Sunu Wasono *
Awak siap menutup cerita ini, sekarang juga, kalau saja Lik Mukidi tak tiba-tiba datang ke rumah. Awak mendadak kehilangan mood dan gairah untuk melanjutkan cerita. Seperti biasa, dia ingin awak mengikuti kemauannya. Tak percaya? Lihat saja apa yang akan dikatakannya.
“Sudah lama kita tak mendiskusikan kopi. Sayang kalau cuti bersama ini hilang begitu saja. Ini momentum bagus untuk membicarakan masa depan kopi luwak.”
Awak tak mau menanggapi dulu. Biar saja Lik Mukidi mengoceh sepuasnya. Nanti, setelah dia mulai kesal, barulah awak menanggapinya.
“Kopi sasetan menurut aku tidak menarik untuk kita bicarakan. Kau pasti setuju dengan pendapat aku. Setidak-tidaknya kita bicara tentang kopi giling kalau kau lagi kurang tertarik untuk membicarakan kopi luwak. Janganlah kopi sasetan kautawarkan sebagai topik pembicaraan.”
Dari diksinya kiranya jelas apa yang diinginkan Lik Mukidi. Awak masih punya persediaan kopi luwak meski tak banyak. Seminggu yang lalu awak mendapat kopi Cisadon dari Bang Farid. Sengaja awak simpan untuk jaga-jaga kalau Lik Mukidi main ke rumah. Kebetulan sekarang dia datang. Pastilah sebentar lagi akan awak seduhkan buat Lik Mukidi, tapi biar dia bicara banyak dulu.
“Sejak kapan kau senang memelihara tanaman? Kau sudah terbawa arus budaya massa rupanya. Tak punya uang tapi ikut-ikut beli tanaman mahal. Apa yang ada di benak kau? Aku tahu berapa penghasilan kau. Biasanya kalau tanggal tua, sambal tempe penyet saja lauk makan kau. Kalau sekarang uang kau habis untuk beli tanaman, di tanggal tua makan apa kau. Macam-macam saja kau.”
Sebetulnya awak sudah mulai panas, tapi biar saja Lik Mukidi nerocos bicara. Nanti ada saatnya awak bikin tak berkutik.
“Kau diam saja. Bicaralah. Kenapa kau tiba-tiba bisu? Pasti tak sanggup menjawab pertanyaan aku karena kau tak punya argumen.”
Lik Mukidi bangkit dari kursinya. Lalu ia menuju ke pojok teras.
“Wow, kau punya tanaman rondo bolong. Ini tanaman mahal. Jutaan harganya.”
Rondo bolong adalah nama lain dari tanaman janda bolong. Lik Mukidi mengamati janda bolong dengan saksama. Telapak tangannya menyentuh daun janda bolong. “Memang menarik sih. Daun kok berlubang-lubang begini. Tapi bagi aku, rondo royal masih lebih menarik daripada rondo bolong.”
Lik Mukidi mulai menggiring awak ke makanan. Pasti kata-kata yang akan muncul berikutnya adalah rondo royal.
“Bagaimanapun rondo royal lebih puitis daripada rondo bolong. Kalau disandingkan dengan kopi luwak, rondo royal lebih sesuai. Dari perspektif semiotik maupun pendekatan pascakolonial, rondo royal jauh lebih menyihir daripada janda bolong. Kalau tak salah, Edward Said dalam salah satu karyanya juga mengatakan bahwa rondo royal itu merupakan jenis makanan yang secara struktural memperlihatkan kerumitan. Teksturnya biasa-biasa saja, tetapi ketika dikunyah dan ditelan, lalu digelontor kopi luwak, efeknya dahsyat sekali.”
“Stop. Stop, Lik. Saya sudah dapat poinnya.” Tak tahan awak mendengarkan kata-kata Lik Mukidi yang mulai ngaco. Awak pun menuju dapur untuk menyeduh kopi, tetapi ternyata di dapur bini awak sudah menyiapkan, termasuk rondo royalnya. Alhamdulilah.
Malam ini awak harus mendengarkan ocehan Lik Mukidi yang hampir tanpa jeda. Awak hanya sesekali saja menyela pembicaraannya. Dia bicara tentang banyak hal dan mengesankan bahwa dirinya banyak tahu tentang banyak hal. Katanya, sekarang ini banyak orang pintar. Tiap hal ada saja pengamatnya. Ada pengamat kucing, pengamat janda bolong, pengamat kopi, pengamat rondo royal, pengamat ujaran kebencian, pengamat sungai, pengamat webinar. Saking banyaknya pengamat, bahkan ada orang yang khusus menjadi pengamat kata “dan”. Awak tak tahu apa maksud Lik Mukidi. Dari mulutnya tak ada tanda-tanda bau alkohol. Awak berkesimpulan bahwa Lik Mukidi sebenarnya waras.
“Lik, saya kira, saya sudah mendpat banyak masukan dari sampeyan,” kata awak.
“O, itu sudah pasti. Dari tadi yang bicara aku terus. Kau tak berani bicara karena kau tidak punya sesuatu yang bisa dikatakan. Makanya kau harus banyak-banyak belajar lagi. Buku kau banyak, tapi kalau tak kaubaca, tak tambah-tambah pengetahuan kau. Paham?”
Waduuhh. Awak malah direndahkan.
“Ya, saya tahu, Lik.”
“Betul, sudah waktunya kau harus tahu.”
“Heemmm.”
“Tadi kau bilang bahwa kau sudah mendapat banyak masukan. Aku belum banyak mendapat masukan dari kau. Tidak imbang ini.”
Awak langsung tanggap. Sisa rondo royal di dapur awak ambil dan awak hidangkan.
“Kebetulan rondo royalnya masih ada ini Lik.”
Lik Mukidi langsung menghabiskannya. Sebelum dia mengucapkan kata “kopi” lagi, awak hidangkan lagi segelas kopi. Tampaknya suasana sudah berubah. Sekarang lebih kondusif. Karena itu, awak beranikan diri bertanya tentang “Lenga Tala” kepada Lik Mukidi.
“Lik, sebentar lagi cerita “Lenga Tala” akan saya akhiri. Sebaiknya penutupnya bagaimana, Lik?”
“Apa tidak ada topik lain yang lebih menarik untuk kita diskusikan selain bicara tentang cerita “Lenga Tala” agar energi kita tak terbuang percuma.”
Asem kecut. awak hanya bisa mengumpat “bajinguk” di dalam hati. Sudah awak suguh kopi dan rondo royal segitu banyak, Lik Mukidi omongannya masih pedas saja. Nylekit. Sakit hati awak. Sakitnya lebih dari mendengar ujaran kebencian dari seorang pembenci.
“Ada Lik!”
“Nah, begitu. Apa itu?”
“Tentang seorang laki-laki yang tiap hari terteror dan takut pada bininya, Lik.”
Lik Mukidi langsung diam. Namun, dari ekspresi di wajahnya, ia sedang menahan marah. “Kau nyindir aku ya. Kuwalat kau. Orang tua disindir.” Lik Mukidi panjang lebar menguliahi awak. Dia mengutip tembang jawa dan sejumlah kata-kata mutiara yang rasanya sudah sering awak dengar juga. Katanya awak harus bisa “mikul dhuwur mendhem jero”. Awak dengarkan saja sampai dia diam sendiri. Setelah diam, awak baru bicara.
“Maaf, Lik. Saya tidak tahu kalau Lik Mukidi ternyata lagi suntuk. Dari dulu bulik memang seperti itu. Tabah, Lik. Didoakan saja moga semua mendapat hidayah dan dibukakan jalan. Saya sebetulnya ingin mendengar saran Lik Mukidi, kira-kira akhir dari cerita “Lenga Tala” itu bagaimana, tapi….”
Tampaknya sekarang Lik Mukidi sudah sareh. Tak biasanya ia bisa berubah drastis. Katanya, “Kau yang memulai, kau pula yang harus mengakhiri.”
“Wah, seperti lirik lagu dangdut saja, Lik.”
“Ha ha ha.” Oh, Lik Mukidi sudah bisa tertawa. Alhamdulilah. Berarti dia sudah bisa menata hatinya.
“Kalau memang sudah harus berakhir, akhiri saja. Jangan diulur-ulur. Sepertinya sudah ada peringatan dari pembaca bahwa kau mengulur-ulur cerita. Sudah, tutup saja. Lalu, buat lagi yang lain.”
“Kata-kata ini yang saya nantikan, Lik: buat lagi yang lain. Memang saya akan membuat lagi cerita baru, tapi yang masih ada hubungannya dengan cerita “Lenga Tala”, Lik.”
“Bagus. Harus. Apa judulnya?”
“Sokalima.”
“Setuju. Lanjutkan! Tapi ceritakan yang lebih menarik. Kalau tak bisa, percuma saja kau sekian lama belajar pada Mukidi,” begitu kata Lik Mukidi.
Alhamdulilah. Awak mendapat dukungan Lik Mukidi. Tapi sebelum “Soklalima” dimulai, cerita “Lenga Tala” harus ditutup dulu. Tentu tidak sekarang, besok atau lusalah.
Tak ada pembicaraan lagi di antara kami. Awak lihat rondo royal sudah habis, tanpa sisa sedikit pun. Kopi di gelas juga sudah tandas. Tinggal ampas. Lik Mukidi pamit pulang. Awak pun mengantarnya sampai di pintu gerbang. Sebelum pintu awak tutup, sosok Lik Mukidi sudah melesat, lenyap seketika ditelan malam.
Bersambung…
*) Dr. Sunu Wasono. M. Hum. lahir di Wonogiri 11 Juli 1958. Taman SMAN Wonogiri tahun 1976, S1 di Jurusan Sastra Indonesia Fak. Sastra Universitas Indonesia (UI) tahun 1985, S2 di Program Pascasarjana UI (1999), dan S3 di Program Studi Ilmu Susastra FIBUI (2015). Sejak April 1987, staf pengajar di Fak. Ilmu Pengetahuan Budaya UI, mengampu mata kuliah Sosiologi Sastra, Pengkajian Puisi, dan Penulisan Populer. Tahun 1992 (6 bulan) menjadi dosen tamu di La Trobe University, Melbourne, Australia. Mulai Oktober 2016, menjadi Ketua Program Studi Sastra Indonesia, Fak. Ilmu Pengetahuan Budaya UI. Buku terbarunya “Seks sebagai Rempah dan Masalah serta beberapa kritik lainnya“.
One Reply to “LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (99)”