MEMBACA ESAI


Sapardi Djoko Damono *

/i/
Esai adalah karya sastra. Seperti halnya genre lain yakni puisi, drama, fiksi, dan (oto)biografi, esai berisi pandangan penulis mengenai berbagai hal, baik yang menyangkut kehidupan pribadi maupun sosial. Yang kita baca dari esai adalah gagasan pribadi penulis mengenai satu segi dari masalah yang dianggapnya penting. Dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Esai tentang Esai,” yang pernah dimuat di majalah Horison I/1 tahun 1966, Arief Budiman, yang mengutip Ensiklopedi Britanika, menyatakan bahwa “Esai adalah karangan yang sedang panjangnya, biasanya dalam bentuk prosa, yang mempersoalkan suatu persoalan secara mudah dan sepintas lalu – tepatnya mempersoalkan suatu persoalan sejauh persoalan tersebut merangsang hati penulis.” Dikatakannya juga bahwa yang utama dalam esai bukanlah pokok persoalannya tetapi cara pengarang mengemukakan persoalannya. Ini tentu saja mengingatkan kita pada genre sastra yang lain.

Seperti halnya dalam penulisan genre sastra lain, tidak ada “aturan” penulisan yang dijadikan bimbingan bagi seorang esais. Biasanya karangan jenis ini ringkas dan menggunakan gaya bahasa yang informal; itulah sebabnya esai harus dibedakan dari karangan yang menggunakan gaya bahasa formal seperti laporan penelitian, disertasi, tesis, skrispsi, atau risalah. Bahasa informal itulah yang memberikan kebebasan kepada esais untuk menggunakan ragam bahasa apa pun; dalam perkembangan esai kita jelas tampak bahwa bahasa yang dipilih oleh Umar Kayam dalam kumpulan esainya yang ngglenyeng berbeda jauh dengan yang dipergunakan Goenawan Mohamad dalam catatan pinggir yang ditulisnya untuk majalah Tempo. Perbedaan itu tidak berarti bahwa esai Kayam tidak sungguh- sungguh dan esai Goenawan harus dibaca dengan mengerutkan dahi.

Esai merupakan tulisan yang menyuarakan pandangan pribadi mengenai apa saja: mulai dari hubungan antara kawula dan Gusti sampai ke teknik David Beckham menendang bola dari sudut lapangan; dari hubungan suami istri sampai ke masalah keindahan bunyi dalam puisi; dari persoalan politik praktis sampai pembelaan terhadap kaum perempuan; dari kesan perjalanan sampai masalah got mampet. Dengan demikian kita memiliki sejumlah besar esais yang jelas-jelas telah memperkaya khasanah sastra kita. Soekarno, Kwee Tek Hoay, Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, Asrul Sani, Syahrir, Mohammad Hatta, H.B. Jassin, Wiratmo Soekito, Dick Hartoko, Pramoedya Ananta Toer, M. Sobari, Anwar Nono Makarim, Arief Budiman, Sindhunata, Nirwan Dewanto – untuk menyebut beberapa nama saja yang terlintas di kepala. Banyak di antara nama-nama yang disebut itu sastrawan atau setidaknya ada hubungannya dengan kegiatan kesusastraan, tetapi pada dasarnya esai ditulis oleh siapa saja. Bahkan bisa dikatakan sejumlah besar wartawan yang tidak menuliskan namanya dalam editorial koran atau majalah mereka sebenarnya adalah esais yang bisa berpengaruh terhadap perkembangan bahasa kita. Kedekatan penulis esai dengan kegiatan kesusastraan tentu erat kaitannya dengan ‘tuntutan’ penggunaan bahasa yang informal, yang dalam beberapa segi memang lebih rumit dari bahasa formal yang dikategorikan sebagai baku – meskipun tidak selalu harus beku.

Nama-nama yang disebut itu juga sekaligus menunjukkan betapa luasnya cakupan tema dan topik esai. Dan apabila kita membaca tulisan mereka itu akan tampak bahwa pandangan yang mereka sampaikan sangat pribadi, yang bisa saja menggarisbawahi gagasan atau nilai-nilai yang beredar di sekitarnya atau malah menggusur sambil menjungkir-balikkannya. Itulah yang kita harapkan ketika membaca esai: pandangan yang mengajak kita mempertimbangkan kembali segala sesuatu yang ada di sekitar kita, yang bisa saja merisaukan atau malah selama ini telah telah kita terima sebagai suatu yang benar dan meyakinkan.

Tugas esai adalah menumbuhkan kesadaran kritis terhadap apa saja, termasuk – dan mungkin terutama – diri kita sendiri. Membaca esai Soekarno yang ditulis tahun 1920- an, misalnya, kita menjadi sadar akan adanya masalah pandangan politik mendasar yang mau tak mau harus dipertimbangkan; membaca tulisan Roeslan Abdoelgani di tahun 1964 ketika menanggapi masalah Manifes Kebudayaan, kita mendapatkan wawasannya mengenai tempat Chairil Anwar dalam peta politik kita pada tahun 1960-an; sementara membaca karangan Nono Anwar Makarim yang pada tahun 1970-an banyak dimuat di majalah Budaya Jaya kita diajak merenungkan implikasi sosial dan politik dari gerakan dan peristiwa yang terjadi beberapa tahun sesudah Orde Baru berkuasa. Di ‘zaman’ ini kita mendapat semacam pencerahan dalam hal religiusitas dari M. Sobari dan Y.B. Mangunwijaya; kita diajak berkelana oleh Goenawan Mohamad ke pemikiran dan perenungan yang melintasi antarbangsa; kita diajak bercanda dalam membicarakan ‘politik’ sehari-hari oleh Umar Kayam; membaca Orang Jawa Naik Haji Danarto kita menjadi geli-geli khusyuk dalam menghadapi ziarah yang utama dalam kehidupan kaum Muslim; membaca tulisan Nurcholis Majid dan Quraish Shihab kita diajak sadar bahwa yang namanya sorga atau ketenteraman rohani atau ‘agama’ itu ada dalam diri dan tindakan kita.

/ii/
Esai yang sekarang kita kenal sekarang ini mula-mula berkembang di Eropa Barat sebagai salah satu pencapaian penting masa Renaisans, dan bentuk yang seperti sekarang kita kenal ini awalnya diperkenalkan oleh seorang sastrawan agung Perancis, Montaigne, dalam sebuah bukunya yang berjudul Essais. Montaigne menyebut karangannya itu renungan pribadi yang ringkas yang disusun dalam prosa yang diterbitkannya berturut-turut sejak tahun 1580. Bukan kebetulan bahwa genre baru dalam kesusastraan Eropa itu muncul ketika kawasan itu berada dalam masa pemikiran dan perenungan kembali berbagai isu intelektual dan sosial. Pada masa perubahan besar itu Eropa berusaha untuk bangkit dan menyesuaikan pandangan mereka mengenai berbagai hal penting yang menyangkut spektrum yang sangat luas. Orang meninjau kembali gagasan mengenai maut dan kemungkinan adanya kehidupan sesudah kematian, hubungan-hubungan sosial, sampai ke masalah yang menyangkut perjalanan dan eksplorasi. Dalam perkembangan penulisan esai sampai kini pun masalah-masalah itu masih mendapatkan tempat utama dalam penulisan esai sebab mungkin menyangkut segi-segi mendasar dalam kehidupan manusia.

Esai panjang yang ditulis Danarto, Orang Jawa Naik Haji, misalnya, adalah laporan perjalanan sekaligus perenungan mengenai hakikat ritual keagamaan yang ditulis dengan gaya yang sama sekali tidak formal, bahkan boleh dikatakan sangat santai, yang menjadi ciri utama esai. Laporan perjalanan itu memikat sebab Danarto tidak sekedar menulis laporan yang obyektif tetapi justru menjadikan pandangan subyektifnya sebagai landasan karangannya. Karangan ini agak berbeda dengan yang ‘ditentukan’ oleh Montaigne, yakni bahwa esai adalah karangan pendek. Juga bentuk yang dipergunakan penulis tidak terbatas hanya seperti yang dipilih oleh Danarto; catatan harian pun pada dasarnya bisa diperguanakn untuk menulis esai, seperti misalnya yang ditulis oleh Soe Hok Gie, Catatan Harian Seorang Demonstran. Catatan harian itu pada dasarnya adalah juga perenungan pribadi yang memancarkan pandangan yang sangat subyektif mengenai berbagai isu sosial dan kemanusiaan, yang bukan kebetulan telah lahir di tengah-tengah gejolak sosial-politik yang memaksa kita semua mempertimbangkan kembali nilai-nilai yang selama itu telah kita sepakati sebagai kebenaran dan keyakinan.

Sebelum itu, ketika terjadi pertarungan gagasan mengenai kebudayaan antara golongan yang boleh diklasifikasikan sebagai kanan dan kiri, banyak dihasilkan esai yang memuat pandangan pribadi sejumlah budayawan mengenai peran seni dalam masyarakat. Dalam dialog panjang itu tampak bahwa seni dari satu sisi dituntut agar bisa dipahami rakyat banyak, sementara yang lain menjelaskan bahwa yang penting dalam penciptaan seni adalah mengembangkan seni itu sendiri. Pihak pertama biasanya disebut sebagai penganjur seni untuk masyarakat, yang kedua dituduh telah menghasilkan seni demi seni itu sendiri. Tentu saja esai-esai yang pada tahun 1950-an dihasilkan oleh Jassin, Pramoedya Ananta Toer, Sitor Situmorang, Idrus, Soedjatmoko, dan Asrul Sani itu – untuk menyebut beberapa nama saja – tidak bisa sepenuhnya diklasifikasikan ke dalam dua kubu itu. Masing-masing esai harus dibaca sebagai tanggapan dan tafsir pribadi atas konsep-konsep kebudayaan yang berkembang di Barat, yang sebagian di antaranya kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia. Para esais kita itu kemudian tidak sekedar menyerap mentah-mentah gagasan itu, tetapi menyesuaikannya dengan konteks yang ada dan pandangan yang sangat pribadi, yang sebagaian merupakan hasil interpretasi atas gagasan- gagasan tersebut – tidak peduli benar atau keliru.

Situasi yang agak berbeda pernah terjadi di zaman sebelum Kemerdekaan, di tahun 1930-an. Ketika itu, sejumlah budayawan bersilang gagasan mengenai kebudayaan. Dr.Soetomo, Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, dan W.J.S. Poerwadarminta – antara lain – bertengkar mengenai prinsip-prinsip kebudayaan Timur dan Barat, sambil mempertanyakan kebudayaan kita ini di mana letaknya. Esai-esai yang mereka hasilkan itu memuat pandangan pribadi mengenai kebudayaan dan peradaban, yang umumnya bergoyang-goyang antara apa yang mereka sebut sebagai Timur dan Barat. ‘Rangkaian’ esai yang ditulis tahun 1930-an itu, yang beberapa di antaranya memang merupakan dialog antara dua pendapat, kemudian dikumpulkan dalam sebuah buku penting, Polemik Kebudayaan, oleh Achdiat Kartamihardja yang menyusunnya menjadi sejumlah esai yang memberi kesan telah ditulis dalam waktu yang singkat untuk membicarakan topik tertentu, yakni kebudayaan.

/iii/
Di dalam perkembangan penulisan esai, ada suatu masa yang mencatat banyaknya penggunaan nama samaran. Kalau kita tinjau negeri asal-muasal genre ini, masa Renaisans mengagungkan individualisme, namun sikap itu tidak terus bertahan. Hal ini ternyata mempengaruhi penulisan esai. Dan ketika individualisme mulai surut, para penulis esai mulai menyembunyikan diri mereka di belakang nama pena, meskipun tetap saja tema yang mereka garap merupakan pandangan pribadi terhadap berbagai masalah yang terjadi di sekitarnya. Dalam perkembangan penulisan esai di Barat, penggunaan nama samaran semacam itu sesungguhnya tidak selalu menunjukkan bahwa si penulis takut identitasnya diketahui, tetapi sering juga karena ia berusaha untuk melibatkan pembaca dalam masalah yang dibicarakannya, yang ditinjaunya dari sudut yang sering sangat pribadi.

Dengan menyebut dirinya sebagai seorang drapier ‘pedagang kain’ dan berpura-pura sebagai seorang ahli ekonomi, Jonathan Swift menulis sejumlah esai yang merupakan kritikan sangat pedas terhadap keadaan ekonomi dan sosial di Irlandia pada paro pertama abad ke-18. Dalam Sketches by Boz yang terbit pada tahun 1836, Charles Dickens melanjutkan tradisi menggunakan nama samaran itu dengan meminjam nama panggilan masa kecil saudara laki-lakinya. Sejarah kesusastraan Amerika mencatat bahwa Samuel Langhorn Clements dikenal antara lain sebagai Sergeant Fathom, Thomas Jefferson Snodgrass, dan Satan. Kecenderungan semacam ini bisa saja dianggap aneh. Mengapa pandangan yang sangat pribadi dalam esai justru disembunyikan dalam nama samaran?

Dalam kesusastraan kita hal itu ternyata berlaku juga. Pada zaman sebelum Kemerdekaan, sejumlah besar esais menggunakan nama samaran. Yang mencolok adalah Armijn Pane, Hamka, dan Kwee Tek Hoay. Dapat dipertimbangkan pandangan bahwa penggunaan nama samaran bagi kebanyakan penulis kita itu tidak disebabkan karena ingin menarik simpati pembaca tetapi karena masing-masing mereka itu terlalu banyak menulis sehingga ‘malu.’ Tetapi mungkin sekali ‘malu’ bukanlah alasan yang bisa diterima: mengapa mesti malu mengungkapkan pandangan pribadi? Kwee Tek Haoy, misalnya, menggunakan begitu banyak nama samaran tidak karena ia malu tetapi karena menangani penerbitan majalah yang harus terbit setiap minggu. Kalau tidak ada karangan masuk, siapa lagi yang harus mengisi halaman kosong majalahnya? Kasus serupa terjadi pada Hamka pada masa sebelum Kemerdekaan. Kedua penulis itu tercatat sebagai esais yang menulis karangan yang menyangkut begitu banyak persoalan dan oleh karenanya merasa harus, meski mungkin terpaksa, menggunakan begitu banyak nama pena.

Dalam beberapa kasus, nama samaran dipergunakan karena penulis merasa tidak enak atau ragu-ragu karena ‘menyerang’ tulisan orang; hal ini terjadi pada Rosihan Anwar ketika ia menggunakan nama samaran untuk menilai cerpen Basuki Goenawan yang dimuat dalam majalah Konfrontasi pada tahun 1950-an. Goenawan Mohamad juga pernah menggunakan nama samaran dalam esainya ketika Manifes Kebudayaan dilarang oleh pemerintah Orde Lama. Kecenderungan ini tidak hanya berlaku dalam penulisan esai tentu saja, tetapi juga dalam penulisan genre sastra lain. Dalam hal yang terakhir ini bahkan nama samaran yang dipakai menunjukkan jenis kelamin yang berbeda. George Elliot dan George Sands adalah nama laki-laki yang dipinjam oleh pengarang perempuan, sedangkan Mujimanto menggunakan nama perempuan, Niken Pratiwi. Yang terjadi mungkin saja merupakan bukti bahwa kadang-kadang ada hal yang menyebabkan seorang pengarang ‘terpaksa’ menggunakan nama lain meskipun tulisannya merupakan pengungkapan pandangan yang sangat pribadi.

/iv/
Esai tidak menuntut, meskipun juga tidak menolak, catatan kaki; ini yang terutama membedakannya dari karya ilmiah. Nilai esai sama sekali tidak ditentukan oleh kadar ilmiahnya, yang dalam karya ilmiah dituntun oleh pilihan teori, metode, dan pendekatannya. Namun, harus juga diterima kenyataan bahwa esais yang menguasai ‘teori’, konsep, dan jargon di bidang yang dibicarakannya cenderung menghasilkan tulisan yang masuk akal dan memberikan pencerahan, tidak malah meruwetkan masalahnya – yang mungkin sekali juga sudah ruwet. Tentu tidak usah si esais menyebut-nyebut teori yang dipergunakannya atau menggunakan jargon-jargon yang merupakan sekedar pameran hapalan.

Gaya penulisan esai sama sekali tidak pasti. Ini antara lain disebabkan oleh luasnya cakupan tema yang bisa digarap dan sifatnya yang merupakan ungkapan pribadi dan karenanya bisa saja ditulis dengan gaya apa saja – tentu yang dianggap sesuai dengan nada yang ingin diciptakannya berkenaan dengan khalayak yang ditujunya, atau yang ada dalam angan-angannya. Kita kutip satu dua alinea esai Umar Kayam dan Goenawan Mohamad untuk menunjukkan keluasan gaya yang bisa dipilih. Kutipan pertama tulisan Goenawan Mohamad yang dimuat kembali dalam Kekuasaan dan Kesusastraan.

“BERILAH AKU SATU KATA PUISI”

… Berilah aku satu kata puisi
daripada seribu rumus-rumus yang penuh janji
yang menyebabkan aku terlontar kini jauh dari bumi yang kukasih. Angkasa ini bisu. Angkasa ini sepi.

Tetapi aku telah sampai pada tepi.
Dari mana aku tak mungkin lagi kembali.
(Subagio Sastrowardoyo, “Manusia Pertama di Angkasa Luar.”)

Manusia pertama di angkasa luar (bukan Gagarin, Titof, ataupun Sheppard) bagi Subagio Sastrowardoyo adalah korban. Ilmu penuh janji, tetapi apa jadinya dengan orang yang satu ini?

Bagi para ahli ilmu ia dikirim dalam pesawat ruang angkasa untuk dilihat bagaimana reaksi tubuh dan jiwa manusia di situ (monyet dan anjing juga diperlakukan sama). Orang itu hanya satu dari sejumlah alat eksperimen. Situasinya yang khusus dan konkret tidak penting. Ia dipasang sebagai hasil abstraksi.

Ada benarnya bila kita membutuhkan suatu prestasi insaniah yang lain: kita menyodorkan seni, puisi. Dalam sajak Subagio Sastrowardoyo, manusia pertama di angkasa luar itu pada akhirnya juga memintanya. Sebab jika seni adalah pemberontakan seniman pada realitas, saya kira itu berarti ia tidak ingin menyerah kepada kebenaran rasional menurut penerimaan manusia pada umumnya; ia ingin menjadi pribadi dalam situasinya yang khusus. Seruan agar diciptakan seni yang “bisa atau mudah dimengerti” (oleh semua orang, oleh rakyat) pada dasarnya mendasarkan seni kepada kebenaran rasional.

Tapi realitas yang hanya diwakili oleh penampilan hasil prestasi rasional tidaklah lengkap. Alfred North Whitehead: “Apabila kita memahami segalanya tentang matahari, segalanya tentang atmosfir, dan segalanya tentang rotasi bumi, kita masih terluput untuk melihat kecemerlangan sinar matahari terbenam.” Di saat melihat sinar matahari itu kita pun masing-masing punya pengalaman sendiri, yang tak sepenuhnya bisa dikomunikasikan secara persis, jelas.

Esai yang ditulis pada tahun 1962 ini dikutip seutuhnya sebab sangat ringkas dan sesuai sebagai contoh untuk menunjukkan ciri-ciri esai. Pertama, karangan itu ringkas. Goenawan mengangkat persoalan hubungan- hubungan antara manusia dan teknologi, manusia sebagai bagian dari mesin besar yang bernama rumus ilmu pengetahuan. Dan persoalan itu ditemukannya dalam sebuah sajak yang juga memasalahkan hal yang sama. Tetapi dalam esainya yang sangat ringkas itu Goenawan tidak hanya berhenti pada masalah yang diungkapkan Soebagio tapi juga pada isu-isu yang menjadi perhatiannya. Dengan demikian sajak Soebagio ini sebenarnya ‘hanya’ menjadi pemicu bagi Goenawan untuk menyampaikan pandangan mengenai satu atau lebih topik yang dianggapnya penting untuk diungkapkan. Dalam esai yang ringkas itu ia memasalahkan hakekat dan fungsi seni dalam kaitannya dengan kemajuan teknologi, sekaligus menyinggung masalah fungsi seni bagi sementara orang yang menganggap seni hanya sebagai alat untuk berkomunikasi secara gamblang dengan sebanyak mungkin orang. Untuk ‘meyakinkan’ pembacanya ia mengutip pandangan seorang budayawan Amerika mengenai tiadanya sisi kemanusiaan dalam sikap kita terhadap kemajuan teknologi. Singkatnya, Goenawan mengajak kita untuk merenungkan atau berpikir mengenai masalah yang dianggapnya penting, yang mungkin sekali luput dari perhatian kita. Esai itu menggoda kita untuk merenungkan berbagai hal sekaligus. Hal itu bisa terjadi karena penggunaan bahasa yang elastis, yang jauh dari kecenderungan bahasa ilmiah tetapi yang relatif taat pada register tertentu.

Sebagai perbandingan kita kutip sebagian dari esai Umar Kayam berikut ini. Judulnya adalah “Nostalgia,” diambil dari Mangan Ora Mangan Kumpul.

“Ya, wong cilik itu makin pringisan cari akalnya, Pak. Makin susah mengumpulkan dhuwit. Opor ayam ya tetep ada. Ning ya itu. Yang disembelih ayamnya mangkin sithik. Santennya mangkin cuwer. Sambel goreng ya tidak ati lagi. Daging ning disuwir-suwir, Pak. Pak, mbok panjenengan sadaya jangan sadis-sadis sama wong cilik..”

Mak klepat! Mr. Rigen pergi ke belakang. Hatiku anjlok sampai beberapa meter. Kali ini miris betul aku. Aku tercenung mendengar grundelan Mr. Rigen itu. Aku membayangkan Prof. Lemahamba jalan-jalan shopping di Kowloon Lebaran yang datang. Aku membayangkan opor ayam dan rendang dagingku di Jakarta.
kursi.

“Pak Ageng. Nanti sore boleh liat baris dramben?”
Beni Prakosa tahu-tahu sudah mengelus-elus tanganku di
“Boleh, boleh, Le. Bilang bapakmu boleh pakai Jip…”
“Horee, horee, boleh pakai Jip, Paaak.”

Jelas kelihatan bahwa apa yang dikatakan dan bagaimana cara mengatakannya sama sekali berbeda dengan yang kita dapati dalam esai Goenawan. Ini adalah salah satu dari ‘seri’ esai yang ditulis Umar Kayam setiap Selasa di sebuah koran yang terbit di Yogya, Kedaulatan Rakyat. Meskipun masing-masing esai bisa dibaca secara terpisah, ada semacam garis merah yang menghubungkan esai-esai itu menjadi rangkaian ‘cerita’ mengenai sebuah keluarga yang unik. Ciri yang demikian itulah yang menyebabkan rangkaian esai Umar Kayam mirip cerita rekaan. Berbeda dengan esai Goenawan, esai ini menampilkan tokoh-tokoh yang selalu muncul dalam rangkaian secara keseluruhan. Perbedaan lain adalah penggunaan bahasa. Umar Kayam tentu memperhitungkan dengan cermat kepada siapa ia berbicara. Orang Yogya, dan siapa pun yang memahami bahasa Jawa, tentunya tidak mengalami kesulitan memahami begitu banyak kosakata bahasa Jawa yang dipergunakan dalam esai tersebut. Dari segi tertentu penggunaan kata bahasa Jawa itu tentu menyulitkan pembaca, atau setidaknya dianggap kenes. Namun, seperti juga dalam fiksi yang ditulisnya, Umar Kayam dengan lancar dan mulus memanfaatkan bahasa lain – tidak hanya bahasa Jawa – untuk menggarisbawahi apa yang ingin disampaikannya. Juga, tentu saja, untuk menguasai pembacanya.

Dalam esai ini Umar Kayam mengajak kita berdiskusi mengenai kesulitan hidup yang dirasakan oleh hampir semua golongan masyarakat. Namun, yang paling menderita dalam keadaan sulit itu selalu saja orang kecil, yang meskipun tidak terang-terangan menuduh panjenengan sadaya ‘kalian semua’ – tentu yang dimaksudkan di sini adalah ‘orang besar’ – sebagai sumber malapetaka itu. Situasi yang konyol ditunjukkan dengan kata Mak klepat ‘mendadak, begitu saja.’ Dan situasi sulit itu menjadi konyol antara lain karena penggunaan bahasa campuran itu, di samping penokohan yang berhasil mengungkapkan watak masing-masing orang yang memungkinkan si esais menciptakan glenyengan ‘bodoran.’ Glenyengan Umar Kayam pada dasarnya adalah ironi, suatu kualitas yang ditunjukkan Goenawan dengan cara yang sama sekali berbeda. Ironi merupakan piranti yang sangat canggih untuk mengungkapkan pandangan pribadi, tetapi piranti bahasa ini hanya bisa dikuasai penggunaannya oleh penulis yang benar-benar telah menguasai bahasanya dengan baik.

Satu lagi saja kutipan, kali ini dari Sindhunata, pakar filsafat yang menulis sejumlah besar esai mengenai sepak bola. Judul esai ini adalah “Fanatisme.” Esai ini dimuat dalam Bola di Balik Bulan.

Fanatisme daerah itu penyakit! Benar. Dan anak-anak Surabaya memang terkenal fanatik akan daerahnya. Tetapi jika Surabaya, Medan, Unjung Pandang, dan Bandung bersatu, karena kebetulan mereka sedang melawan Jakarta, kiranya tidak tepat jika ‘sikap bermusuhan’ terhadap Persija Jakarta itu dikategorikan begitu saja dalam kriteria fanatisme daerah.

‘Fenomena Nobon’ adalah wadah bagi kejengkelan sosial daerah terhadap terhadap ibukota. Ke Jakarta pemain-pemainn terbaik daerah pindah. Alasannya, demi lebih baiknya nafkah. Tapi toh mereka diam-diam disedot untuk memperkuat Persija Jakarta. Di mata daerah, Jakarta itu kaya, arogan, sombong, dan serakah. Bola adalah kesempatan untuk secara blak-blakan membuka apa yang lama disembunyikan: jurang antara kota dan daerah, iri hati sosial dari mereka yang miskin dan tidak berdaya terhadap mereka yang kuat, kaya, dan pongah. Melihat Nobon, anak-anak daerah melihat dirinya sebagai si lemah Daud melawan si kuat Goliath, raksasa ibukota. Dan jika ada pergulatan si Daud melawan Goliath, siapakah yang tidak bersimpati memihak pada Daud.

Sindhunata melihat sepak bola ‘hanya’ sebagai pijakan untuk membicarakan konsep yang dianggapnya penting untuk direnungkan bersama, yakni ‘perlawanan’ daerah terhadap pusat. Ingat konteks esai ini: pada waktu itu belum ada otonomi daerah. Namun, sekaligus ia juga menyinggung masalah yang sangat dasar dalam kehidupan kita, yakni fanatisme. Seperti juga dalam hampir semua esainya mengenai sepak bola, Romo Sindhu menggunakan piranti sastra – dalam contoh ini ia membayangkan daerah dan pusat sebagai Daud dan Goliath, dua tokoh yang diangkat dari Kitab Suci. Kisah itu menunjukkan adanya kualitas manusia yang cenderung membela yang lemah dalam pertarungannya melawan si kuat; dalam situasi itu si kuat selalu dibayangkan sebagai yang buruk dan sudah seharusnya kalah. Esai ini berangkat dari peristiwa ketika terjadi pertandingan antara Persija dan PSMS; di luar lapangan penonton yang antara lain berasal dari Surabaya berteriak memberi semangat kepada Nobon, pemain Medan. Teriakan yang membela Nobon itu tidak hanya terdengar di kalangan penonton yang berasal dari Surabaya, tetapi juga dari Bandung. Ini, bagi Sindhunata, merupakan bukti bahwa fanatisme daerah lenyap jika mereka menghadapi fenomena Daud melawan Goliath.

Oleh Montaigne dikatakan bahwa esai ditulis dalam bentuk prosa. Namun, dalam pekembangan selanjutnya esais juga menggunakan puisi dalam menyampaikan gagasan pribadinya. Dalam khasanah kesusastraan Inggris abad ke-18 kita mengenal sastrawan Alexander Pope yang menulis Essay on Criticism dan Essay on Man, keduanya ditulis dalam bentuk puisi. Yang pertama merupakan esai mengenai kesusastraan yang prinsip- prinsipnya kemudian diikuti oleh para penulis mashab klasikisme di Inggris. Ditinjau dari segi ini, sebenarnya puisi panjang yang ditulis oleh Mas Marco pada tahun 1920-an, Syair Rempah-rempah, adalah juga esai. Puisi panjang itu mengungkapkan dengan gamblang pandangan pribadinya terhadap politik pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu. Di sini kita sampai pada pembicaraan mengenai kaburnya batas antara esai dan genre sastra lain. Ini sebagian tentu disebabkan oleh ‘jabatan’ yang biasanya dirangkap oleh seorang penulis.

/v/
Karena masyarakat memerlukan saluran untuk menyampaikan gagasan pribadi menganai berbagai hal, esai berkembang di negeri-negeri yang menghasilkan sastra modern. Beberapa pemenang hadiah Nobel untuk kesusastraan adalah penulis esai yang dihormati gaya penulisan dan gagasan-gagasannya. T.S Eliot menulis sejumlah esai yang kemudian dianggap sebagai sumber pemikiran mashab new criticism yang berkembang terutama di Amerika pada tahun 1940-an. Dalam khasanah sastra India, Rabindranath Tagore yang sangat subur itu telah menghasilkan begitu banyak esai yang mencakup masalah filsafat, sastra, dan agama. Aleksander Solzhenitzyn menulis esai-esai yang realistik mengenai ketimpangan sosial di negerinya, Rusia; dalam esai-esainya itu ia mengaduk fiksi dan reportase. Esai-esainya itulah yang kemudian dikembangkannya lebih lanjut dalam sebuah novel yang oleh banyak pengamat dianggap monumental, yang dalam bahasa Inggris berjudul The Gulag Archipelago 1918-1956: an Experiment in Literary Investigation, terbit tahun 1974-1978 dalam tiga jilid.

Contoh terakhir itu seolah-olah menunjukkan bahwa karena dekat dengan reportase, esai merupakan karangan yang ditulis setelah pengarang memiliki gagasan yang pasti mengenai apa yang mau ditulisnya, dan bahwa karangannya dengan demikian tidak mengandung ketaksaan. Kesimpulan itu tidak benar sebab sangat banyak esai yang, meskipun merupakan pandangan pribadi yang mestinya harus jelas maksudnya, yang sarat mengandung ambiguitas. Esai-esai Tagore dan Kwee Tek Hoay, misalnya, dengan tegas menunjukkan pandangan pribadi itu, tetapi tulisan Goenawan Mohamad yang dikenal sebagai ‘catatan pinggir’ menyediakan ruang yang lapang untuk makna ganda. Dalam hal ini, kesimpulan yang bisa diambil agaknya adalah bahwa esais itu memang memiliki pandangan pribadi yang ambigu; ia menggoda pembacanya untuk bersikap ambigu terhadap masalah yang dipertimbangkannya karena sikap semacam itulah yang baginya cerdas.

Dalam perkembangan jurnalisme, esai yang dianggap mewakili pandangan media cetak adalah editorial. Subgenre itu pada dasarnya merupakan ramuan antara laporan berita dan pandangan ‘pribadi’ mengenai yang dilaporkan itu. Landasan utamanya selalu peristiwa karena editorial memang tak lain adalah tanggapan terhadap berita. Namun, tanggapan yang dianggap pribadi itu sebenarnya merupakan suara kekuatan yang berada di balik media yang memuatnya. Dalam editorial, si penulis – yang sering adalah ketua redaksi atau yang bertanggung jawab atas penerbitan – menuangkan pandangan yang sebenarnya tidak sepenuhnya pribadi. Dalam hal ini, pribadi adalah golongan atau kelompok yang bisa berupa lembaga jenis apa pun. Akibatnya, editorial bisa saja merupakan esai yang dengan gamblang menjelaskan posisi si penulis dalam menghadapi masalah, tetapi bisa juga merupakan tanggapan yang ambigu terhadap masalah, biasanya sosial, yang masih hangat. Kita baca sebuah editorial dari Koran Tempo 25 September 2005 berikut ini, yang membincangkan masalah flu burung, ditulis oleh Putu Setia, judulnya “Flu Burung (Lagi).”

“Penyakit yang paling menyiksa adalah flu. Ini keluhan teman saya karena kebetulan ia kena flu. Saat saya berjumpa dengan teman yang sedang sakit gigi, keluhannya sama: “Waduh, kamu jangan sampai sakit gigi, ini penyakit yang paling menyiksa.”

Sakit apa pun, tak ada yang enak. Semua orang tak ingin sakit, kecuali koruptor yang sedang ditahan, supaya bisa pindah ke rumah sakit yang ada ac-nya. Manusia ternyata makhluk yang lemah, suka mengeluh karena sakit, bahkan panik.

Manusia cengengesan kalau kena flu. Ada baiknya juga, kita tahu dia kena flu, dan kita bisa menghindar. Coba kalau burung terkena flu, bagaimana kita tahu? Apalagi kalau ayam kena flu burung. Ayamnya tidak panik. Kalaupun ayam mengeluh kita tidak tahu bahasanya. Manusia – termasuk saya dan Menteri Kesehatan – tidak tahu perisnya di mana ayam yang menderita flu burung itu. Tiba-tiba saja orang (bukan ayam) yang meninggal dunia karena mengidap flu burung.

Setelah ada korban manusia itulah kita baru bisa main tebak-tebakan, di mana sumber virus flu burung itu. Langkah pun diambil. Basmi ayam di sana, bunuh babinya, jangan ambil risiko. Itu yang terjadi kira-kira tiga bulan yang lalu di Tangerang setelah kematian Iwan dan dua anaknya. Namun, karena pembasmian itu diumumkan, peternak lebih cerdik dari pejabat, ternak diungsikan sebagian ke tempat lain.

Kini ada lagi korban flu burung. Dari mana datangnya virus itu lagi? Bukankah dulu semua ternak di kawasan yang “dituduh” sebagai penyebar virus sudah dibantai? Karena manusia tidak bisa mewawancarai unggas, diambil sampel unggas secara acak. Ketahuan virus ada di Kebun Binatang Ragunan. Nah, dibantailah unggas di sana.

Tulisan Putu Setia ini merupakan tanggapan terhadap masalah serius di bidang kesehatan, yang disampaikan secara cengengesan, ‘seenak perut.’ Tidak jelas benar apakah dalam tulisan itu Putu Setia mewakili lembaga, yakni Koran Tempo, atau berbicara sebagai pribadi. Maksudnya, apakah sikap cengengesan itu juga mencerminkan lembaganya. Esai ini menggunakan bahasa yang tidak formal dan, dalam beberapa bagian, mengungakapkan logika yang tak beres, “basmi ayam di sana, bunuh babinya.” Dalam sangat banyak editorial, sikap semacam itu terbaca, suatu sikap yang menunjukkan bahwa esai yang berupa editorial bisa saja ditata dalam bahasa yang ringan meskipun masalah yang diungkapkannya aktual dan serius.

/vi/
Dalam pandangan kita sampai hari ini, esai umumnya dianggap sebagai karangan yang tidak diklasifikasikan sebagai karya sastra. Nasibnya sama dengan (oto)biografi. Sudah waktunya kita menggolongkannya sebagai karya sastra sebab seperti halnya genre lain, esai mementingkan penggunaan bahasa dan penyampaian pandangan pribadi. Mungkin jenis tulisan ini dianggap bukan karya sastra, tepatnya bukan fiksi, karena umumnya tidak disusun dalam alur yang digerakkan oleh tokoh; bahkan juga tidak jarang dalam esai tidak dijumpai latar karena bisa saja esai merupakan tulisan yang sama sekali abstrak, yang kandungannya semata-mata diskusi mengenai suatu segi masalah. Dalam sastra, diskusi merupakan salah satu cara yang boleh saja dipergunakan, tentu saja, sepanjang yang disampaikan adalah pandangan pribadi si penulis. Diskusi bisa ditunjukan lewat berbagai cara, dalam narasi maupun dialog. Dalam tiga kutipan kita itu, Umar Kayam menggunakan dialog langsung, Putu Setia memilih dialog tak langsung, sedangkan Goenawan Mohamad “berdialog dengan dirinya sendiri” dalam uraiannya.

Seperti yang sudah disinggung di awal karangan ini – dalam esai ini, ada dua genre yang sampai sekarang masih belum kita masukkan ke dalam kategori sastra, yakni (oto)biografi dan esai. Keduanya memiliki kekhasan: esai menekankan pada diskusi mengenai gagasan tertentu, sedangkan (oto)biografi mementingkan alur dan penokohan dalam membicarakan gagasan. Diskusi merupakan proses penting dalam pemahaman kita mengenai berbagai masalah yang menyangkut diri kita, termasuk mengenai kita sendiri. Diskusi juga merupakan wahana penting untuk memahamai dan menghayati bahasa. Dengan memberi lebih banyak kesempatan untuk berdiskusi, kita melapangkan jalan bagi siapa pun untuk menumbuhkan cara berpikir yang sehat dalam berbahasa. Alasan itulah yang menjadi dasar mengapa esai, yang pada dasarnya menggunakan piranti sastra dalam pengungkapannya, sudah seharusnya kita kategorikan sebagai karya sastra – dan karenanya merupakan bagian penting dalam pengajaran sastra di dalam pendidikan formal kita, tidak terkecuali perguran tinggi.
***

Depok, September 2005.

*) Sapardi Djoko Damono, penyair dan pakar sastra. Disalin kembali oleh Republik of Performing Arts.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *