LORONG ASING DALAM ZIARAH


A. Syauqi Sumbawi *

Kamis sore di bongkah kemarau. Dua orang laki-laki menjongkok di tanah pekuburan desa. Menghadap ke timur, dengan kepala menunduk ke gundukan tanah di depannya. Pakde Banjir di sebelah timur-selatan dekat gapura masuk dan Wak Kamdu di sebelah barat-utara. Jika digaris, maka akan terbentuk garis mengarah ke Ka’bah.

Seperti biasa, menjelang malam jum’at kliwon, Abdun selalu mendapati dua orang itu telah berada di sana. Mendahului kedatangannya untuk nyekar ke makam kedua orang tua. Maklum saja, dia harus menyelesaikan pekerjaannya terlebih dulu, mengurus beberapa ekor kambing. Tidak seperti kedua orang itu, yang agaknya sudah tak lagi disibukkan dengan perkara mencari nafkah. Bukan hanya telah melewati usia pensiun, keduanya juga tergolong kaya di desa. Maka, tak perlu baginya menghabiskan masa tua dengan membanting tulang. Yah, masa itu telah lewat bagi keduanya.

Beberapa tahun yang lalu, entah kapan pastinya. Abdun hanya ingat, dulu hanya dia sendiri yang biasa pergi ke pekuburan desa itu. Membiasakan nyekar, sejak si emak menyusul bapaknya meninggalkan dunia. Saat itu, Abdun belum menikah. Kini, anak tertuanya telah berusia delapan tahun. Berselang waktu, kemudian Abdun melihat Pakde Banjir di sana. Berziarah seperti dirinya. Disusul Wak Kamdu pada kesempatan berikutnya.

Memang, ziarah atau nyekar ke makam orang tua dan para leluhur telah menjadi tradisi di desanya. Akan tetapi, hal itu biasanya hanya terjadi pada kesempatan menjelang bulan Ramadlan dan Idul Fitri. Sementara untuk siklus hari pasaran, misalnya setiap menjelang malam jum’at kliwon, hanya Abdun dan kedua orang itu. Maka, tak heran jika ketiganya seperti memiliki hubungan tersendiri. Keakraban yang terjalin melalui kebiasaan ziarah.

Entah, apa yang dialami keduanya saat berdiam di dekat pusara. Apakah keduanya juga berjumpa dan berbicara dengan ahli kuburnya?! Dengan kedua orang tuanya yang telah berada di alam kubur?! Abdun tak tahu. Dia tak pernah menanyakannya.

Perlahan Abdun duduk di sebelah barat makam bapak dan emaknya. Mengucap salam, membaca tawasul dan doa-doa kalimah tayyibah, sebagaimana yang diajarkan oleh guru-guru agama kepada dirinya. Juga kepada masyarakat. Termasuk sebuah hadits yang selalu menyuruhnya untuk berziarah, yakni “Ketika anak Adam (manusia) meninggal dunia, maka semua amalnya terputus, kecuali tiga perkara, yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih—shalihah—yang mendoakan orang tuanya.

Perkara yang terakhir inilah yang diharapkan oleh Abdun terkait keberadaannya sebagai seorang anak dengan orang tua yang telah meninggal dunia. Menjadi anak yang shalih dan mendoakan keduanya, dimana kesemuanya tidak mungkin tanpa rahmat-Nya.

Semuanya adalah rahman dan rahim-Nya. Demikian kata Mbah Mad suatu ketika yang diingat Abdun. Segala kebaikan adalah rahmat-Nya, yang selalu melahirkan berkah, yang berlanjut pada kemulyaan—karamah—di sisi-Nya.

Berselang waktu kian senja, Abdun menyelesaikan ritualnya. Sejenak dipegangnya batu nisan makam kedua orang tuanya bergantian. Batu-batu nisan yang menandai keberadaan lorong asing yang tersimpan di gundukan tanah. Lorong asing yang menghubungkan masa lalu dan masa depan, serta perjalanan hidup manusia.

Ziarah adalah memasuki lorong asing. Itulah yang agaknya digambarkan puisi berjudul “Ziarah” karya Tjahjono Widarmanto, dalam buku Mata Air di Karang Rindu (penerbit SatuKata book@rtPublisher: 2013), diungkapkan sebagai berikut:

ZIARAH

bertahun-tahun kami selalu ziarah di sini
mengingat-ingat kematian kami sendiri
yang tak sanggup kami lafalkan
sebab lidah telah kelu serta mata berembun

untuk apakah setiap kepergian ditanyakan
apalagi harus disertai air mata?

kami hanya ingin memasuki lorong asing
dengan riang sambil mengulum senyum
namun, kami dapati tubuh telah fana
langit menyimpan rahasia hujan
seperti tanah dan taburan bunga sembunyikan rahasia usia

segalanya akan kembali pada muasal
kembali pada warna sunyi

:rahim debu!

