PUISI-PUISI TURIS GOENAWAN MOHAMAD


Makalah Diskusi Tanggal, 21 Maret 2000 di TIM, Jakarta. Dimuat di Majalah Horison XXXV, Agustus 2000

F. Rahardi

I. Pengantar

Membaca dan memahami puisi Goenawan Mohamad adalah pekerjaan sulit. Sebab dia punya latar belakang kecerdasan, pengetahuan dan pengalaman yang di atas rata-rata masyarakat Indonesia pada umumnya. Lalu ketika ia menulis puisi, sama halnya ketika ia menulis esei, semua hal yang dimilikinya itu dimunculkan. Dia juga sadar bahwa puisi dan esei yang ditulisnya hanya ditujukan untuk khalayak pembaca dengan tingkat kecerdasan, pengetahuan dan pengalaman yang kuranglebih setara dengannya. Dari judul buku kumpulan puisinya pun, kita sudah bisa melihat hal ini. Pariksit adalah judul buku kumpulan puisi Goenawan pertama. (Litera, Jakarta, 1971). Orang yang berasal dari kultur Jawa pun, belum tentu tahu kisah Pariksit yang hanya terdapat dalam kitab Adiparwa ini. Kemudian Interlude, judul kumpulan puisinya yang kedua (Yayasan Indonesia, Jakarta, 1973). Interlude adalah istilah baku dalam dunia sandiwara atau sebuah simfoni. Ternyata yang dimaksudkannya adalah sebuah suasana (mungkin perang batin) akibat semacam perselingkuhan di sebuah cotage di pinggir pantai. Mungkin juga Interlude di sini dimaksudkannya sebagai sebuah jeda dari rutinitas kehidupan. Buku ketiganya Asmaradana, (Grasindo, Jakarta, 1992), juga merupakan nama salah satu tembang Jawa yang bernuansa asmara. Dan buku ketiganya, Misalkan Kita di Sarajevo, (Kalam 1998), menunjukkan bahwa untuk membaca Goenawan minimal memerlukan rujukan koran dan televisi. Belum lagi idiom-idiomnya yang sangat personal, yang bahkan seorang penyair, sarjana sastra, sahabat dekatnya pun (Sapardi Djoko Damono), juga tidak serta-merta dengan mudah bisa memahaminya. 1)

Tetapi kerumitan puisi Goenawan Mohamad ini justru membuatnya beruntung. Ketika karya-karyainya mulai dipublikasikan pada awal tahun 60an, kepenyairannya langsung diakui oleh elite sastra Indonesia. Sebab dengan tingkat kerumitan setinggi itu, hanya kalangan elite sastra sajalah yang bisa mengagumi (atau mencercanya). Salah satu pengagum berat puisi Goenawan adalah A Teeuw, Guru Besar Bahasa dan Kesusasteraan Melayu dan Indonesia dari Universitas Leiden di Negeri Belanda. Wibawa Teeuw bagi sastra Indonesia mungkin sebanding dengan H.B. Jassin. Telaah Teeuw terhadap puisi Goenawan Di Sebuah Pantai: Interlude; serta Kata Pembacanya pada Asmaradana menunjukkan kekaguman Teeuw pada Goenawan. 2) Mungkin hal inilah yang telah membuat para pengulas sastra Indonesia merasa kikuk kalau harus memberikan penilaian yang lebih wajar terhadap Goenawan. Pengertian yang lebih wajar adalah, selain menunjukkan kehebatannya, sekaligus juga menampilkan sisi lemahnya. Mungkin kekikukan itu disebabkan oleh kenyataan bahwa seorang Teeuw pun sangat memuji Goenawan; apalah artinya pengulas-pengulas “inlander” ini? Lebih-lebih, para penyair yang seangkatan maupun yang lebih muda darinya, hampir seluruhnya berada dalam pengaruh Goenawan; langsung maupun tidak langsung. Hingga ulasan-ulasan mereka terhadap Goenawan pun menjadi terkesan sebagai “kritik basa-basi”. Padahal tanpa telaah yang baik, kepenyairan seseorang tidak akan tampak terlalu utuh. Sebab keutuhan (kesempurnaan) seseorang, justru baru akan kelihatan manakala ia tampil dengan segala kehebatan dan sekaligus kekurangannya. Sebab konon yang melulu hebat dan senantiasa baik hanyalah Gusti Allah.

Mungkin karena wibawa telaah Teeuw itulah maka kepenyairan Goenawan tidak pernah dihujat orang. Selain karena puisi yang ditulisnya juga tidak pernah mengundang kontroversi. Kalau Kitab Balsafah Gatoloco dari awal abad XX sangat menghebohkan hingga menjadi bacaan terlarang di Jawa, maka puisi Gatoloco Goenawan tidak menyisakan sedikitpun kontroversi. Perlawanan atau pemberontakan Goenawan Mohamad memang tidak dilakukan melalui puisi atau esei atau majalah yang dikelolanya. Dia justru memberontak melalui sosok pribadinya. Sejak berusia dini dia telah terlibat dengan pertentangan ideologi antara penandatangan Manifes Kebudayaan dengan para sasterawan Lekra. Ribut-ribut yang senantiasa mewarnai kehidupan pribadinya sampai sekarang, tidak pernah sekali pun menyangkut puisinya. Memang pernah ada sinyelemen bahwa kepenyairan Goenawan membawa arus “puisi gelap” yang merebak di negari ini di sekitar tahun 70 an. Ironinya, salah seorang “epigonnya”, yakni Emha Ainun Najib, justru mempermasalahkan hal ini lewat tulisannya yang sangat jelek di tahun 1975. 3)

Ulasan kali ini akan mencoba mendekati puisi-puisi Goenawan Mohamad dengan sikap lebih berimbang. Untuk sosok sepenting Goenawan, pendekatan terhadap puisinya tidaklah mungkin sekadar pendekatan terhadap teks semata. Pendekatan terhadap puisinya mau tidak mau harus menyertakan pula pembahasan yang cukup terhadap segala hal yang menyangkut kegiatan-kegiatannya di luar soal kepenyairan. Sebab Goenawan bukan hanya sekadar penyair; dan justru kegiatan di luar kepenyairannya menjadi lebih penting dan lebih berdampak luas bagi negeri ini. Akan lain halnya apabila kita hendak membahas karya-karya Chairil Anwar atau Sutardji Calzoum Bachri. Pembahasan terhadap karya-karya mereka bisa cukup hanya dengan pendekatan melalui teks. Sebab mereka berdua hanyalah penyair, dan jalan hidupnya pun lurus-lurus saja. Bahkan terhadap Sapardi Djoko Damono pun, yang pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Sastra UI, pendekatan karyanya bisa hanya melulu berdasarkan pada teks. Mungkin telaah terhadap Goenawan mirip apabila kita hendak membicarakan Rendra, Mochtar Lubis dan Pramudya Ananta Toer yang mau-tidak mau akan terpaksa harus membicarakan figur sasterawannya. Saya tidak setuju dengan Afrizal Malna yang secara ekstrim memisahkan teks dengan penyairnya. 4)
***

II. Pribadi Goenawan

Goenawan Mohamad yang dilahirkan di Batang, Jawa Tengah, 29 Juli 1941; adalah pribadi yang senantiasa merasa “gamang” tetapi keras. Ia lazim disebut GM oleh kalangan dekatnya. Pada umur lima tahun ayahnya yang pejuang kemerdekaan itu terbunuh oleh Belanda. Sebagai penyair yang lahir dalam keluarga Jawa pesisiran, dia merasa berbeda dengan Rendra, Sapardi Djoko Damono dan Slamet Soekirnanto yang tiga-tiganya kelahiran Surakarta (Solo). Surakarta, bagi Goenawan merupakan pusat (elite) sastra Jawa. Sementara dirinya, meskipun Jawa, berbeda bahkan “menyimpang” dari Jawa “keraton” itu. Ia juga merasa berbeda dengan Amir Hamzah, Chairil Anwar dan Sutardji Calzoum Bachri yang berbahasa ibu bahasa Melayu, asal-usul bahasa Indonesia. Bagi Goenawan ”kejawaannya” dan sekaligus “kepesisirannya” ini merupakan masalah besar. Yang bagi Arifin C Noer (yang kelahiran Cirebon dan juga seumur dengannya), permasalahan Jawa pinggiran ini justru sangat disyukurinya karena bisa menjadi modal yang sangat besar. Goenawan tetap saja menganggap dirinya menjadi “tergagap-gagap” dengan kepesisirannya, sementara bahasa Indonesia hanyalah “kampung transmigran” yang masih baru dan sepi. 5)

Tapi betapapun tergagap-gagap, Goenawan Mohamad akhirnya menjadi penyair juga. Berawal dari siaran pembacaan puisi diiringi piano dalam Tunas Mekar di RRI Programa Nasional, Jakarta; Goenawan kecil itu mulai mengenal puisi. Kemudian dia juga bisa membaca puisi-puisi di majalah Kisah yang dilanggan oleh kakak laki-lakinya yang belakangan menjadi dokter. Kakak perempuannya pun, menurut Goenawan, juga pernah menulis entah di majalah apa pada jaman Jepang. Dorongan menulis ini secara tidak langsung juga datang dari ayahnya yang “mewarisinya” sebuah Webster, yang gambar-gambarnya sangat menarik perhatiannya. Dari latar belakang kanak-kanaknya yang semacam inilah dia, di bangku SMP dan SMA, mulai membaca dan menerjemahkan Emily Dickinson dan Guillaume Appolinaire. Dia pun juga mulai mencoba-coba menulis puisi sendiri. Sebelum pindah ke Jakarta dan kuliah di Fakultas Psikologi UI, dia pernah beberapa bulan menjadi guru SMP, mengajar bahasa Inggris. Setelah di Jakarta, puisi-puisinya mulai dimuat di lembar kebudayaan Manifestasi di harian Abadi. Sejak itulah era kepenyairannya dimulai. Esei-eseinya pun lahir dan dibicarakan orang. Kerja kewartawanannya juga dirintisnya di Harian Kami, kemudian di Majalah Ekspres hingga Tempo. Sebenarnya di dunia kewartawanan inilah Goenawan Mohamad lebih berperanan di masyarakat dibanding dengan di dunia sastra. Kepenyairannya, juga kemampuannya untuk mengorganisir sasterawan (antara lain Bur Rasuanto, Usamah, Budiman S. Hartojo, Putu Wijaya; dan Isma Sawitri), telah melahirkan gaya (style) baru dalam dunia jurnalistik. Oleh para pakar, gaya ini kemudian disebut sebagai Cross X Jurnalism. Konon gaya demikian khas majalah Tempo dan tidak ada duanya di dunia. Gaya penulisan Tempo ini kemudian menyebar ke majalah-majalah lain, lebih-lebih setelah personil Tempo pindah dan mendirikan majalah-majalah baru. Selain itu, imbas dari kepenyairan Goenawan juga berpengaruh pula terhadap lahirnya para penulis kolom (lepas) yang “dibidani” oleh Tempo. Mohamad Sobari misalnya, dulunya seorang penulis cerita anak-anak. Kemudian ketika belajar di Australia ia mencoba untuk menulis di Tempo. Sekarang ia dikenal sebagai kolumnis/pemikir terkemuka di Indonesia.

Peran Goenawan Mohamad memang lebih banyak di luar sastra. Ini diakuinya sendiri dari ceramahnya tentang Kesusasteraan dan Pers di Teater Arena, TIM, tanggal 14 Oktober 1971. Meskipun dikemukakan sambil berkelakar, diutarakannya bahwa dia lebih memilih menjadi wartawan daripada sasterawan. “Sebab jurnalistik menghasilkan duit, sedang sastra tidak.” 6) Di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, sosok Goenawan juga lebih kelihatan di luar sastra. File tentang karyanya, juga ulasan-ulasannya, tampak kempes karena hanya berisi sedikit berkas. Sementara ulasan mengenai dirinya ada di enam map dan seluruhnya padat. Goenawan pun gemar menulis surat, hingga ada satu file khusus (tiga map) yang menyimpan surat-surat pribadinya dan juga tampak sangat padat. Dari file tersebut kita dapat merunut bagaimana Goenawan Mohamad hadir dalam sejarah Republik ini bukan melalui sastra. Sebelum kasus Manifes Kebudayaan yang mungkin masih bisa dikait-kaitkan dengan sastra, pada tahun 1963 dia menerima hadiah penulisan esei dari Majalah Sastra. Kemudian tahun 1982 dia juga terlibat polemik yang sangat ramai dengan Sutan Takdir Alisyahbana mengenai ide dan cara penyampaian dalam sastra. Lalu tahun 1992 dia menerima penghargaan Teeuw Award. Di luar itu, hiruk-pikuk kehidupan pribadinya benar-benar lepas dari sastra.

Pada tahun 1969, dia sempat “menyemprot” Bur Rasuanto yang menulis berita tentang ceramahnya di TIM. Kemudian November 1970 Goenawan bertengkar dengan B.M. Diah mengenai kasus PWI yang ditulisnya di Majalah Ekspres. B.M. Diah, sang pemimpin umum Ekspres dan juga koran Merdeka marah besar dan memecat Goenawan CS dari Ekspres (yang belum berumur setahun). Goenawan CS kemudian mendirikan majalah berita mingguan Tempo pada awal tahun 1971. Ketika itulah (1971) Goenawan juga menjadi anggota Badan Sensor Film (BSF) dan terlibat polemik dengan Dra. Zubaedah Mochtar, seorang anggota DPRGR yang menuntut BSF dibubarkan karena dianggap menjadi agen film porno. Masih pada tahun 1971, Goenawan juga terlibat polemik dengan Imam Walujo di Harian Kami tentang eseinya di Tempo mengenai kasus Golongan Putih (Golput) dan Arief Budiman. Kemudian di tahun 1972 dia menerima Anugerah Seni dari pemerintah RI. Kembali di sini terjadi kontroversi. Goenawan menolak hadir untuk menerima penghargaan (meskipun hadiah uang Rp 250.000,- diterimanya), hingga mengundang polemik dengan MS Hutagalung. Tahun 1973-1974, majalah Tempo yang dipimpinnya bersengketa dengan majalah Time mengenai logo dan hak cipta. Sengketa ini dimenangkan Tempo (Goenawan Mohamad). Dalam Festifal Film Indonesia (FFI) 1981 di Surabaya, Goenawan juga sempat berpolemik soal isu suap menyangkut film Bukan Sandiwara yang disutradarai Syuman Jaya. Tahun 1982, majalah Tempo yang dipimpinnya sebentar dibredel oleh pemerintah Orde Baru melalui SK Menpen tanggal 12 April 1982. 7)

Goenawan Mohamad pernah pula menjadi anggota MPR (utusan golongan 1987-1992). Di bulan Juli tahun 1987, dia merasa sangat terpukul karena ditinggal oleh sekitar 40 orang wartawannya yang kemudian mendirikan majalah Editor. Ketika itu sempat terjadi polemik antara Goenawan dengan Syubah Asa. Masih di tahun 1987, pada bulan November, majalah Tempo (Goenawan sebagai Pemred), digugat somasi (Rp 10 milyar) oleh Probo Sutedjo (PT Garmak Motor). Tahun 1993 Goenawan mundur sebagai Pemred Tempo dan berniat untuk mengurus majalah sastra Horison. Ketika itulah juga terjadi ribut-ribut dengan Hamsad Rangkuti CS yang menyebabkan personil Horison pecah dua dan lahirlah jurnal Kalam. 8)

Puncak dari perjuangan Goenawan di luar sastra terjadi akhir-akhir ini. Tahun 1994 kembali majalah Tempo dibredel. Ketika itulah Goenawan lalu menjadi simbol bagi kebebasan pers sekaligus kebebasan berpikir dan berpendapat di Indonesia. Dia terlibat aktif dalam demo-demo menentang pembredelan. Dia juga dipecat dari keanggotaannya di PWI lalu bekas anak buahnya mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Kasus pembredelan Tempo diajukannya di Pengadilan Tata Usaha Negara yang pada tanggal 3 Mei 1995 memenangkan gugatan Goenawan terhadap Menpen melalui hakim Benyamin Mangkudilaga SH. Di tahun 1995 itu pulalah nama Goenawan Mohamad dikait-kaitkan dengan demo terhadap Presiden Soeharto dan rombongan di Dresden, Jerman. Pada akhirnya, perjuangan Goenawan Mohamad di luar sastra membuahkan hasil. Pemerintah Orde Baru tumbang. Majalah Tempo kembali terbit. Dia kemudian juga membangun sebuah komunitas kecil tetapi kuat, yakni Komunitas Utan Kayu. Di sana ada Teater Utan Kayu (TUK), Galeri Lontar, penerbitan Jurnal Kalam. Dari komunitas inilah kemudian lahir novel Saman oleh Ayu Utami yang mengagetkan dunia sastra Indonesia. Kembali di sini ada isyu mengenai “peran” Goenawan di belakang lahirnya novel tersebut.

Apa yang saya sebutkan di atas hanyalah sebagian kecil dari aktifitas Goenawan Mohamad di luar sastra. Hal ini perlu diuraikan dalam membahas puisi-puisinya, sekadar untuk menunjukkan bahwa Goenawan Mohamad jauh lebih berperan di luar sastra. Namun, dengan segala kesibukannya itu, toh dia masih tetap setia menulis puisi, yang sebenarnya tidak akan berdampak finansial, popularitas atau apa pun terhadap dirinya. Fenomena Goenawan yang masih tetap aktif menulis meski sangat sibuk dan sudah hebat ini, ternyata memang cukup menonjol di kalangan penyair/sastrawan kelahiran tahun 40an. Selain Goenawan (1941) ada Sapardi (1940), Danarto (1940), Darmanto Yatman (1942), Sutardji (1941), Kuntowijoyo (1941), dan Hamsad Rangkuti (1941). Mereka itu sudah mulai menulis sejak tahun 60an, menjadi sibuk, terkenal dan kaya (minimal lebih kaya dari ketika mulai menulis). Meskipun sudah tergolong “mapan”, mereka tetap aktif menulis sampai sekarang. Lepas dari mutu karya mereka, ini sudah sebuah prestasi tersendiri. Bahkan tokoh seperti Arifin C. Noer (seumur Goenawan juga), tetap aktif menulis sampai akhir hayatnya. Nama-nama yang lahir lebih terdahulu pun, seperti Taufiq Ismail (1938), Ajip Rosidi (1938), Budi Darma (1937), bahkan Rendra (1935); tetap eksis sampai sekarang. Cobalah bandingkan dengan mereka yang lahir sesudah perang kemerdekaan (1950an). Ada Yudhis/Norca, Adri, Emha, Eka Budianta, Afrizal Malna dan lain-lain yang setelah sangat sibuk dengan “tetek-bengek” di luar sastra lalu lupa menulis puisi. Linus mungkin bisa dimaafkan karena keburu meninggal. Paling yang masih aktif menulis tinggal Korie Layun Rampan dan Ahmadun (karena ia wartawan). Mungkin, ini juga merupakan jawaban mengapa ketika terjadi gejolak sosial dan politik di tahun 60an banyak lahir karya besar (dari penulis generasi 40an), tapi di tahun 90an melempem. Sebab generasi yang lahir setelah perang (50an dan 60an), memang sebuah generasi yang hilang, sebuah generasi melempem. 9)
***

III. Konsep dan Gaya Kepenyairan

Meskipun Goenawan Mohamad tidak pernah secara lugas menulis semacam “Kredo Puisi” atau “Surat Kepercayaan Gelanggang”, tetapi konsep kepenyairannya cukup jelas. A. Teeuw menyebut gaya kepenyairan Goenawan sebagai sebuah “pasemon” yang kemudian juga diiyakan oleh Goenawan sendiri. Sementara sebelumnya Goenawan menyebut dunia kepenyairan sebagai Si Malin Kundang yang setelah berangkat ke seberang dan menjadi makmur lalu lupa pada kampung halaman dan ibu kandungnya. Tetapi pandangan Goenawan berubah ketika dia menulis “sambutan” untuk HUT 80 HB Jassin. Dia menyebut bagaimana puisi hanya membujuk agar kita bersikap “sumeleh”. 10) Petikan dari sambutan ini lalu digunakannya sebagai bulrp untuk kumpulan puisi mutakhirnya Misalkan Kita di Sarajevo. Saya selalu mengatakan kepada teman-teman bahwa dari buku “Sarajevo” itu, hal yang terbagus adalah bulrp yang di sampul belakang itu. Sementara puisi-puisinya sendiri tak sebagus yang diinginkan oleh Goenawan (aliasnya jelek). Teman-teman menganggap saya sedang bercanda, bahkan penyair Leon Agusta kelihatan marah sekali. Tetapi saya tetap pada pendapat saya bahwa sebuah konsep berkesenian boleh saja bagus. Tetapi pelaksanaannya belum tentu bisa sebagus yang dikonsepkan. Karena memang akan selalu ada “gap” antara dunia ide dengan dunia nyata sehari-hari di bidang apa pun.

Sebenarnya konsep berkesenian Goenawan justru paling jelas kelihatan ketika dia menulis esei panjangnya tentang Manifes Kebudayaan. 11) Tetapi yang dilakukan oleh Goenawan dan juga para sasterawan yang seangkatan dengannya (kala itu), sebenarnya hanyalah sebuah reaksi dari sikap totaliterisme Lekra. Dalam hal ini Pramudya dan kawan-kawan. Kalau kita runut sejak dari Manifes sampai ke “Sarajevo” (Sumeleh), sebenarnya konsep kepenyairan Goenawan sangat sederhana. Yakni bagaimana melihat hal yang carut-marut itu dengan sikap yang “tidak ingin menjadi hebat”. Sebab segala omongan tentang hal-hal besar, sudah tidak perlu lagi (sudah keduluan Socrates, Plato, Hegel, Marx dan lain-lain).

Tapi apakah benar bahwa sekarang-sekarang ini, di Indonesia, tidak ada lagi hal-hal besar (atau penting) yang (mungkin) bisa diperjuangkan melalui sastra? Saya cenderung memahami bahwa Goenawan tetap seorang yang gagap dalam berpuisi. Akibatnya dia lalu tidak bisa bersikap selugas Rendra atau Sutardji, bahkan Wiji Thukul. Minimal, dia tidak bisa tegas dalam “bersederhana” lalu menukik ke dalam secara total hingga bisa menghasilkan “haiku”. Memang, idealnya “haiku” dihasilkan oleh para rahib yang bertapa di pucuk gunung. Tapi, dalam kultur Jawa, juga dikenal “topo ngrame” (bertapa menyatu dengan masyarakat). Bentuk inilah yang pernah dilakukan oleh Romo Mangun. Goenawan mestinya bisa pula berada di sana tetapi dia tidak mau. Indikasinya adalah, karena tidak mau menjadi “si Malin Kundang” dia pun lalu tergoda pula untuk mencoba menulis “puisi-puisi sosial” yang dalam “Sarajevo” menjadi lebih verbal. Padahal, keragu-raguan, atau kebimbangan juga bisa menjadi sesuatu yang sangat indah dan sekaligus bermakna. Yesus pernah menjadi sangat ragu-ragu ketika berdoa di bukit Zaitun (Taman Getsemani) pada malam menjelang ditangkap dan dibunuh. Puisi Yesus (doa) dari sikap keragu-raguan di Getsemani ini menjadi sangat terkenal. Arjuna juga ragu-ragu ketika harus menghadapi saudara sendiri (Karna) dalam perang Bharatayudha. Hingga Kresna sebagai titisan Wisnu terpaksa melantunkan pupuh-pupuh Kakawin Bhagawadgita yang panjang dan sarat dengan petuah dan falsafah.

Keraguan, gagap, kebimbangan adalah “dagangan” besar dan sekaligus mahal bagi pembaca. Goenawan yang mengalami kegagapan sebagai anak pesisiran, berusaha untuk menjelajahi khasanah sastra Jawa klasik secara sangat serius. Karena kuliah di Fakultas Psikologi, maka ia pun terpaksa harus juga mengunyah dan mencerna filsafat klasik barat serta modern. Pergaulan dan kedekatannya dengan Wiratmo Soekito serta tokoh-tokoh pemikir lain juga telah membuat sosok Goenawan menjadi sangat kaya dan dengan mudah menjelajahi berbagai aliran besar dalam dunia pemikiran. Lebih-lebih ketika kemudian dia memimpin Majalah Tempo, cantolan pengembaraannya pun menjadi semakin luas dan kokoh. Tetapi bagaimana pun juga, dia tetap harus menulis dalam bahasa Indonesia, bukan bahasa Jawa, bukan bahasa Inggris atau Arab atau Spanyol. Karenanya dia kemudian membuat cantolan pada Amir Hamzah, Chairil Anwar (terutama pada sajak Senja di Pelabuhan Kecil dan Derai-derai Cemara). Meskipun secara ideologis dia berseberangan dengan sasterawan Lekra, tetapi dikaguminya Agam Wispi dan ditulisnya pula Internasionale.

Bagi saya konsep kepenyairan Goenawan justru menjadi semakin lemah untuk diterapkan ketika penyairnya semakin kuat (pintar). Kalau dalam karya-karya awalnya dia sangat sedikit membuat cantolan (istilah Sapardi “acuan”) tempat dan orang, maka dalam karya-karya terakhirnya cantolan tempat hebat dan orang top itu menjadi semakin mempolusi. Ini memang sesuatu yang sehat-sehat saja manakala intensitas dan kedalaman puisi itu tetap terjaga. Misalnya pada puisinya Di Pasar Loak yang termuat dalam Misalkan Kita di Sarajevo. Beberapa teman yang apabila menulis tentang Goenawan (secara formal di media massa), selalu memuji-muji, ketika secara pribadi saya tanyai tentang karya mutakhirnya, mengatakan bahwa secara umum Goenawan memang cenderung mencair dan menurun dalam Misalkan Kita di Sarajevo. Menurut saya, sikap para sahabat dekat Goenawan ini mirip dengan lingkungan dekat Soeharto di jaman Orde Baru. Dalam acara formal mereka selalu santun dan ngapu rancang (menutup burung dengan kedua telapak tangan), tetapi di belakangnya justru ngedumel. Tahun 1998, Harmoko yang mendorong-dorong Soeharto untuk mau menjadi presiden, dua bulan kemudian secara lantang memintanya untuk mundur. Ini semua membuat tokoh seperti Soeharto (dalam politik) dan juga Goenawan Mohamad (dalam sastra) selalu berada pada lingkaran kepura-puraan. Dalam lingkungan sastra, jurnalistik maupun elite pemikir di negeri ini, Goenawan Mohamad adalah “raja” hingga setara dengan Soeharto dalam politik (dalam sastra pun strata itu tetap ada). Dan raja apa pun, baru akan menjadi benar-benar kuat kalau lingkungan dekatnya jujur.

Hukum alam selalu menganut pusat yang sangat kuat dan dikelilingi oleh satelit-satelit yang “nyadong” rejeki serta “dhawuh” dari pusat tersebut. Inti atom yang terdiri dari proton dan neutron selalu dikelilingi oleh elektron. Bintang (matahari) dikitari planet-planet. Bitang-bintang mengelilingi inti galaksi dan galaksi-galaksi itu bergerak entah mengelilingi apa. Itulah hukum alam. Tetapi alam tidak pernah berpura-pura. Sebagai penyair, Goenawan Mohamad benar-benar pernah menjadi “raja” (kiblat) bagi para penyair yang lebih muda. Gaya kepenyairannya yang menghadirkan suasana (imaji), serba remang dan penuh keraguan, pada kurun waktu 1970an menjadi semacam standar wajib bagi para penyair pemula. Tetapi, para penyair pemula itu hanya bisa mengambil kulit dari puisi Goenawan. Karena modal yang dimiliki oleh para penyair itu memang pas-pasan. Misalnya Abdul Hadi WM. Betapa pun ia pernah hebat dengan imaji-imaji lokalnya yang kental dan sarat pesona alam, akhirnya juga kehabisan energi. Energi atau roh puisi inilah yang kadang-kadang dilupakan oleh penyair termasuk Goenawan sendiri. Bagaimanapun juga gaya yang dilansirnya, yang merupakan olahan dari sikap keraguan, yang mengacu pada gaya Amir Hamzah dan sebagian dari Chairil Anwar, yang hanya sekadar menyindir, pada akhirnya juga mendatangkan kejemuan dan kemuakan.

Tahun 1974 adalah puncak dari kejemuan dan kemuakan itu. Ditandai dengan acara “Pengadilan Puisi” di Bandung, gaya penulisan Goenawan (bukan puisi Goenawan) dihujat dengan cara main-main. Acara ini konon berawal dari gagasan iseng Darmanto Jt. dan Sutardji Calzoum Bachri ketika mereka berdua jalan-jalan dari Malioboro ke Tugu (Yogya). Gagasan ini terlaksana tanggal 8 September 1974 dengan “Hakim Ketua” Sanento Juliman, “Hakim Anggota” Darmanto Jt, “Jaksa Penuntut Umum” Slamet Soekirnanto, “Pembela” Taufiq Ismail. Tanggal 21 September 1974 di Fakultas Sastra UI diselenggarakan acara “Jawaban atas Pengadilan Puisi” oleh H.B. Jassin, M.S. Hutagalung, Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono. Sejalan dengan itu lahir pula yang disebut sebagi “puisi mbeling” dan “puisi lugu” dalam rubrik dengan judul sama di majalah Aktuil dan kemudian dalam rubrik Soliloqui di majalah Top. 12) Tokoh yang menggerakkannya bernama Remy Sylado. Mungkin gejala ini bisa disebut sebagai semacam dekonstruksi dari kemapanan gaya kepenyairan Goenawan. Gaya kepenyairan alternatif yang mulai dikembangkan Sutardji menjadi cukup menarik. Dan menurut sumber yang layak untuk dipercaya, justru Goenawanlah yang pertamakali tertarik pada gaya kepenyairan Sutardji. Sementara HB Jassin, Sapardi Djoko Damono dan Rendra masih ragu-ragu bahkan setengahnya antipati. HB Jassin mulai bisa memahami Sutardji baru setelah ia berkesempatan menyaksikan pembacaan sajaknya. Sapardi tetap berhati-hati dengan dalih dia seorang akademisi yang mengajar di fakultas sastra (hingga tidak bisa sembarangan menilai), sementara Rendra waktu itu menganggap Sutardji sebagai “penyair gagu”. Yang paling ekstrim adalah Sutan Takdir yang pada tahun 80an pun masih menganggap Sutardji bukan penyair.

Gugatan terhadap gaya kepenyairan Goenawan ini tidak serta-merta membuat penyair-penyair yang menulis dengan gaya tersebut harus mengubah diri atau mencari gaya lain. Lahirnya genre serta mazhab baru, tidak serta-merta membuat genre serta mazhab sebelumnya lalu dilupakan orang. Lebih-lebih karena konsep puisi Mbeling adalah main-main. Tapi main-main ada banyak ragamnya. Ada main domino untuk menghilangkan kantuk dan membunuh waktu. Ada main perempuan yang kalau ketahuan istri akan menjadi masalah serius. Ada pula main catur, main bola, main film dan sinetron yang bisa menjadi tontonan orang banyak, terima duit dan terkenal. Inilah yang tampaknya dilupakan oleh para pengikut puisi Mbeling. Mungkin yang sadar bahwa main-main itu harus serius hanyalah Sutardji. Karenanya tidak mengherankan kalau generasi puisi Mbeling segera lenyap setelah meledak dengan iseng dan main-mainnya. Ini pulalah kiranya yang menyebabkan generasi penyair kelahiran tahun 50an menjadi tak berbekas. “Generasi yang hilang”.

Sebenarnya gugatan paling serius terhadap gaya kepenyairan Goenawan, justru telah dilakukan oleh Goenawan sendiri melalui eseinya yang sangat monumental: Potret Seorang Penyair Muda Sebagai si Malin Kundang. Meskipun yang dimaksudkan oleh Goenawan sebagai penyair muda adalah generik (termasuk Amir Hamzah. Chairil, Rendra) yang tiba-tiba saja telah melangkah jauh dan merasa asing dengan kampung halamannya. Tak ayal setelah lahirnya esei tersebut, obyek kepenyairan Goenawan pun bergeser. Mulailah dia menulis Tentang Seorang yang Terbunuh di Sekitar Hari Pemilihan Umum (1971). Perkembangan ke arah “kritik sosial” ini juga terjadi pada diri Rendra secara lebih ekstrim dengan meninggalkan gaya Ballada dan menulis sajak pamplet (Potret Pembangunan dalam Puisi; Pustaka Jaya, Jakarta 1993) dan pada Sutardji yang “melupakan” kredonya lalu menulis Tanah Air Mata. Pada Taufiq Ismail justru agak terbalik. Pertama-tama dia menulis puisi demo di tahun ’66, lalu menjadi sangat religius di tahun 70an dan kembali mencair dengan kritik sosialnya pada Malu Aku Jadi Orang Indonesia (MAJOI), termasuk pula teks-teks yang dibacakannya pada acara Nol Kilometer di televisi. Padahal ketika ia menulis lirik-lirik lagu untuk Bimbo, intensitas dan kedalaman puitiknya tetap terjaga.
***

IV. Tingkat Kesulitan Puisi Goenawan

Kumpulan Puisi Goenawan yang pertama kali terbit berjudul Pariksit. Ini merupakan judul puisi panjang yang termuat di halaman 28-31 pada buku tersebut. Banyak penulis telaah dan wartawan yang keliru menuliskan Pariksit dengan Parikesit. Ini sudah merupakan indikasi awal, betapa sulitnya membaca, lebih-lebih memahami puisi Goenawan. Sebab mereka yang berasal dari kultur Jawa pun belum tentu pernah mendengar atau membaca cerita Pariksit. Paling yang didengar kaum awam Jawa adalah, setelah perang Bharatayuda, Parikesit yang masih bayi dinobatkan sebagai raja Hastina. Hanya itu. Kisah Pariksit ini memang bukan berasal dari kitab Hariwangsa, Bharatayudha dan Ghatotkacasraya yang merupakan saduran dari epos besar Mahabharata yang dilakukan oleh Empu Sedah dan Panuluh. Cerita mengenai kematian Pariksit justru hanya merupakan fragmen kecil dalam Adiparwa yang nama penyadurnya tidak diketahui. Dalam fragmen tersebut diceritakan bahwa seorang Brahmin bernama Uttangka bercerita kepada Raja Janamejaya, (putera Pariksit, cucu Abimanyu, cicit Arjuna) tentang wafatnya Sang Ayahanda (jadi “cerita dalam cerita”). Dalam cerita Uttangka, disebutkan tentang Pariksit yang dikutuk oleh seorang Brahmin yang sedang bertapa bisu. Karena ketika ditanya oleh Pariksit Brahmin tersebut tidak menjawab, maka dikalungkanlah bangkai ular ke leher sang Brahmin. Putera Brahmin itu (yang menyaksikan ayahnya dihina) itu lalu mengutuk Pariksit bahwa dalam waktu tujuh hari, ia akan mati dipatuk oleh Naga Taksaka, raja para ular. Meski sudah ngumpet di pucuk menara dan dijaga ketat, akhirnya Pariksit mati juga sebab Naga Taksaka menyamar menjadi ulat yang bersembunyi di buah jambu (air) yang disuguhkan dayang untuk disantap Baginda Raja. Kisah inilah yang kemudian diangkat jadi puisi oleh Goenawan.

Kumpulan Pariksit memuat 26 puisi dari kurun waktu 1961-1970 (Teeuw dalam “Kata Pembacanya” di buku Asmaradana keliru menyebut Pariksit hanya memuat 25 puisi, atau salah cetak). Dalam kumpulan ini Goenawan masih agak terikat dengan bentuk kwatrin. Ada empat puisi yang diberi nama Kwatrin Musim Gugur I-IV, dan masih ada 15 puisi lain yang meski berbentuk kwatrin tidak diberinya judul dengan embel-embel “kwatrin”. Sisanya merupakan gabungan antara bentuk kwatrin, soneta dan bentuk bebas. Selain Pariksit, judul yang agak menyulitkan pembaca adalah Internasionale (Internationale) yakni hymne kaum Komunis dan para buruh revolusioner Perancis (diciptakan 1871). Orang sering mengelirukannya internasional (international) yang berarti “antar bangsa”. Puisi yang juga cukup panjang dalam kumpulan ini adalah Meditasi (2,25 halaman) yang ditulisnya tahun 1963. Dalam puisi ini terdapat bait: Ada sekali peristiwa/ di relung-relung sunyi Hira/ terdengar seru:/ “Bacalah dengan nama Tuhanmu” yang di buku tersebut dicetak miring dan diulang sampai dua kali. Bagi umat Muslim, hubungan antara gua Hira dengan meditasi dan Tuhan memang bukan masalah. Bahkan gua tempat menyepi Nabi Muhammad s.a.w. ini cukup dikenal oleh siapapun tak peduli agamanya, hingga kesulitan sajak ini justru dalam konteks permasalahannya. Yakni tentang konsep keTuhanan yang tidak seperti lazimnya dalam Islam (Al Qur’an).

Puisi Bintang Kemukus juga agak sulit didekati kalau kita tidak tahu perilaku orbit komet, jenis-jenisnya, bentuknya dan kepercayaan masyarakat tradisional di sekitar kemunculan benda langit tersebut. Tapi puisi yang biasa pun, musalnya Di Muka Jendela, juga menyimpan kesulitan yang bagi pembaca awam mungkin malah tidak pernah dirasakannya. Di sini; cemara pun gugur daun. Dan kembali ombak demi ombak terbantun. Yang saya maksudkan sulit bukannya kata terbantun (tertarik, tercabut); tetapi “cemara pun gugur daun”. Bagi mereka yang belum pernah berkunjung ke negeri empat musim di saat musim dingin, akan sulit untuk memahami makna baris ini. Sebab cemara, selamanya tidak pernah gugur daun selama musim dingin (evergreen). Selain kata terbantun, Goenawan juga masih suka pada kata-kata aneh lain. Misalnya “hibuk” dialek Jakarta = sibuk (Hari Terakhir Seorang Penyair, Suatu Siang); kemudian “renyai” = rintik/gerimis (Kwatrin Musim Gugur II) dan masih banyak yang lain. Dalam Pariksit ini, meskipun penyair telah menghadirkan beberapa kesulitan, tetapi masih tidak terlalu banyak dibanding pada kumpulan-kumpulan berikutnya.

Kumpulan kedua Goenawan adalah Interlude. Judul ini diangkat dari puisi “Pada Sebuah Pantai: Interlude” (halaman 12). Inilah puisi yang menjadi faforit Prof. Teeuw hingga dia sempat mengulasnya sebanyak 10 halaman dengan 2 halaman merupakan kutipan lengkap puisi tersebut. Ulasan Teeuw sangat rinci dan jelas tetapi seluruhnya berupa pujian. Soal keraguan penyair apakah hal-hal yang demikian (bisa perselingkuhan pribadi bisa bukan) perlu dipamerkan dengan bangga atau harus disembunyikan rapat-rapat, apakah hal begini dosa atau bukan; tidak terlalu dipermasalahkan oleh Teeuw. Menuruh hemat saya, kebimbangan Goenawan ini masih merupakan kelanjutan dari kebimbangan konsep kepenyairannya yang tergagap-gagap dalam menyikapi sastra Jawa Klasik, sastra Indonesia maupun sastra dunia seperti yang telah saya sebutkan di atas.

Interlude yang terbit tahun 1973, memuat 16 puisi. Sebanyak 11 puisi ditulisnya tahun 1973; 1 puisi tahun 1972-1973; 2 puisi 1971 dan terselip 1 puisi 1963 serta 1 puisi 1965. Total ada 16 puisi. M.S. Hutagalung sebagai orang Batak merasa kebingungan ketika harus mencerna puisi Gatoloco. “Mungkin perlu referensi yang lebih luas dan jauh untuk menikmati dan memahami sajak yang dialog-dialognya menyarankan latar-belakang mistik kejawen.” Tapi bukan hanya terhadap Gatoloco M.S. Hutagalung bingung. Di akhir ulasannya dia mengatakan: “Sajak-sajak panjang yang lain seperti “Pada sebuah Pantai: Interlude”, “Di Kebun Jepun”, dan “Afterword” sejauh itu masih tetap membisa bagi saya. Saya tak berani mengatakan bahwa sajak itu gagal, sebab masih menggoda untuk diteliti.” Dan yang bingung bukan hanya Hutagalung. Ada beberapa nama lain seperti Sides Sudyarto Ds; Jajak MD; Linus Suryadi; Hoedi Soejanto dan mungkin masih ada banyak lain lagi yang juga kebingungan. 13) Dan kebingungan mereka ini bukan karena kesalahan Goenawan. Tak ada seorang penyair pun yang dari sononya memang sengaja untuk merumit-rumitkan puisinya agar pembaca kebingungan. Kecuali penyair tersebut memang baru belajar menulis puisi. Saya justru melihat bahwa referensi serta lingkungan pergaulan para penelaah yang saya sebutkan tadi masih belum cukup untuk menandingi, minimal menyamai referensi dan lingkungan hidup Goenawan sehari-hari.

Dalam puisinya “Gatoloco”, mungkin Goenawan agak kekurangan referensi tambahan guna memahami inti permasalahan yang ingin disampaikan oleh Prawirotaruno (diduga nama samaran dari seorang pangeran di lingkungan Kasunanan Solo) dalam “Balsafah Gatoloco”. Bisa juga dia telah mengambil sikap yang salah terhadap teks ini hingga hanya sekadar menangkap “kekurangajaran” tokoh Gatoloco. Atau, bisa juga dia telah berhasil menangkap inti ajaran Gatoloco tetapi untuk keperluan “khalayak sastra Indonesia” (pada kurun waktu itu), hal-hal yang kontroversial perlu diolah ala kadarnya. Hingga jadilah puisi “Gatoloco” yang menunjukkan Goenawan ketakutan setelah ketemu Tuhan (mungkin) karena dalam hati kecilnya dia sangat setuju dan senang dengan sikap si Gatoloco. Kitab Balsafah Gatoloco sendiri ditulis dalam bentuk tembang “Mocopatan” dengan bahasa Jawa Baru strata “ngoko” (kasar). Diperkirakan ditulis pada awal abad XX. Isi kitab ini, menunjukkan dengan jelas betapa “sumpegnya” suasana kehidupan (keberagamaan) di sekitar sang penyair pada kurun waktu itu. Yang membuat kaum ulama marah adalah adanya penghinaan Gatoloco terhadab Nabi Muhammad s.a.w, Kitab Suci Al Qur’an, shalat 5 waktu, adzan, larangan makan daging babi dan lain-lain syari’at Islam. Meskipun buku ini dilarang beredar untuk khalayak ramai, tetapi tetap saja dicetak (diterbitkan) dan diperjual-belikan sampai sekarang. 14)

Puisi “Gatoloco” adalah dialog antara tokoh aku dengan Tuhan. Aku di sini bisa penyair, tokoh Gatoloco atau siapa saja. Dalam puisi ini tampaknya Goenawan menemukan kecocokan antara petualangan Gatoloco yang ke mana-mana berdebat tentang Tuhan dan falsafah hidup, dengan dirinya yang hadir dari seminar ke seminar, seperti penjual obat atau pendebat. Akhirnya Goenawan mengakui sekaligus mempertanyakan: “Sebab aku hanya seorang turis, tak lebih dari itu?” Sama-sama “turis” atau wisatawan, perjalanan Gatoloco maupun Goenawan jelas berbeda dengan para turis biasa. Turis biasa hanyalah melihat-lihat dan menikmati pelancongan. Bisa pemandangan indah, alam yang asri, makanan enak, tari-tarian, adat yang eksotis atau seks. Tetapi Goenawan adalah wartawan yang juga penyair. Hingga pada akhirnya yang dilihatnya dan dihayatinya akan ditulis. Bisa sebagai berita, bisa sebagai puisi. Mungkin kawasan “fisik” maupun “batin” yang pernah dijelajahi Goenawan, juga pernah dijelajahi oleh para penyair lain. Tetapi, saya menduga bahwa referensi para penyair lain itu terlalu kecil dibanding referensi yang dimiliki Goenawan. Dan kembali, inilah yang menyebabkan banyak hal menjadi sulit dipahami dari Goenawan.

Kumpulan ketiga puisi Goenawan berjudul “Asmaradana”. Buku ini diterbitkan dalam rangka memenuhi pesanan Kanwil Depdikbud DKI, tahun anggaran 1994/1995 untuk SMU. Karenanya puisi-puisi yang telah termuat dalam Pariksit maupun Interlude, seluruhnya disertakan lagi dalam kumpulan ini dan disusun sesuai dengan tahun penulisannya. Ditambah dengan 36 puisi baru meliputi periode penulisan 1976-1991 dan “diselipi” 6 puisi lama yang belum pernah dibukukan meliputi periode 1962 (3 puisi); 1963 (2 puisi) dan 1964 (1 puisi). Di akhir buku, disertakan “kata pembaca” yang merupakan ulasan dari Prof. A. Teeuw seperti telah saya kemukakan di depan. Ulasan ini sangat rinci sampai menyebut total puisi Goenawan yang pernah dipublikasikan di media massa namun tidak ikut dibukukan. Dalam menghadapi Asmaradana, banyak yang bingung bukan karena puisinya tetapi karena tidak adanya tanda yang menunjukkan mana-mana puisi yang pernah termuat di Pariksit dan Interlude, dan mana pula yang belum. Dalam puisi-puisi barunya, Goenawan semakin menuntut (secara tidak sengaja) agar pembacanya lebih banyak lagi punya referensi. Tempat-tempat seperti Sidney, Pangrango (mungkin gunung, mungkin jalan, mungkin hotel?), Nama-nama tempat seperti Wuhan (RRC), Tigris, New York, Cambridge, Itacha, Hiroshima dan lain-lain memang tidak menjadi masalah. Tetapi Maria (Ephesus), akan menjadi asing bagi pembaca non Katolik. Penangkapan Sukro (dari Babad Tanah Jawi) pasti kembali akan menyulitkan bahkan bagi orang Jawa sekali pun. Sebab memang hanya sedikit orang yang sempat membaca babad tersebut, meskipun hurufnya sudah dilatinkan. 15)

Kumpulan terbaru Goenawan adalah Misalkan Kita Di Sarajevo (Kalam, Jakarta 1998). Buku ini memuat 30 puisi dari periode penulisan 1993-1994, 1994 sampai 1998. Tampaknya, setelah berhenti menulis (atau menulis tetapi tidak dipublikasikan) pada tahun 1992 dan 1993, maka tahun 1994 Goenawan kembali bersemangat. Dugaan saya hal ini ada kaitannya dengan dicabutnya SIUUP Tempo, hingga kesibukan Goenawan agak baralih dari hal rutin ke hal-hal yang tidak rutin. Kumpulan puisi ini pernah didiskusikan di TUK, 24 Februari 1999 dengan pengulas Arif B. Prasetyo, penyair dan eseis dari Bali. Ulasan Arif, (yang kemudian dimuat di jurnal Kalam nomor 13), juga ulasan Sapardi di Tempo, sama sekali tidak menunjukkan kekurangan “Sarajevo”. Isinya hanya sekadar puja-puji, persis kalau pejabat Orde Baru melaporkan sesuatu pada Soeharto. Ulasan Teeuw terhadap Asmaradana dan terutama terhadap “Interlude” jauh lebih baik. Meskipun dalam buku ini semakin berhamburan nama-nama orang, nama tempat dan entah nama apa lagi, tetapi bagi pembaca yang awam pasti tidak semembingungkan Pariksit, Interlude, Internasionale, Gatoloco dan lain-lain tadi. Siapa pun yang terbiasa membaca koran dan rajin nonton berita tivi pasti tidak terlalu sulit untuk membaca dan mengikuti materi yang ditampilkan puisi-puisi dalam “Sarajevo” ini.
***

V. Turis (yang kesepian) dan Seks

Paling tidak dua kali Goenawan menyebut dirinya sebagai turis dalam baris puisi. Pertama ketika menulis Gatoloco (1973) dan kemudian dalam Ephesus (1979). Di depan telah saya sebutkan bahwa Goenawan merasa dirinya gagap dalam menghadapi kultur Jawa formal. Tetapi, kegagapan tersebut justru telah mendorongnya untuk masuk ke dalam “kultur” formal tersebut. Pada puisinya “Sebelum Tidur” dia mengunjungi kawasan Banyumas dengan mengangkat khasanah lokal “Anglingdarma – Batik Madrim”. Kemudian dalam Asmaradana dia datang ke Majapahit (Mojokerto – Jawa Timur) untuk mengangkat Serat Damarwulan yang versi Asmaradana aslinya memang luar biasa indah dan sangat dikagumi Goenawan. Antara lain: “Anjasmoro ari mami/ Mas mirah kulako warto/ Dhasihmu tan wurung layon/ Aneng kutho Probolinggo/ Prang tandhing lan Wurubismo/ Kario mukti wong ayu/ pun kakang pamit palastro” Seingat saya Goenawan pernah memetik bait ini (dan sekaligus menterjemahkannya) untuk “catatan pinggir”. Inilah mungkin kelebihan Goenawan dibanding Rendra yang setahu saya agak malas untuk membaca-baca teks Jawa Klasik. Selanjutnya dalam Pariksit, Goenawan surut jauh ke belakang, ke khasanah Jawa Kuno. Dia memungut episode akhir, ketika cucu Arjuna, Raja Hastina itu tewas dipatuk Naga Taksaka. Lalu dalam Gatoloco dia memungut “kekurangajaran” Jawa yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari “kenakalan” Syech Siti Jenar. Babad Tanah Jawi pun tak ketinggalan disinggahinya (Penangkapan Sukro). Juga Centhini (Persetubuhan Kunthi). Tidak puas hanya menjelajahi khasanah sastra Jawa Klasik yang dulu “telah membuatnya kikuk” itu; Goenawan pun melanglang sampai ke gua Hira, tempat Nabi Muhammad s.a.w. untuk pertamakalinya menerima Wahyu Allah pada usia 40 tahun (Meditasi). Dia juga menyempatkan diri bertemu dengan Maria, ibu Yesus (Ephesus). Kemudian melang-lang ke Babilon (Tigris), ke New York, Sidney, Sarajevo, Zagreb, dan banyak tempat lain.

Jadi yang pertama-tama dimaksudkan sebagai “turis” di sini, sebenarnya adalah “penjelajahan spiritual”. Sebenarnya, Goenawan pantas berbangga (bukan tergagap) sebab sebagai anak pesisiran, dia justru bisa tumbuh sebagai sosok yang sekular dan sangat moderat. Paling tidak jika dibandingkan dengan Taufiq Ismail, yang juga berasal dari pesisir. Biasanya masyarakat pesisir yang Muslim itu cenderung berkembang ke arah sektarian. Bukan sekuler. Ada dua kemungkinan mengapa Goenawan membahasakan dirinya sebagai turis. Pertama, dia rendah hati. Tidak mungkin orang sekaliber dia menjelajahi berbagai khasanah pemikiran hanya seakan turis. Dia pasti serius membaca dan menyerap. Kemungkinan kedua, dia memang jujur. Artinya, meskipun dia membaca sastra klasik Jawa, memasuki dunia tasawuf, belajar filsafat dan lain-lain; yang dilakukannya benar-benar hanya “penjelajahan biasa” sebagaimana layaknya seorang turis. Hingga bagaimanapun juga, dia tetap seorang Goenawan Mohamad yang wartawan dan penyair dan tetap berada dalam lingkungan pergaulan modern. Beda misalnya dengan penyair Kirdjomulyo dan Linus Suryadi yang begitu masuk ke dunia kejawen langsung terseret arus: mengoleksi keris dan perkutut, mendatangi tempat-tempat keramat dan bersikap sangat tidak rasional. Untuk itu saya cenderung menganggap Goenawan menyebut dirinya turis karena “setengah rendah hati” dan “setengah jujur”. Artinya, dia memang benar membaca dan mempelajari hal ihwal tadi dengan serius. Tapi dia tidak pernah benar-benar memasukkannya ke dalam hati. Semua tetap dalam konteks kewartawanan, kecendekiawanan dan kepenyairannya.

Kedua, turis dalam konteks puisi Goenawan bisa juga diartikan secara harafiah. Sebab sebagai wartawan dia memang banyak berkunjung kemana-mana. Bahkan tahun 1968, ketika masih menjadi wartawan Kami, Goenawan sudah mendapatkan kesempatan untuk berkeliling Amerika Serikat, termasuk ke Alaska dan Hawaii selama sebulan (bersama Aristides Katoppo, wartawan Sinar Harapan). Tetapi Goenawan Mohamad bukan seorang wartawan yang baik (dia Pemred yang baik!). Karenanya, kunjungan-kunjungan tersebut tidak terjebak untuk menghasilkan “reportase puitik” yang eksotis. Kunjungannya ke Sidney, New York, Cambridge dan lain-lain itu justru menghasilkan kemurungan dan kesepian “Ada bulan mengukur luas/laut dan musim panas/Ada beton membentang bentuk/dan bayang hanya merunduk” . Padahal Sidney bagi siapa pun, secara fisik sangat indah. Demikian pula kalau Goenawan menghadapi alam. Seindah apa pun alam itu, begitu terpegang tangan Goenawan akan jadi muram dan gelap. “Di pantai, tepi memang tinggal terumbu,/hijau (mungkin kelabu),/Angin amis. Dan/di laut susut itu, aku tahu,/tak ada lagi jejakmu.” Padahal, “Pada sebuah Pantai: Interlude” ini menceritakan (entah fiktif entah pengalaman teman entah pengalaman pribadi) suasana pagi yang nyaman karena malamnya habis kelonan. Mestinya, meskipun si cewek telah pergi, suasana pantai itu tetap melegakan dan menyenangkan. Tapi itulah sebenarnya suasana yang ingin dibangun oleh Goenawan. Suasana “turis” dalam tanda petik.

Upaya untuk menghadirkan banyak hal dalam tiap kesempatan menjadi turis, relatif berhasil dilakukan oleh Goenawan. Masalah keTuhanan, kematian, sosial, seks, keragu-raguan, semua dengan enak bisa masuk dalam tiap kesempatan berkunjung ke “suatu tempat”. Bagi Goenawan, lepas dari kerutinan sebagai Pemred Tempo dan bisa jalan-jalan (sebagai “turis”) adalah satu-satunya kesempatan untuk menulis. Sebab: Saya tidak tahu adakah nanti kembali kepada pekerjaan di Jakarta akan memberi kesempatan kepada saya untuk merampungkan beberapa sajak lagi. Masalahnya bukan waktu. Masalahnya barangkali suasana hati: di Jakarta saya cenderung kepada kemarahan. 16) Dalam Pariksit maupun Interlude, upaya Goenawan ini menunjukkan hasil yang sangat baik. Dalam Asmaradana pun (puisinya 1976-1991) Goenawan masih menunjukkan kepiawaiannya meramu “turisme” untuk sesuatu yang dikehendakinya. “Kudengar gerutumu, pemabuk di Massachussets/ Avenue. Tapi dunia/ dan kita tak berteguran, dunia dan kita tak bersapaan.” (Cambridge). Derum daun-daun Ithaca/ seperti lagu/ di radio masa kecilnya/ Na sonang do hita na dua” (Na Sonang Do Hita Na Dua). Atau: “Pinus yang memasang rambut suri nilam/ pada sisa luka/ dataran/ menutup juga kesedihan/ pada kerumunan/ kering karang” (Di Negeri Winnetou). Pola demikian inilah yang dicoba Goenawan untuk tetap dipertahankan pada “Misalkan Kita di Sarajevo”. Misalnya pada puisi Di Pasar Loak: “Pengalaman adalah karpet tua, anakku, pompa-pompa,/ gambar burak/ gambar yesus, kamus-kamus, gaun malam dan/ hordin panjang, di mana dulu ada sebuah rumah, di mana kita/ tak ada, kita tak punya, di mana seekor parkit mungkin/ mencoba bernyanyi, mencoba menyanyi, dan seorang tutup/ pintu, dengar, papa, aku tak kembali, tak akan kembali” Dalam puisi ini tampak Goenawan masih bisa menjaga intensitas dan staminanya. Inilah menurut saya puisi terbaik dalam “Misalkan Kita di Sarajevo”. Dalam puisi Misalkan Kita di Sarajevo, Goenawan terjebak untuk kembali memberikan banyak hal seperti yang pernah berhasil dikerjakannya ketika menulis Pariksit dan Pada Sebuah Pantai: Interlude. Mungkin akan lebih baik kalau dia membatasi diri hanya pada satu hal saja (entah apa), tetapi intens di sana, hingga secara otomatis hal-hal lain yang dia miliki justru akan dapat tampil dengan wajar. Puisi “Sarajevo” ini saya nilai kurang begitu berhasil dan benar-benar menjadi “puisi turis” dalam arti yang sebenarnya. Pada kumpulannya yang tarakhir ini, ada cukup banyak jenis puisi “turis” seperti itu.

Turis, biasanya selain tertarik pada obyek-obyek budaya dan keindahan alam, kadang-kadang juga berkeinginan pula untuk sekadar “mencicipi” seks. Puisi Pada Sebuah Pantai: Interlude, adalah gabungan antara pencitraan alam, “Di pantai, tepi memang tinggal terumbu” Keragu-raguan (kegagapan), “berberes dalam sebuah garis, dan berkata: “Mungkin/tak ada dosa,/tapi ada yang percuma saja.” dan juga seks (sensualitas) “masih tersisa harum lehermu; tentang jin yang memperkosa putri yang semalam mungkin kubayangkan untukmu; panas dan pasir yang bersetubuh”; dan “setelah semacam affair singkat;” Dalam puisi ini, masalah “tempat tidur” berhasil menyatu dengan alam, dengan keraguan, dengan kesia-siaan dan dengan banyak hal lain. Hingga kesannya alamiah dan wajar dan di situlah justru letak keindahan puitiknya. Puisi ini relatif berhasil hingga tak mengherankan kalau Teeuw menyenanginya. Seks yang masih indah ini juga terdapat dalam Ranjang Pengantin Kopenhagen dan Hiroshima Cintaku. Tetapi seks dalam Misalkan Kita di Sarajevo, bagi saya terkesan hanya tempelan, kasar dan menjijikkan. Sebab meski anak pesisiran, pribadi Goenawan yang sebenarnya adalah pribadi priyayi. Kira-kira samalah dengan Taufiq Ismail. Lain halnya dengan Rendra. Meskipun “priyayi Solo” dia justru sangat “urakan”. Hingga ketika dia membacakan sajaknya: “Murid-murid mengobel kelentit ibu gurunya” di Graha Bhakti Budaya, TIM, penonton tergelak-gelak. Atau ketika Tardji menulis: “apakah manusia?/ hasrat/ kaki/ paha/ kontol/ puki/ dst.” orang hanya senyum-senyum dan maklum. 17)

Goenawan bagi saya (mungkin juga bagi banyak orang) adalah keanggunan, kedalaman berpikir dan kecerdasan. Dia adalah priyayi itu. Priyayi yang sebenarnya. Hingga baris-baris seperti: “Kau buka susumu: seperti gelombang/ yang mengantarkan nafsu/ dari kejauhan./ Kau telah dengar dengus zakar,” (Kata-kata Seperti Dencing Gobang); “Kausapu-sapu/ pucuk putingku/”, “Zakar/ yang melingkar-lingkar dalam basah” (Menjelang Pembakaran Sita); “Akan kuletakkan sintalmu/ pada tubir meja:/ telanjang/ yang meminta/ kekar kemaluan purba/” (Pada Album Miguel De Covarobias); “Semakin ke tengah tubuhmu/ yang telanjang/ dan berenang/ pada celah teratai merah.” (Persetubuhan Kunthi); menjadi sangat mengganggu. Saya merasa telah kehilangan keindahan sensualitas yang pernah dicapai Goenawan ketika menulis Pada Sebuah Pantai: Interlude. Di sana, keindahan adegan ranjang (malam tadi) justru tercipta dengan sangat kuat karena tidak diceritakan. Dalam makalahnya menyambut HUT 80 HB Jassin, Goenawan menulis: “Paradoks yang kita saksikan dalam kisah Malang Sumirang ialah ketika daya dari sebuah puisi, yang mengandung kegilaan, pemberontakan , dan khaos, menjadi demikian kuat ketika ia tak menjadi kata-kata yang bisa “dipetik”. Tentunya, termasuk yang disebutkan oleh Goenawan tadi adalah keindahan (sensualitas) masalah seks. Hingga ketika kata-kata zakar, susu dan lain-lain itu tertulis dengan jelas, maka yang saya rasakan, keindahannya justru hilang. Terkesan malah menjijikkan. Bisa saja hal-hal “menjijikkan” inilah sebenarnya yang ingin dicapai oleh Goenawan. Kalau demikian halnya, maka dia memang sedang melangkah ke sesuatu yang lain. Pada Rendra dan Tardji, kelentit dan kontol adalah bagian dari sebuah “kekurangajaran” dan khaos, bukan urusan seks.

Keterlibatan Goenawan dalam kelompok penandatangan Manifes Kebudayaan yang berseberangan dengan para seniman Lekra, tak serta-merta menjadikannya eksklusif. Dia bersahabat dengan Agam Wispi. Dia juga tidak dendam terhadap Pramudya. Dan di tahun 1964, pas ketika ketegangan antara Manifes dan Lekra mencapai puncaknya; Goenawan justru menulis Internasionale. Puisi ini cukup berhasil dan secara halus dia sebenarnya sedang menyindir para seniman Lekra (dan juga LKN). “Begini lo, berkesenian yang baik untuk menyuarakan kaum proletar itu.” Dan dia pun juga menulis Rekes; Lagu Pekerja Malam; Sinterklas; Potret Taman untuk Allen Ginsberg; Cerita buat Yap Thiam Hien; Sajak Sehabis Mimpi dan Puisi untuk Wang Shih-wei. Dalam puisi Internasionale yang cukup panjang, sampai 3 halaman, Goenawan bisa dengan sangat tepat menunjukkan di mana letak dirinya (atau tempat seorang seniman sebagaimana mestinya). “Kita melihat jam besar di dinding pabrik itu/ gemetar/ dan buruh-buruh yang pucat/ penyap tersandar./ Kemarin tidak pernah kita rancangkan kehidupan/ tapi hari ini adalah lain:/ Dunia telah terlepas dari hambatan yang abadi, terasing/ dari hukum hari tadi./ Daulat telah diserahkan/ kepada kehidupan/ dan bumi adalah takhta maha baik/ yang dimenangkan” Puncak dari pergulatan antara keinginan untuk menukik ke dalam diri (dan Tuhan) serta kehendak ikut “cawe-cawe” dalam urusan “duniawi” itu terjadi ketika Goenawan menulis Tentang Seorang yang Terbunuh di Sekitar Hari Pemilihan Umum. Di sini masalah sosial “…….Dan kemudian mereka pun ber/ datangan/ –senter, suluh, dan kunang-kunang—tapi tak/ seorang pun/ mengenalinya. Ia bukan orang sini, hansip itu/ berkata”, religius/kebimbangan “Juru peta yang Agung, di manakah tanah airku?” citraan alam/kematian “…..seperti men/ cari harum/ dan hangat padi. Tapi bau asing itu dan dingin/ pipinya jadi/ aneh di bawah bulan”, dan juga kekurangajaran “Tuhan, berikanlah suara-Mu, kepadaku”. Meskipun sebagai “priyayi intelektual” Goenawan masih perlu menggunakan T dan M besar untuk Tuhannya itu. Sementara Potret Taman untuk Allen Ginsberg, sebenarnya hanyalah sebuah catatan ringan ketika Goenawan ikut International Poetry di Rotterdam. Mungkin ketika itu dia sempat nongkrong-nongkrong dan ngobrol dengan penyair Amerika itu. Tetapi yang dituliskannya adalah: “Revolusi, Revolusi, Tak Bisa Dipesan Hari Ini.”/ Lalu ia bangkit ia mual ia mencium/ bau biasa dari kakus umum;/ ia basah oleh tangis dan ia meludah:/ “Kencingilah kaum borjuis!”/ Adakah ia Nabi?// Tuhan. Di taman ini orang juga ngelindur/ tentang perempuan-perempuan berpupur/ dan sebuah mulut berahi kudengar memaki:/ “Bangsat, kenapa aku di sini!”/ Atau mungkin ia ngelindur tentang sebuah dusun/ yang hancur dan sisa infantri dan mayat/ dan ulat dan ruh dan matahari?”

Masalah-masalah sosial yang dicoba digarap Goenawan dalam puisi-puisinya yang saya sebutkan di atas, relatif berhasil karena ia bisa menjaga jarak dan mungkin ketika itu dia masih bisa berpikir intens. Hal ini tidak saya dapatkan lagi dalam Misalkan Kita di Sarajevo. Dalam Zagreb (-Untuk Xanana Gusmao), kegagalan Goenawan ini tampak sekali. Tema seperti Zagreb ini akan lebih pas kalau diolah menjadi cerpen horor. Atau semacam cerpen-cerpennya Seno. “Ibu itu datang, membawa sebuah bungkusan, datang jauh dari/ Zagreb. Ibu itu datang, membawa bungkusan, berisi sepotong/ kepala, dan berkata kepada petugas imigrasi yang memeriksanya:/ “Ini anakku”. Kemudian: “Tujuh tentara menyeretnya dari ranjang rumahsakit,/ tujuh tentara membawanya ke tepi hutan dan menyembelihnya,/ tujuh musuh yang membunuh sebuah kepala yang terguling dan/ mengelepar-gelepar dan baru berhenti, diam, setelah mulutnya/ yang berdarah itu menggigit segenggam pasir di sela rumputan.” Mengingkari sesuatu yang pernah diyakini dan dijalani secara intens (dan lama) jelas boleh-boleh saja. Sutardji dalam Tanah Air Mata jelas-jelas menabrak Kredonya sendiri. Rendra ketika menulis puisi pamplet (Potret Pembangunan dalam Puisi) jelas sangat menurunkan kadar kepenyairannya yang pernah dicapai pada periode Ballada Orang-orang Tercinta maupun Blues untuk Bonie. Bait-bait Zagreb yang saya kutip di atas benar-benar verbal hingga daya puitiknya justru hilang. Tetapi untuk dibacakan (dilisankan) memang lebih menarik. Ada dua kemungkinan mengapa mutu Zagreb demikian. Pertama, Goenawan memang sedang kehilangan intensitasnya (tahun 1994 pas Tempo dibredel, pikirannya pasti kacau). Kemungkinan kedua, dia secara sengaja ingin meninggalkan pola persajakan lamanya untuk (sedang) merambah ke “sesuatu” yang lebih baru.
***

VI. Penutup

Seni, baik modern, tradisional maupun purba; sebenarnya punya peluang untuk menuju ke arah mana saja. Puisi pun tentu demikian. Ruang jelajah seni, juga bidang lain, tentu ada yang strategis, ada juga yang remeh-remeh. Goenawan Mohamad termasuk seniman (penyair) yang menjelajahi “ruang strategis” itu. Ketika dia memilih kerja di dunia kewartawanan pun, yang dipilihnya juga sebuah media pers yang strategis pula. Dalam dunia jurnalistik, juga dalam memperjuangan kebebasan berpikir dan mengemukakan pendapat; Goenawan berhasil mencapai “puncak” strategis tersebut. Dalam beberapa hal, dia lebih hebat dibanding Mochtar Lubis bahkan Adinegoro. Ada memang yang mengatakan bahwa dia demo dan lain-lain perjuangan itu karena “periuk nasinya” terganggu. Rendra bahkan pernah mengeluh tentang salah satu “Catatan Pinggir” Goenawan menyangkut penahanan Sang Dramawan tersebut. Ketika penyair “Burung Merak” ini membaca sajak di TIM dengan sponsor Gatra (pengganti Tempo yang dibredel, versi pemerintah), maka Goenawan pun mendemonya. Pada waktu itu ada pertanyaan dari Rendra: “Mengapa Si Goen ini, yang dari awal memperjuangkan kebebasan pers justru berbalik memusuhi pers?” Persoalannya mungkin tidak sesederhana itu. Di Indonesia ini, sampai saat ini, banyak hal transparan yang sulit untuk diungkapkan dengan transparan. Misalnya, siapakah di antara tiga tokoh ini yang paling tidak berbau KKN di masa orde baru? Apakah Ir. Ciputra, Mohammad “Bob” Hasan atau Setiawan Djody?

Tiga nama tadi memang tidak ada urusannya dengan puisi, Saya sekadar ingin menunjukkan bahwa betapa Goenawan Mohamad sebagai “wartawan” dan Rendra sebagai entah apa, sebenarnya juga memendam kontroversi. Tapi dalam konteks perjuangan kemerdekaan berpikir dan berpendapat di negeri ini, Rendra dan Goenawan tetap merupakan dua “tonggak” raksasa. Dalam dunia ketentaraan, yang mereka capai adalah pangkat jenderal bintang 4. Mungkin malah jenderal besar bintang 5. Tetapi dalam menjelajahi dunia kepenyairan, Goenawan belum total. Belum mencapai puncak tertinggi. Mungkin masih Brigjen, paling tinggi Mayjen atau malahan masih Kolonel. Ini prestasi sang penyair (Goenawan). Sebab mengenai teksnya sendiri, puisinya sendiri, masih akan terus hidup, akan terus dibicarakan, atau didiamkan; sangat tergantung dari banyak hal. Sebab sampai tulisan ini dibuat, Goenawan masih segar bugar dan dari dia saya masih mengharapkan akan lahir karya besar. Dalam hati saya berandai-andai. Misalkan, misalkan saya ini jadi Goenawan; maka akan saya tulis sebuah novel. Apa pun judulnya, apa pun tokohnya, saya yakin akan hebat.

Alasan saya sederhana. Pola dan gaya kepenyairan Goenawan yang selama ini dijalaninya dengan intens dan lama, agak sulit untuk mengarah ke semacam “puncak yang tertinggi”. Saya tahu bahwa Goenawan lebih tahu mengenai hal ini dari saya. Meskipun “bukan puncak tertinggi” itu juga salah satu pilihan yang tidak boleh diganggu-gugat. Tetapi dengan menggunakan dalih bahwa “konsumen” adalah raja, saya menganjurkan Goenawan konsentrasi ke pola Pada Sebuah Pantai: Interlude; atau Tentang Seorang yang Terbunuh di Hari Pemilihan Umum. Bisa saja dia memilih “pindah jalur” entah jalur yang mana. Tapi bagaimana pun juga, yang saya lihat adalah “pasar sastra dunia”. Orang sekelas Goenawan sayang sekali kalau sekadar jadi jago kandang. Tapi untuk tampil di pentas dunia, yang akan lekas menarik perhatian bukanlah puisi tetapi novel. Dalil bahwa karya “puncak” selalu tercipta pada umur-umur 20 dan 30an tidaklah mutlak. Boleh saja orang umur 60 tahun mulai menulis novel lalu 70 tahun menerima Nobel. Bagi Allah (konon) tidak pernah ada kata mustahil.

Jakarta, Maret 2000.

Catatan Akhir

1. Selain sering dikemukakan lisan, Sapardi juga beberapa kali menuliskannya. Antara lain ketika membahas Asmaradana (Kritik Sosial Puisi Guman; Tempo 9 Januari 1993)
2. Ulasan Teeuw terhadap Pada Sebuah Pantai: Interlude ada di Tergantung Pada Kata (1980) hal 103-114. Ulasan terhadap seluruh puisi Goenawan sampai dengan 1991 “Kata Pembaca” Asmaradana hal 116-141.
3. Emha Ainun Najib, Sikap Si Malin Kundang Penyair: Idealisme atau Topeng Keputusasaan? (Appeal untuk Sajak-sajak Monolog!); Kompas, 30 September 1975. Goenawan menanggapinya secara emosional dan judes dengan surat pembaca di Kompas 3 Oktober 1975.
4. Afrizal Malna, Mobilitas Teks di Sekitar Biografi Puisi, Media Indonesia 28 Agustus 1994.
5. Goenawan Mohamad, Kesusastraan, Pasemon. Dibacakan di Leiden, Negeri Belanda pada penyerahan A. Teeuw Award, 22 Mei 1992. Dimuat di Goenawan Mohamad, Kesusastraan dan Kekuasaan (Pustaka Firdaus, Jakarta 1993), hal 117-128.
6. Pernyataan ini dikutip media massa antara lain Kompas 16 Oktober 1971
7. Berhari-hari sengketa antara Goenawan cs. dengan B.M. Diah dimuat media massa, sampai terbitya majalah Tempo. Sengketa Tempo dengan majalah Time juga dimuat media massa sampai berbulan-bulan.
8. Satu nomor Horison yang dikelola Goenawan cs. pernah terbit tanggal 10 Juli 1993 “diluncurkan” di Gedung Perpustakaan Nasional, Salemba Raya 28, Jakarta.
9. Ulasan Darmanto JT. yang sangat tajam terhadap Adri Darmadji Woko cs. (9 penyair), dimuat dalam Penyair Muda di Depan Forum, Dewan Kesenian Jakarta, 1976, (“Tesa, Ideologi, dan Tubuh Puisi”, h. 49-59)
10. Goenawan Mohamad, H.B. Jassin, Di Mana Berakhirnya Mata Seorang Penyair? (Dicetak dan diedarkan terbatas, oleh Majalah Femina pada peringatan HUT 80 H.B. Jassin, 31 Juli 1997, di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, TIM, jakarta)
11. Penyair Leon Agusta, misalnya, marah sekali ketika saya sebutkan bahwa “Misalkan Kita di Sarajevo” adalah puisi Goenawan yang jelek.
12. Goenawan Mohamad, “Peristiwa ‘Manikebu’: Kesusastraan Indonesia dan Politik di Tahun 1960an,” Juga dimuat dalam Kesusastraan dan Kekuasaan, h. 11-54
13. Setelah pergeseran kerajaan Majapahit dan Demak yang maritim ke Pajang dan kemudian Mataram yang agraris pada abad XV dan XVI, maka kultur Jawa pun lebih banyak defensif dengan menukik ke dalam. Jasadipura I (1729 – 1802) dan Ranggawarsita (1802-1873) menunjukkan gejala semacam ini, yang kemudian diduga sangat kuat pengaruhnya pada Goenawan Mohamad.
14. Tentang Pengadilan Puisi dan Jawaban atas Pengadilan Puisi dihimpun dalam Jawaban atas Pengadilan Puisi, (Jakarta, Gunung Agung 1974). Puisi Mbeling antara lain pernah dibahas Sapardi Djoko Damono dalam Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan (Jakarta: Gramedia, 1983), “Puisi Mbeling: Suatu Usaha Pembebasan”, h. 97
15. Sides Sudyarto DS, “Interlude Kumpulan Puisi Goenawan Mohamad”, dalam Kompas, 22 Maret 1974; Jajak MD, “Interlude Goenawan”, dalam Sinar Harapan, 22 Desembar 1973; Linus Suryadi Ag,”Interlude Goenawan Mohamad: Sajak Indonesia dalam Bahasa Indonesia”, dalam Berita Buana, 21 dan 28 Februari 1978; Hoedi Soejanto, “Teka-teki dalam Puisi”, dalam Sinar Harapan, 6 Oktober 1979
16. Salah satu edisi Gatoloco terbaru dengan disertai terjemahan Bahasa Indonesia yang sangat jelek diterbitkan tahun 1990 oleh Dahara Prize, Jl. Dorang 7, Semarang.
17. Puisi “Ephesus” pernah diulas Linus Suryadi. “Maria di Mata Tiga Penyair Indonesia,” kalau tidak salah judulnya begitu, di Majalah Hidup.
Babad Tanah Jawi (edisi latin) diterbitkan ‘S-GRAVENHAGE-M.NIJHOFF, Leiden, Negeri Belanda 1941, 362 halaman.
18. Surat pengantar untuk 10 puisi Goenawan yang ditulisnya di AS, dimuat di Horison, Juli 1990, dan dikutip Abdul Rozak Zaidan dalam tesisnya pada Program Pascasarjana UI, Jakarta 1992, h. 27-28
19. Rendra, “Sajak S.L.A.” dalam Potret Pembangunan dalam Puisi (Jakarta, Pustaka Jaya, 1993) h. 40-43. “Amuk” Sutardji Calzoum Bachri, dalam O Amuk Kapak (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), h. 56-57
20. Lihat Surat Terbuka Goenawan Mohamad tentang Anugerah Seni ini di Sinar Harapan, 11 September 1972.

https://frahardi.wordpress.com/2013/04/29/puisi-puisi-turis-goenawan-mohamad/
Keterangan gambar: foto Goenawan Mohammad, dari memedalfayed.blogspotdotcom

Leave a Reply

Bahasa »