LELAKI CACAT ITU

Arafat Nur
Harian Aceh, 21 Des 2008

SUARA lelaki itu mengingatkan Nur pada seseorang. Suara yang akrab, yang datangnya dari masa lalu. Nur berusaha meraba-raba, menerka-nerka, siapakah pemilik suara yang sama itu. Tapi terlalu sulit menangkap kenangan lalu. Sebab dia sudah melupakan semua itu setelah Jamali suaminya hilang atau mungkin meninggal tiga tahun lalu….

“Apa Bapak pernah tinggal di sini?” selidik Nur.

“Saya lupa. Barangkali saja saya pernah singgah sebentar di sini. Banyak tempat yang saya singgahi. Saya jadi lupa,” jawabnya.

Nur jadi maklum. Dia yakin kalau lelaki itu bukan teman sekolahnya. Atau temannya masa remaja. Terlampau banyak untuk dihitung, siapa-siapa saja temannya dulu. Memang sebagian banyak sudah terlupakan, barangkali karena jarang bertemu. Apalagi dia sering berpindah-pindah tempat pula, mengikuti suaminya.

Ingatan Nur dalam dua tahun terakhir ini memang sulit setelah dia terjatuh dan kepalanya membentur tembok. Menurut psikiater kemungkinan besar Nur terkena amnesia ringan. Dia memang sering lupa-lupa ingat terhadap kejadian masa lalu, yang kadang sering membingungkan.

“Bapak pesan apa?” tanya Nur tersadar.

“Mi rebus. Jangan terlalu pedas ya?”

Perempuan itu menyiapkan sepiring mi rebus. Sepeninggalan suaminya dia membuka usaha kecil-kecilan di halaman rumahnya yang sempit itu. Tak ada yang bisa dikerjakan lain untuk menutupi kebutuhan hari-hari dan biaya sekolah anaknya. Jika saja suaminya masih hidup, tentu saja kehidupannya tak jadi begini.

Kehidupan janda itu terus morat-marit sejak suaminya pergi. Tak ada tanah atau peninggalan lain selain rumah yang ditempati saat ini. Lagi pula suaminya bukan pegawai negeri. Pekerjaannya serabutan, dari kenek bus umum, penjaga toko, sopir, dan pengumpul barang bekas. Terakhir dia sering memasok barang-barang dari Medan ke Banda Aceh.

Sejak ombak raya laut menghantam kota Banda Aceh itu, suaminya tak pernah muncul-muncul lagi, juga teman-teman kerja yang biasa sering muncul menjembut suaminya di rumah. Nur tidak mengenal dekat teman-teman suaminya itu, mungkin juga karena kurang peduli urusan suaminya di luar rumah. Sejauh ini dia cukup mengenal suaminya sebagai lelaki yang paling baik dan setia. Itu lebih dari cukup bagi Nur.

Lelaki yang mengaku bernama Rustam itu merupakan penghuni baru di kampung itu. Semula Nur mengira kalau dia seorang pengemis. Sebab hampir sekujur fisik lelaki itu cacat. Selain tangan kirinya yang tanpa jari, bentuk wajahnya pula tidak seimbang. Mata kananya terkatup, bagian hidung kanan seperti sompel, letak bibir itu tidak semetris, dan jalannya pincang.

Sulit baginya membedakan antara cacat bawaan atau cacat kecelakaan. Nur tidak ingin bertanya, apakah cacatnya itu karena pembawaan sejak lahir atau oleh kecelakaan. Dia takut pertanyaan itu menyinggung perasaan, atau mengembalikan ingatan lelaki itu pada sesuatu kejadian yang tidak menyenangkan.

Sekarang Nur ingat kalau dia tidak pernah memiliki teman cacat, apalagi yang bernama Rustam. Jadi sungguh mustahil kalau lelaki itu pernah akrab dengannya. Mungkin saja suaranya yang sedikit serak itu menyerupai suara salah satu temannya. Siapa ya? Nada dan getar suara itu seperti begitu kental dalam kehidupannya. Ah, tapi untuk apa semua itu dipikirin!

Namun, kehadiran lelaki itu seperti mengungkit suatu kenangan. Bukan wajahnya, tapi suaranya yang terasa begitu akrab dan kental. Memang banyak manusia yang memiliki kemiripan suara yang kadang sulit dibedakan. Bisa saja kalau suara Pak Rustam itu mirip dengan suara salah satu temannya masa sekolah dulu. Tapi cuma suaranya, bukan fisiknya.

Perempuan itu meletakkan pesanan di meja lelaki itu dan berusaha menatap wajahnya sesaat. Lelaki itu pura-pura sibuk, terkesan menghindari tatapan janda itu. Barangkali dia malu pada dirinya sendiri yang cacat. Nur berpikir, alangkah malangnya lelaki itu. Barangkali dia terbuang dari keluarganya.

“Maaf, apa Bapak punya keluarga?”

Sesaat dia berpikir, menghentikan kunyahannya, “Ada. Tapi sudah pisah,” jawabnya.

“Kenapa?”

Lelaki itu berpikir kembali, “Ceritanya panjang….”

“Apa…” Nur tak jadi melanjutkan pertanyaan, sebab dia menangkap kesan kalau lelaki itu agak terganggu dengan pertanyaannya.

Lelaki yang sekarang tinggal di meunasah itu memang sudah menjadi langganan tetapnya. Tempat jualan Nur cuma berjarak belasan meter dari meunasah. Sejak kehadiran lelaki itu anak-anaknya Faril, Nuril, dan Fadel biasa main ke meunasah, asyik melihat pekerjaan lelaki itu yang merajut daun rumbia untuk dijadikan atap. Cuma itu keterampilan Pak Rustam.

Pokok rumbia banyak bertebaran di kampung itu. Pelepah-pelepah rumbia memberikan bahan baku yang cukup baginya. Halaman belakang meunasah itu yang tidak terlalu luas sudah cukup bagi tempatnya bekerja. Setiap masuk waktu salat, lelaki itu menghentikan pekerjaannya. Suaranya yang parau mengalut lewat cerobong pengeras suara. Sudah lama memang azan tak lagi berkumandang dari sana, kecuali pada waktu magrib saja. Orang-orang mengasihinya sebab dia peduli pada meunasah, dan hidupnya tidak jadi peminta-minta.

Melihat kondisi keluarga Nur, Pak Rustam merasa bertanggung jawab. Meskipun tidak banyak membantu, seringkali dia memberikan uang saku dan biaya sekolah. Jika atapnya laku banyak, dia juga membelikan beras dan keperluan dapurnya bagi Nur. Lagi pula Fadil sering mengantarkan rantang ke meunasah. Secara tak langsung lelaki itu sudah menjadi bagian dari keluarga itu.

Suatu hari saat Pak Rustam menyantap hidangannya di warung Nur, sekelompok orang datang menagih utang. Memang tidak terlalu banyak, tapi bagi Nur uang sejumlah itu begitu berat. Orang-orang yang datang dengan mobil bak terbuka itu tidak mau mendengar alasannya lagi. Mereka mengobrak-abrik dagangan Nur, dan mengangkut meja, rak mi, dan kursi-kursi ke atas mobi.

Melihat kejadian di depan mata itu, lelaki cacat yang sedari tadi diam itu mendadak bangkit. Dia membuka dompet, tapi uangnya tidak cukup untuk membayar hutang itu.

“Ini saya bayar sebagian. Datanglah dua tiga hari lagi, saya akan melunasinya,” ucapnya pada seorang laki-laki yang berbadan atletis.

Lelaki itu menatapnya sinis, rendah, mungkin karena lelaki itu cacat, “Boleh saja kau bayar. Ini untuk menutupi hutangnya yang kurang. Tapi barang-barang ini tetap kami bawa,” ucap lelaki itu seraya menyambar uang yang ada pada tangannya.

“Tak bisa begitu. Ibu ini kehilangan pekerjaanya,” Pak Rustam berusaha menahan diri.

“Itu urusan kamu sendiri, Pengemis!”

Mendengar hinaan lelaki itu, tangan kanan Pak Rustam yang masih kekar itu menghantam wajah si Atletis. Segera saja lelaki itu membalasnya. Hanya beberapa saat terjadi perkelahian yang tak seimbang. Lelaki itu dikeroyok ramai-ramai. Akhirnya orang-orang itu pergi setelah Pak Rustam terkapar.

Janda itu segera berlari, menghampiri lelaki cacat itu yang meringkuk kesakitan di pinggir jalan. Darah keluar dari hidung dan mulutnya. Nur merasa begitu kasihan, semua itu karena dia telah membelanya mati-matian.

“Kenapa Bapak sampai berbuat begitu?” tanya Nur terisak.

Lelaki itu memalingkan wajah, “Karena aku tidak bisa melihat kesewenang-wenangan mereka terhadapmu.”

“Tapi Bapak dipukuli begini….”

“Biar saja. Saya lebih suka dipukuli daripada diam saja.”

“Bapak tak perlu mati-matian membela begitu,”

“Perlu!”

“Kenapa?”

“Karena itu tanggung-jawab saya,” ucap lelaki itu dengan bibir bergetar.

“Siapakah Bapak sebenarnya,” tanya Nur curiga karena dia hampir bisa menangkap getaran suara yang pernah cukup akrab dengannya.

“Saya bukan siapa-siapa….” lelaki itu menyembunyikan wajahnya.

Ketika melipat lengan baju itu, Nur terkejut melihat tanda tahi lalat di lengan kanan lelaki itu. Pikirannya pun begitu deras mengejar ingatan antara tanda itu dan getaran suaranya.

“Bang Jamali!” ucapnya, “Kau suamiku!”

“Bukan. Aku bukan suamimu. Suamimu tidak cacat!” ucap lelaki itu bangkit.

“Aku menerimamu apa adanya, Bang. Pulanglah!”

Lelaki itu berbalik, tapi sesaat kemudian tubuhnya rebah. Nur berlari memangkunya, “Seharusnya Abang mengatakan apa adanya….”

“Maafkan aku Nur…. Maafkan aku…. Aku tak ingin kau terbeban dengan kondisiku. Bebanmu mengurus anak-anakku sudah cukup berat….”
***

Lhokseumawe, 29 April 2008.


ARAFAT NUR, lahir di Lubuk Pakam (Deli Serdang-Sumut), 22 Desember 1974, berdarah Aceh asli, Arafat besar dan menempuh pendidikan di Aceh. Pernah jadi tenaga pengajar di Dayah Babussalam (1992-1999), dan menjadi pegawai honorer SMU Meureudu-Aceh Pidie (1994-1999). Lalu pindah ke Lhokseumawe bekerja sebagai jurnalis. Dia dipercaya sebagai Ketua Divisi Sastra pada Yayasan Komunitas Ranub Aceh (KRA). Menulis puisi, cerpen, dan artikel di berbagai media massa. Ia pernah mengikuti pertemuan Sastrawan se-Sumatera yang di selenggarakan DKA/Lempa di Banda Aceh (1999). Pernah mendapatkan hadiah terbaik lomba penulisan cerpen Taman Budaya Aceh (1999), Harapan I Lomba Cerpen Telkom Online 2005 menyambut hari Kartini, juara III Nasional lomba penulisan novel Forum Lingkar Pena (2005). Puisinya ikut dalam antologi “Keranda-keranda” (DKB, 2000), “Aceh dalam puisi” (Assy-syaamil, 2003), “Mahaduka Aceh” (PDSHB.Jassin,2005), sedang cerpennya dimuat dalam antologi cerpen “Remuk” (DKB,2000). Novelnya yang telah terbit “Meutia Lon Sayang” (dar! Mizan, 2005), “Cinta Mahasunyi” (dar! Mizan, 2005), “Percikan Darah di Bunga” (Zikrul Hakim,2005), dll.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *