuat konkret apa yang abstrak. Seolah Ia: menghidupkan badan konkret dari hembusan nafasNya. Kuhidupkan kamu, dengan jalan menghembuskan nafasKu. Dalam karangan nafas ini berembus lewat pena tempat jemari kita menggenggam. Merasakan keanehan yang memuncak jadi perasaan absurd, itulah pengalaman saat menyadari tangan kita sedang menggenggam mirruhi. Berupa: yang ditanam mengapa berduri? Berupa: yang membuat malas kakiku. Jejak hitamnya: apakah dirimu tidak menginginkan diriku? Elemen-elemen dari setiap perpisahan di bumi, dalam prinsip dapat kita kembalikan ke surga dengan bahasa musik yang kita maknakan kepadanya. Keadaannya adalah “You didn’t need me anymore”. Dengan begitulah ayah pergi, ibu tinggal, atau ibu pergi, ayah tinggal. Atau keduanya pergi dan tinggallah kita sendiri. Tiada yang senduli. Nasib berjalan begitu saja – siapa yang mengendalikannya? Pokoknya adalah perpisahan, serta pertemuan. Kedatangan dan kepergian. Meninggalkan bekas dari “segala rasa”, akibatnya. Puisi kita mengucapkannya sebagai
“rasa dari segala risau”, tapi juga: “sepi dari segala nabi”.
Merangkak turun ke bumi atau memanjat naik ke langit seakan sama saja, bukan bergantung kepada bahasa tapi kepada diri sendiri. Sebab diri sendiri yang bisa memutihkan atau menghitamkan mirruhi, karena ia ada di dalam jantung kita sendiri.
Mereka adalah “Nama”, nama kiri atau nama kanan. Bertemu apakah Milton saat naik ke langit? Aku-lirik Kemala juga naik ke Langit, turun ke bumi membawa Nama sebagai puisi. Nama ini disahkan oleh suara ganda dalam Surah Matahari. Kemala mengekalkannya. Milton juga. Paradise Lost, katanya. Kata Kemala: Nama, seraya diiringi asmaulhusna. Kata milik Kemala agak berbeda dengan Kata milik Milton: “Nama” Kemala kelihatannya menyadari betapa “rumit” di Langit itu. Karenanya ia berhati-hati bukan melepas imaji-imaji sesuka hati.
Jika Milton melompat-lompat dengan “opini”nya Kemala terlihat bersandar kepadaNya dalam pengucapan yang tenang, penuh kepatuhan dari makhluk yang Sujud Li Sajidin kepadaNya.
Milton:
OF Mans First Disobedience, and the Fruit
Of that Forbidden Tree, whose mortal tast
Brought Death into the World, and all our woe,
With loss of Eden, till one greater Man
Restore us, and regain the blissful Seat,
Sing Heav’nly Muse, that on the secret top
Of Oreb, or of Sinai, didst inspire
That Shepherd, who first taught the chosen Seed,
In the Beginning how the Heav’ns and Earth
Rose out of Chaos: or if Sion Hill
Delight thee more, and Siloa’s brook that flow’d
Fast by the Oracle of God; I thence
Invoke thy aid to my adventrous Song,
That with no middle flight intends to soar
Above th’ Aonian Mount, while it pursues
Things unattempted yet in Prose or Rhime.
And chiefly Thou, O Spirit, that dost prefer
Before all Temples th’ upright heart and pure,
Instruct me, for Thou know’st; Thou from the first
Wast present, and with mighty wings outspread
Dove-like satst brooding on the vast Abyss
And mad’st it pregnant: What in me is dark
Illumin, what is low raise and support;
That to the highth of this great Argument
I may assert Eternal Providence,
And justifie the wayes of God to men.
Kemala
Nama
Asmaulhusna
Waktu Adam dijadikan Allah
ia diajar rahsia Nama.
Waktu Allah meminta seluruh malaikat sujud
sujudlah malaikat menjunjung perintah Rabbul ‘izzati
kecuali Iblis yang pongah penyombong diri
“Aku dari api
Adam dari tanah
Lebihlah daku
Tinggilah martabatku dari Adam!
Murka Allah kepada Iblis tak terperi.
“Jika kau benar
katakan pada-Ku rahsia Nama!”
Iblis termakan bicaranya sendiri
apa yang hendak dikatakannya
Tentang Nama?
Bila soalan yang sama diajukan kepada Adam
fasihlah lidah menuturkannya.
Iblis durhaka
tercampak dari Arasy Ilahi
membawa dendam hitam
untuk memusnahkan turunan Adam.
“Pergilah! Kuizinkan
Kau menggoda manusia
tapi hamba-Ku yang teguh imannya
hidup mata batinnya
mustahil dapat kauperdayakan!”
Iblis berlalu
berlalu dengan sumpah diluah
sehitam dendam.
Itulah “the wayes of God to men”, cara yang bukan menurut kita tapi menurutNya. Puisi patuh, bukan gerak mirruhi yang menyimpang sendiri. Orang tahu diri karena kita tak tahu apa-apa tentang berita yang datang dari “Langit”.
“Nama” Kemala kelihatannya lebih “Small Things” dari “Nama” Milton
Henry H. H. Remak menyebut-nyebut “ruang, masa, kualiti dan intensi” dalam Sastra Bandingan. Seraya berkata juga: “Kajian sastra bandingan tidak perlu membanding lembar ke lembar”, tapi “penekanan hal-hal penting dengan kaedah perbandingan.” Tetapi kita mendapatkan sandaran yang jauh lebih kukuh dan lebih esensial ialah Surah Ar-Rum. Di ayat 22 Ia mewartakan tentang “perbedaan bahasa serta warna kulit di antara manusia.” Perbedaan yang tak memerlukan “pengajaran” saat bumi memberitahu bahwa di sana ada empat musim sementara di negerimu hanya dua musim. Sebab termasuk pengertian teori bahwa manusia bisa dan harus berpikir sendiri. Ia tentu tidak kebal dengan sentuhan. Ia hanya menghindar dari kepicikan kata-kata: “Kami ahli waris kebudayaan dunia”, karena mengerti hakikat diri yakni mirruhi, bahwa dirinyalah “kebudayaan dunia” itu. Mirruhi, basis terdalam dari kesadaran yang berisi pikiran, perasaan serta intuisi, atas mana kita “ringan saja mengabaikan bentuk dan isi dalam sastra”, karena, tergoda oleh “Nama” Kemala, kok sepertinya lebih puisi ketimbang “Nama” Milton – Paradise Lost. Lebih “Small Things”.
Saat kita mengambil bagian epik-Milton adalah seakan-akan kita sedang memandangi sepasang tangan yang tengah menuliskan sesuatu yang penting, dan, hanya “lengan” ini saja yang kita pandangi. Dengan lain perkataan diri sedang mengisolasi totalitas puisi (epik Milton itu) demi ingin melihat sebuah persamaan: apa jadinya saat langit dipanjat oleh manusia. Lirik-Kemala memberikan kode lewat asmaulhusna sehingga keadaan menjadi “small things”. “Surga yang hilang” segera terhisap oleh bagian awal dari asmaulhusna, di mana “Nama” lewat asmaulhusna membawakan perincian tersembunyi akan apakah hakikat “Nama” itu, yang tak dimiliki oleh “Paradise Lost. Membaca atau saat disentuh “Disobedience”, “Fruit”, atau
“Forbidden Tree”, sebagai kata, lain rasanya saat Kemala, dengan imajinasinya, mendatangkan langsung Adam ke hadapan Allah. Terasa apa yang diceritakan oleh “Nama” bukanlah imajinasi “kosong” tapi bersandar – kepadaNya. Kemala menghilang di sini, “melakukan” unio mystica, sebaliknya Milton, muncul di sana, menjaga jarak padaNya, hal yang tak dilakukan Kemala karena ia tahu, yang sedang diberi “bentuk” ini adalah “isi” yang suci.
Seperti Kemala, seperti Milton, seperti Milton, seperti Kemala, Milton tidak akan bisa menulis Paradise Lost tanpa Alkitab, di awal, bagian Kejadian. Sedangkan Kemala tidak akan bisa tafakur tentang apa yang disebut dengan ilmu bayan yang diajarkan kepada Adam – Nama, yang di awalnya adalah perintah: “Sebutkanlah nama-nama ini, Adam, dan Adam, menyebutkannya. Milton memainkan imajinasinya, merekonstruksi serta membentukkannya ke dalam puisi, apa yang terserak di Alkitab. Memulai tentang ketidakpatuhan, buah, serta pohon terlarang yang membawa akibat yang tak terperikan. Sebaliknya jiwa Kemala jinak kepadaNya, menghadirkan rekonstruksi menurutNya bukan menurut Kemala. Puisi dengan begitu memang masih di soal “keindahan”, tapi telah digamit oleh “kebenaran”. Indah, belumlah tentu benar, sedangkan hakikat mata ingin menyisihkan ilusi, demi kebenaran yang ia pandangi. Apa yang kita tuliskan di awal bagian ini mulai membayang-bayangi: dapatkah nalar dalam logika, mengatasi keyakinan diri, di bahasa?
Menarik disimak, dan penikmat mendapati pintu2 di ruas lorong yang tidak berujung…