A.S. Laksana
Jawa Pos, 14 Nov 2016
Pada Sabtu, 20 Agustus 2016, saya makan nasi goreng bersama penyair Afrizal Malna di trotoar depan gerbang Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Malam itu saya baru saja mengajar kelas penulisan kritik sastra yang diadakan Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Pada hari yang sama, komite teater menyelenggarakan diskusi. Afrizal adalah ketua Komite Teater DKJ untuk kepengurusan periode 2015–2018.
Di antara para pedagang di trotoar tempat kami makan, ada seorang peramal yang saya perhatikan belum didatangi satu orang pun sejak kami duduk menunggu makanan yang kami pesan. Selesai makan, kami mendatangi peramal itu. Ia meramal dengan kartu dan mahir juga membaca garis tangan. Suaranya sungguh mengejutkan: kecil sekali, tetapi tegas dalam menyampaikan hasil bacaannya terhadap garis tangan kami atau kartu yang kami pilih.
Setelah kami berempat, beberapa anak muda mulai mendatangi peramal itu. Dan ketika kami meninggalkan tempat, saya melihat peramal itu dikerubuti banyak orang. Kami pulang bersama, menumpang mobil pelukis Hanafi.
”Komite teater meriah sekali, Zal,” kata saya kepada Afrizal. ”Tiap minggu ada acara.”
”Kupikir memang harus ada banyak acara, entah besar entah kecil,” katanya. ”Sekarang ini kita menghadapi banjir informasi. Segala hal berusaha menarik perhatian orang. Jika komite teater hanya mengadakan acara setahun dua atau tiga kali, itu tidak ada gunanya, tidak akan bisa mencuri perhatian orang.”
Pekan sebelumnya, saya ingat komite teater mengadakan acara seni kejadian di teras depan gedung DKJ. Ada orang mencukur rambut; ada seorang pemuda meletakkan telapak tangannya pada balok es; saya pikir ia membeku karena tidak bergerak dalam waktu sangat lama. Saya pikir ia akan terus seperti itu sampai seluruh balok es yang dipegangnya mencair. Di dalam gedung, saya lihat ada yang memperagakan gerak aneh, entah meditasi entah yoga, dengan bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana kolor.
Kami membicarakan teater dan Afrizal menyampaikan sejumlah gagasan yang ia ingin lakukan bersama komite teater. Saya mendengarkannya saja. Saya tidak terlalu memahami teater. Persinggungan saya dengan teater terlalu murung. Dulu ketika SMP saya pernah ikut ekstrakurikuler teater karena diajak teman. Sudah sempat berlatih pembacaan naskah, seingat saya Kapai-Kapai karya Arifin C. Noer, tetapi pementasan dibatalkan.
Ikut lagi ekstrakurikuler teater saat SMA dan hanya sempat dua kali datang latihan. Saya terlalu kikuk di depan banyak orang dan rasanya hampir menangis ketika diminta berakting. Suara saya tidak terdengar meski saya merasa sudah mengucapkan setiap kalimat keras-keras.
Akhirnya saya meyakini bahwa saya tidak memiliki bakat sama sekali dalam teater dan kemudian memutuskan menjadi penonton saja sesekali. Dan sekarang saya merasa agak bersalah karena kepala saya nyaris tidak menyimpan ingatan bahwa naskah drama adalah bagian dari sastra.
Saya tahu bahwa di dalam daftar para peraih Nobel Sastra, 109 orang sejak 1901 hingga sekarang, ada 20 nama sastrawan yang menulis naskah drama. Di antara mereka ada Luigi Pirandello, Samuel Beckett, Dario Fo, Eugene O’Neill, George Bernard Shaw, dan Harold Pinter. Selain mereka, para penulis seperti Rabindranath Tagore, penyair T.S. Eliot, dan Jean-Paul Sartre juga menulis naskah drama.
Dan aneh sekali bahwa saya melupakan drama di dalam sastra Indonesia. Mungkin karena tidak banyak naskah drama karya penulis Indonesia yang diterbitkan menjadi buku. Mungkin penerbit berpikir tidak akan ada yang membeli naskah drama.
Buku kumpulan puisi, yang sama-sama tidak memancing minat pembeli buku, masih lebih diterima penerbit daripada naskah drama. Saya tidak tahu apakah sekarang ada orang yang bercita-cita menjadi penulis naskah drama. Jika ada, kelihatannya itu akan menjadi cita-cita yang suram.
Saya curiga jangan-jangan seperti itu juga di kepala kebanyakan orang. Ketika orang berhasrat menekuni dunia penulisan, kebanyakan mereka berpikir untuk menjadi penulis fiksi atau puisi. Jarang sekali yang berpikir untuk menjadi penulis naskah drama.
Tiba-tiba saja saya memikirkan teater. Mungkin karena sering melihat acara-acara yang diadakan Komite Teater DKJ. Jika seperti itu, berarti serbuan gencar yang dilakukan Afrizal dan Komite Teater DKJ berhasil, setidaknya saya menjadi mulai ingat tentang teater.
”November nanti kami menggelar Festival Teater Jakarta,” katanya sebelum saya turun. ”Datanglah menonton.”
”Ya,” kata saya. ”Saya akan berusaha menonton sebanyak yang saya bisa.”
Dari Afrizal saya tahu itu festival teater tertua di Asia Tenggara, sudah berumur 43 tahun.
Sialan, setelah pembicaraan itu, saya jadi merindukan lagi datang ke pementasan-pementasan teater. Tetapi, saya menikmati kerinduan semacam itu.
Pernah suatu masa saya menganggap teater sangat penting sehingga tak ingin melewatkan setiap pementasan. Asalkan saya punya waktu. Saya menganggapnya sangat penting karena teater adalah ruang budaya di mana sebuah masyarakat memeriksa dirinya sendiri.
Ia cermin bagi wajah peradaban kita dan laboratorium di mana kita dapat mempelajari masalah-masalah yang kita hadapi di tengah masyarakat. Sebagai sebuah metafora bagi kehidupan yang kita jalani, teater memberi kita kesempatan untuk mempertanyakan diri sendiri, mempertanyakan kehidupan bersama, dan mempelajari masalah yang kita hadapi serta memecahkannya.
Anda tahu, di muka bumi ini hanya manusia satu-satunya spesies yang memproduksi teater. Marmut tidak berteater. Demikian juga domba, unggas, dan ikan-ikan di lautan. Saya pikir memahami teater akan membantu kita memahami apa artinya menjadi manusia.
Terlebih-lebih dalam situasi sekarang. Teater menjadi sangat penting justru ketika dunia memasuki era digital yang segala sesuatunya berubah demikian cepat. Pementasan teater, dengan tubuh manusia dan bahasa sebagai perangkat utama (dalam beberapa kasus bahasa bahkan tidak diperlukan), mengingatkan kita bahwa ada tubuh manusia di tengah arus digitalisasi, di tengah setiap gerak yang tergesa-gesa.
Akun Twitter: @aslaksana