JHUMPA LAHIRI DALAM TIGA VERSI


Lutfi Mardiansyah *

Lantaran stok bacaan habis, semalam saya membaca ulang buku “Interpreter of Maladies”-nya Jhumpa Lahiri. Sewaktu mengobrak-abrik rak buku, saya menemukan ternyata saya punya tiga versi terjemahan kumpulan cerpen Lahiri yang menyabet hadiah pulitzer tahun 2000 itu: 1) “Benua Ketiga dan Terakhir” (penerj. Pipit Maizier, Jalasutra: 2002); 2) “Penafsir Kepedihan” (penerj. Suparno, AkuBaca: 2003); 3) “Penerjemah Luka” (penerj. Gita Yuliani K., Gramedia: 2006)

Saya ambil ketiga buku itu dan saya jajarkan di atas meja, lalu saya pelototi ketiganya selama beberapa saat. Hmm . . . versi mana yang harus saya baca? Untuk hal seperti ini, biasanya saya melihat siapa penerjemah atau editor buku yang bersangkutan.

Versi Jalasutra sebenarnya tidak spesial-spesial amat. Penerjemahnya saya nggak kenal, belum pernah dengar bahkan. Judulnya pun, “Benua Ketiga dan Terakhir”, entah atas pertimbangan apa, jelas-jelas “diubah”—bukan “diterjemahkan”—dari judul aslinya (“Benua Ketiga dan Terakhir” itu diambil dari judul salah satu cerpen di dalam buku tersebut, ada sembilan cerpen di dalam buku “Interpreter of Maladies”). Barangkali 7 halaman di awal buku yang berisi sekumpulan testimoni dari beberapa surat kabar di Inggris, Amerika, dan India, itu bisa dilihat sebagai nilai plus.

Versi AkuBaca barangkali lebih menarik karena dua hal berikut: 1) meski penerjemahnya kurang populer, buku itu dieditori oleh penulis masyhur Yusi A. Pareanom—beliau juga memberi pengantar untuk buku ini; dan 2) ada tambahan esai karya Jhumpa Lahiri berjudul “Saya Menerjemahkan, Maka Saya Ada” yang diterjemahkan oleh penulis masyhur lainnya, A. S. Laksana, yang dijadikan bagian penutup buku.

Versi Gramedia juga menarik dilihat dari siapa penerjemahnya. Selain dua buku Lahiri, kumpulan cerpennya ini dan novelnya “The Namesake”, Gita Yuliani K. juga menerjemahkan beberapa buku bagus yang diterbitkan Gramedia seperti di antaranya trilogi “Lord of the Rings”-nya J. R. R. Tolkien, “Never Let Me Go”-nya Kazuo Ishiguro, “The Lovely Bones”-nya Alice Sebold, “Under the Dome”-nya Stephen King, “A Short History of Tractors in Ukrainian”-nya Marina Lewycka, “Grotesque”-nya Natsuo Kirino, dan sembilan buku karya Chitra Banerjee Divakaruni.

Akhirnya saya mengesampingkan versi Jalasutra, dan menimbang-nimbang dua versi AkuBaca dan Gramedia itu. Dan akhirnya, pilihan saya jatuh ke versi AkuBaca lantaran judulnya lebih puitis, “Penafsir Kepedihan”. Saya baca cerpen pertama di buku itu, berjudul ‘Masalah Sementara’.

Ini rahasia, sebenarnya. Di awal tulisan ini saya bilang bahwa saya ‘membaca ulang buku “Interpreter of Maladies”-nya Jhumpa Lahiri’, seolah-olah, yah, seolah-olah saya membaca “satu buku dari awal sampai akhir”. Padahal, kenyataannya tidak begitu. Setiap kali, saya selalu berhenti di cerpen pertama itu, di cerpen ‘Masalah Sementara’, dan tidak pernah beranjak ke cerpen berikutnya. Dengan kata lain, saya cuma baca satu cerpen itu saja. Lantaran apa? Lantaran setiap kali, sehabis membaca cerpen pertama itu, saya selalu tertohok oleh perasaan kagum luar biasa yang membuat saya ingin memaki “Anjing! Orang ini cerdas betul! Bikin cerita seperti ini!” Begitulah.

Cerpen ‘Masalah Sementara’ itu sebenarnya adalah cerita sedih tentang pasangan suami-istri yang gagal mempertahankan cinta di antara mereka. Klise. Premis ceritanya sederhana: rumah tangga yang jadi dingin seiring waktu, tidak ada lagi kehangatan, tidak ada lagi keintiman. Tapi eksekusi Lahiri betul-betul cerdas! Coba tebak, lewat kejadian macam apa Lahiri menyingkapkan kenyataan pahit itu? Lewat kejadian “pemadaman listrik sementara selama satu jam dari pukul 8 sampai 9 malam selama lima hari”! Sederhana, kejadian sehari-hari yang bisa saja terjadi kepada siapa pun. Tapi Lahiri melihat peluang unik di dalam kejadian biasa itu.

Bayangkan, sepasang suami-istri makan malam di satu meja, dalam keadaan gelap, hanya diterangi lilin, dan dalam suasana remang mengarah ke gelap itu mereka mulai saling menceritakan rahasia-rahasia kecil kepada satu sama lain. Lihat bagaimana Lahiri menjadikan “kegelapan”, kegelapan lantaran mati lampu, sebagai kondisi eksistensial di mana manusia tidak bisa melihat apa pun di sekelilingnya dan hal itu membuatnya menjadi lebih ringan untuk bertindak terbuka.

Analoginya: Coba bayangkan, kau berada di sebuah ruangan terang benderang bersama seseorang. Tentu ada tindakan-tindakan yang tidak bisa kau lakukan lantaran satu dan lain hal—sopan-santun, perasaan malu, dll. Kau tidak mungkin, misalnya, serta-mesta menjulurkan lidah dan mengeleli orang itu di depan hidungnya. Tapi coba matikan lampu, kau bisa dengan bebas dan ringan-ringan saja menjulurkan lidah dan mengeleli orang itu tepat di hadapannya, bukan?

Yah, begitulah. Cerpen ‘Masalah Sementara’ itu betul-betul bagus. Dan setiap kali selesai membacanya, saya merasa enggan beranjak untuk membaca cerita selanjutnya lantaran takut kadar bagus cerita selanjutnya itu kurang memuaskan saya seperti halnya cerita pertama itu. Itu seperti kita ketika makan satu bungkus indomie, yang isinya tidak banyak sebenarnya, dan kita ingin menambah, tapi ada rasa enggan lantaran kita tahu jika kita menambah porsi, bukannya kenyang dan puas, kita merasa perut kita jadi begah lantaran terlalu penuh dan itu tidak menyenangkan. Akhirnya, kita berhenti di tahap “kenyang tidak, lapar juga tidak, tapi perut terisi meski tidak penuh”. Perasaan seperti itulah yang saya rasakan ketika, setiap kali, memutuskan untuk berhenti setelah membaca cerita pertama itu. Tidak jadi soal apabila saya jadi tidak tahu bagaimana delapan cerpen sisanya. Paling tidak, perasaan nikmat selepas membaca cerita pertama itu bagi saya sudah cukup. Dan boleh jadi, kalau saya membaca delapan cerpen sisanya, kenikmatan yang saya dapat itu malah akan hilang. Paling tidak, dalam hal ini, saya belajar untuk mencukupkan diri dan tidak berlebihan—kalau mau, hal itu bisa kita terapkan di kehidupan sehari-hari, dalam banyak hal lainnya. Maaf kalau terdengar seperti khotbah atau nasihat bijak.

Tambahan: semalam, setelah membaca cerpen ‘Masalah Sementara’ di buku “Penafsir Kepedihan”, saya tergoda untuk membaca cerpen yang sama di dua buku lainnya, versi Jalasutra dan Gramedia itu. Jadi, saya baca cerpen itu di buku “Penerjemah Luka” versi Gramedia, dan nikmat lagi. Kemudian saya baca cerpen itu di buku “Benua Ketiga dan Terakhir” versi Jalasutra, dan lagi-lagi nikmat. Nikmat tiga kuadrat. Itu cukup. Lebih dari cukup, bahkan.
***

*) Lutfi Mardiansyah, lahir di Sukabumi, 4 Juli 1991. Menulis puisi dan prosa, serta menerjemahkan karya-karya sastra.

Leave a Reply

Bahasa »