(Catatan pendek atas novel “Manusia Kera” karya Abdullah Harahap)
Saya telah membaca soal Abdullah Harahap, penulis cerita-cerita horor kelahiran Sipirok yang amat produktif sejak bertahun-tahun silam. Beberapa kali Eka Kurniawan menuliskan soal Abdullah dengan maksud memuji. Bahkan secara terang-terangan Eka mengakui pengaruh karya-karya Abdullah (bersama karya Asmaraman S. Kho Ping Hoo dan Enny Arrow) terhadap cerita-ceritanya. Lebih dari itu, bersama Intan Paramaditha dan Ugoran Prasad, Eka pernah menulis buku Kumpulan Budak Setan sebagai bentuk perayaan atas cerita-cerita Abdullah. Baru-baru ini Mikael Johani juga menerbitkan catatan menarik berjudul “Bangkit dari Lapak: Abdullah Harahap dalam Kanon Sastra Indonesia” yang mengemukakan bahwa terpinggirnya karya-karya Abdullah dalam skena sastra Indonesia adalah salah kanon sastra Indonesia sendiri yang tidak punya kanon(isasi) sastra yang jelas sehingga karya-karya Abdullah musti terjerumus dalam status “picisan/stensilan/murahan/sastra kaki lima”.
Meskipun Eka dan Mikael telah bicara, nyatanya pembahasan soal karya-karya Abdullah belumlah ramai-ramai amat. Untuk ukuran penulis yang telah menelurkan puluhan karya kelas atas, porsi pembahasan untuk Abdullah kelewat sedikit. Kebanyakan penulis dan pembaca saat ini lebih asyik membicarakan karya-karya baru. Sayangnya, mereka membicarakan karya-karya baru bukan karena karya-karya itu sangat bagus dan layak dibicarkan, kerap kali alasan mereka membicarakan karya itu karena kebaruannya semata, karena terbit baru-baru ini, kendati dalam setahun-dua tahun ke depan karya itu akan teronggok dan dilupakan (ya, karena kualitasnya tak sebagus yang orang-orang gemborkan).
Secara pribadi saya juga tidak puas terhadap karya-karya penulis dalam negeri yang muncul belakangan. Mungkin ini salah saya yang tidak mudah jatuh cinta. Untuk itu saya pun mencoba untuk menengok ke belakang, membaca buku-buku lama yang tak banyak orang bicarakan, padahal layak dibaca.
Sebulan belakangan saya memburu karya-karya Abdullah Harahap. Saya baru mendapatkan empat novelnya berjudul Bisikan Arwah, Pemenggal Kepala, Manusia Serigala, dan Manusia Kera (saya membelinya dengan harga sepuluh ribuan! Bandingkan dengan buku-buku yang terbit dewasa ini yang harganya bisa berkali-kali lipat!). Judul terakhir itulah yang baru saya baca dan hendak saya bicarakan.
Sungguh Abdullah Harahap sudah memikat saya sejak dari pembukaan novelnya. Dalam novel terbitan Sinar Pelangi yang tidak mencantumkan tahun terbit ini Abdullah membuka novelnya dengan kata-kata berikut: “Bramandita menyelesaikan ketikannya lalu mengoreksi sambil lalu. Ia tahu kalau itu adalah artikel terburuk yang dibuatnya satu minggu terakhir ini, tetapi tidak berbuat sesuatu untuk penerbitan esok pagi adalah lebih buruk lagi.”
Mungkin sebagian orang menganggap deretan kalimat itu biasa-biasa saja. Tetapi bagi saya pembukaan itu menunjukkan keterampilan Abdullah sekaligus kepercayaan dirinya. Ia tidak repot-repot melukiskan gambaran cuaca atau detail-detail yang tak perlu. Ia langsung menukik pada konflik. Ya, novel ini berkisah tentang Bramandita, seorang wartawan yang dituntut untuk menulis artikel heboh dan berpotensi menarik minat banyak pembaca. Kemudian cerita pun beralih ke dua kematian misterius: sopir taksi yang mati tanpa luka dan Tedi Jukandi yang mati dengan leher tercabik dan kemaluan terputus. Kematian Tedi (ia adalah kawan dekat Bramandita atau Rama) adalah misteri yang sukar dipecahkan. Pada bagian awal novel ini terasa seperti novel detektif. Lantas, cerita pun bergerak lagi, kali ini kita akan menjumpai tokoh Miranda (istri Tedi yang sekaligus merupakan cinta lama Rama). Pada bagian kedua ini Manusia Kera terasa seperti novel romance—bisa bayangkan cerita cinta-cintaan dengan judul Manusia Kera? Sementara pada bagian ketiga ketika Bramandita menemani Miranda pergi ke kampungnya—sebuah desa bernama Mantili—barulah novel ini memasuki fase novel horor, fase yang paling menegangkan.
Begitulah. Dengan kelincahan kata-kata dan teknik yang amat rapi Abdullah Harahap bisa merangkai ceritanya ke dalam berbagai bentuk dan tema. Bahkan, ia juga mengungkit Teori Evolusi Darwin! Ia mencampuradukan hal yang amat “ilmiah” itu dengan takhayul dan hal-hal mistis. Sungguh revolusioner!
Kehebatan Abdullah Harahap tidak berhenti sampai di situ. Novel ini terdiri dari banyak tokoh dan Abdullah dengan apik bisa memberi porsi yang cukup untuk masing-masing tokoh. Tidak ada tokoh yang tampak sia-sia atau sekadar tempelan. Begitu pun dengan sejumlah detail cerita, umpamanya soal profesi Bramandita sebagai wartawan dan deskripsi Bukit Larangan. Semuanya memiliki fungsi untuk menjadikan cerita lebih kuat dan kokoh.
Ini novel yang kompleks. Tetapi dengan kelenturan berbahasa Abdullah bisa membuat novel ini jadi terasa ringan dibaca—hanya perlu beberapa jam untuk menamatkannya. Temponya cepat. Hampir di setiap bagian terdiri dari aksi-aksi yang menggerakkan cerita tak ubahnya mesin menggerakkan roda. Tidak ada bagian yang melantur atau memanjang-manjangkan cerita belaka.
Saya sadar apa yang saya tuliskan ini belumlah cukup—jauh dari kata cukup—untuk menguraikan soal keunggulan cerita-cerita Abdullah Harahap. Namun, saya musti membahas karya pertama Abdullah Harahap yang saya baca dalam catatan khusus yang amat pendek dan agak gegabah ini untuk mengingatkan diri saya sendiri agar tak menyia-nyiakan waktu membaca karya yang tak jelas kualitasnya serta mahal harganya, sementara di lapak-lapak buku loak karya monumental Abdullah Harahap masih menunggu untuk dipinang dan di rak buku saya masih ada tiga buku Abdullah yang menunggu dibaca.
***
30 Oktober 2020
*) Erwin Setia lahir tahun 1998. Penikmat puisi dan prosa. Kini menempuh pendidikan di Prodi Sejarah dan Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di berbagai media seperti Koran Tempo, Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Minggu Pagi, Solopos, Haluan, Koran Merapi, Padang Ekspres, dan Detik.com. Cerpennya terhimpun dalam Dosa di Hutan Terlarang (2018). Bisa dihubungi di Instagram @erwinsetia14.