(Surabaya-perak)
***

Tradisi, itulah pandangan umum—termasuk kalangan antropolog—terhadap aktivitas ziarah kubur dalam kehidupan masyarakat. Baik tradisi nyekar ke makam ahli kubur keluarga menjelang Idul Fitri, ziarah dan tabur bunga ke taman makam pahlawan dalam peringatan Agustus-an, ziarah walisongo, ziarah walilima di Jawa Timur, maupun ziarah makam auliya’ dan masyayikh lainnya yang umum dilakukan secara bersama-sama. Hal yang juga tersirat pada baris pertama puisi di atas, yaitu… bertahun-tahun kami selalu ziarah di sini/.

Selain mendoakan ahli kubur, pentingnya ziarah adalah.. mengingat-ingat kematian kami sendiri/. Kematian,… yang tak sanggup kami lafalkan/, yang selalu menjadi nasihat terbaik bagi manusia,… sebab lidah telah kelu serta mata berembun//. Di hadapan kematian, segala kesombongan akan pepleh dan mengkeret, sekaligus menegaskan diri manusia yang tak berdaya.

Yah, kematian adalah ayat. Keniscayaan hidup di dunia. Maka, untuk apakah setiap kepergian ditanyakan/ apalagi harus disertai air mata?// Agaknya jawaban atas ungkapan ini terdapat dalam ziarah. Dan itu adalah sesuatu yang bernilai, yang tersimpan dalam waktu-waktu yang bertemu. Dalam lorong yang mempertemukan masa lalu dan masa depan, dimana kenangan dan kematian terasa akrab, sekaligus asing dalam ziarah, sebagaimana ungkapan… kami hanya ingin memasuki lorong asing/ dengan riang sambil mengulum senyum/.

Lantas, siapakah yang dijumpai dalam ziarah, jika… kami dapati tubuh telah fana/. Tidak lain adalah kekuasannya-Nya yang terbentang antara langit dan bumi, yang nyata dalam rahasia, sebagaimana langit menyimpan rahasia hujan/, juga… seperti tanah dan taburan bunga sembunyikan rahasia usia//.

Dari keseluruhannya, barangkali inilah hal terpenting yang bisa dijumpai oleh manusia dalam ziarah, yaitu kesadaran bahwa …segalanya akan kembali pada muasal/ kembali pada warna sunyi//:rahim debu!//
***

Di antara nisan batu dan kayu, Abdun melangkahkan kaki dengan hati-hati. Menuju ke arah Pakde Banjir dan Wak Kamdu. Di bawah langit yang kian senja, keduanya tampak bercengkerama di luar gapura tanah pekuburan desa. Abdun tahu, apa yang dialaminya sore itu, akan menjadi kenangan. Seperti hari-hari ketika kedua orang tuanya hidup dan meninggal dunia. Kenangan yang terasa asing dalam kekuasaan-Nya.

___________
*) Ahmad Syauqi Sumbawi, sastrawan kelahiran Lamongan 28 April 1980. Menulis cerpen, puisi, novel, esai, kritik, dll. Sebagian karyanya dipublikasikan di media massa. Puisi-puisinya terkumpul dalam antologi: Dian Sastro For President; End of Trilogy (Insist, 2005), Malam Sastra Surabaya; MALSASA 2005 (FSB, 2005), Absurditas Rindu (2006), Khianat Waktu (DKL, 2006), Laki-Laki Tanpa Nama (DKL, 2007), Gemuruh Ruh (2007), Kabar Debu (DKL, 2008), Tabir Hujan (DKL, 2010), Darah di Bumi Syuhada (2013), Pesan Damai di Hari Jumat (2019), Menenun Rinai Hujan (2019). Dan beberapa cerpennya dapat dibaca pada kumpulan: Sepasang Bekicot Muda (Buku Laela, 2006), Bukit Kalam (DKL, 2015), Di Bawah Naungan Cahaya (Kemenag RI, 2016).
Sementara antologi tunggalnya: Tanpa Syahwat (Cerpen, 2006), Interlude di Remang Malam (Puisi, 2006), dan #2 (SastraNesia, Cerpen 2007). Novel-novelnya yang telah terbit: Dunia Kecil; Panggung & Omong Kosong (2007), Waktu; Di Pesisir Utara (2008), dan “9” (2020). Sedangkan bukunya dalam proses cetak ulang “#2,” dan Limapuluh (kumpulan puisi) segera hadir. Selain menulis, juga berkebun, dan mengelola Rumah Semesta Hikmah, dengan kajian dibidang sastra, agama dan budaya, di dusun Juwet, Doyomulyo, Kembangbahu, Lamongan. Blog pribadinya https://syauqisumbawi.blogspot.com/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *