Urusan Warna Kulit dalam Cerita-cerita Gordimer

Catatan membaca Terjun dan Kisah-kisah Lainnya, Nadine Gordimer


Fatah Anshori *

Entah sejak kapan urusan warna kulit menjadi persoalan dalam kelas sosial? Kita mungkin kerap melihat, tidak perlu jauh-jauh ke luar negeri. Cukup di sekitar kita, sewaktu SMA, saya masih ingat teman-teman sering kali memandang rendah teman yang kebetulan memiliki warna kulit yang agak gelap. Nasib mereka kebanyakan menyedihkan selalu menjadi cemoohan dan bahan bercandaan setiap kali ada acara kumpul-kumpul. Dan sewaktu itu, barangkali secara tidak sadar, saya mengimani bahwa memiliki kulit hitam adalah aib, dan barangkali ini juga tertanam di kepala teman-teman kebanyakan, entah secara sadar atau tidak sadar. Sehingga imbasnya, bahkan saya menyaksikan tidak satu dua teman laki-laki menggunakan sabun pemutih wajah, hanya agar wajahnya tampak lebih putih dan cerah. Karena memiliki kulit hitam ada suatu keburukan di kepala kami.

Barangkali ini juga yang pernah disinggung Eka dalam salah satu esainya, yang kalau tidak salah pernah dimuat Jawa Pos. Di esai tersebut Eka membahas tentang seberapa terlibatnya mereka—Kulit Hitam—di kehidupan kita. Kita bisa menilik lingkungan kampus, lingkungan kerja, kantor, karyawan pabrik hingga penjaga konter. Adakah mereka turut andil di sana. Kalaupun ada mungkin beberapa masih merasa asing dengan kehadiran mereka. Dari sorot mata saja kita bisa tahu bagaimana orang memandang itu biasa atau berbeda. Yang kedua mungkin sikap kita terhadap kehadiran mereka, mungkin ada perasaan canggung bahkan takut. Jika itu yang benar-benar terjadi barangkali kita tidak terlalu jauh berbeda dengan urusan apartheid yang dinarasikan Gordimer dalam kumpulan Cerpennya, Terjun dan Kisah-kisah Lain.

Hampir seluruh cerpen-cerpen Gordimer dalam Terjun dan Kisah-kisah Lain, selalu menyinggung persoalan warna kulit. Memang Gordimer tidak melulu membuat persoalan warna kulit itu menjadi pondasi utama cerita, tapi menurut saya itulah yang menarik. Ibarat membuat baju dengan berbeda-beda jenis dan modelnya, Gordimer selaku perancang busana berusaha memberikan manik-manik yang sama di setiap jenis dan model bajunya. Sehingga urusan itu terkesan sepele, receh, namun hal yang sepele dan receh itu dilakukan berulang-ulang sehingga membuat penikmat busana sadar ada yang ingin ditunjukkan di sana. Ada suara-suara yang dekat dan nyaring, rasanya seperti itulah cerpen-cerpen Gordimer bekerja.

Cerpen-cerpen Gordimer dalam Terjun dan Kisah-kisah lainnya tergolong cerpen panjang. Cerpen yang tidak selesai dalam tiga atau empat halaman kertas ukuran A5. Di cerita pendek yang pertama, kita akan membaca Cerpen Terjun itu sendiri. Ia menceritakan kehidupan seorang pemuda berkulit putih di sebuah apartemen mewah lengkap dengan fasilitasnya. Lalu cerita berjalan dari mulut Narator yang tampak sibuk membangun suasana. Ia memaparkan banyak benda-benda mewah di sebuah apartemen, dan tentu saja dengan sedikit kelakar di sana-sini. Sehingga barangkali itu juga yang telah menggerakkan cerita untuk menyinggung Kulit Putih dan Kulit Hitam.

Dikatakan dalam cerpen Terjun bahwa mereka—para Kulit Putih—sama sekali tidak peduli pada pribumi Kulit Hitam yang hanya bisa bekerja mengolah tanah, dan pekerjaan-pekerjaan kasar lainnya. Secara tersirat barangkali narasi tersebut telah menunjukkan bahwa begitulah mereka hidup. Orang Kulit Hitam diidentikkan dengan pekerjaan-pekerjaan kasar yang barangkali di mata orang Kulit Putih pekerjaan-pekerjaan itu tampak hina, dan terbelakang. Sementara di narasi yang lain dikatakan para Kulit Putih lebih bangga menjadi pagawai dinas, mungkin semacam Pegawai Negeri Sipil di Indonesia. Di beberapa cerpen selanjutnya sedikit atau banyak Gordimer selalu menyelipkan narasi-narasi terkait warna kulit. Bahkan di salah satu cerpennya Gordimer juga menunjukkan bagaimana hukum dibuat berdasarkan warna kulit, bahkan ada aturan yang mengatur bagaiman Kulit Hitam menggunakan sebuah hotel. Dan jika tidak salah ada juga aturan bagaimana Kulit Hitam boleh dimatikan.

Kurang lebih begitulah dunia-dunia dalam cerpen Terjun dan Kisah-kisah Lainnya, Nadine Gordimer. Namun segalanya tidak hanya sesederhana itu, dalam urusan bercerita Gordimer seringkali membuat bangunan-bangunan cerita yang mungkin terkesan surealis. Namun pakansi-pakansi Gordimer tetap pantas untuk dinikmati juga direnungkan, seberapa pentingnya kemanusiaan jika diukur dari dari warna kulit.

29 Oktober 2020 Lamongan.


*) Fatah Anshori, lahir di Lamongan, 19 Agustus 1994. Novel pertamanya “Ilalang di Kemarau Panjang” (2015), dan buku kumpulan puisinya “Hujan yang Hendak Menyalakan Api” (2018). Salah satu cerpennya terpilih sebagai Cerpen Unggulan Litera.co.id 2018, dan tulisanya termuat di Sastra-Indonesia.com sedang blog pribadinya fatahanshori.wordpress.com

Leave a Reply

Bahasa »