UNTUK PUISI
Aku masih menyimpanmu pada selembar kertas yang terlipat di sebuah buku milik penyair gagal. Engkau masih baik-baik saja di sana. Mencicip moka. Membaca buku. Meniup rambut yang menutupi matamu dengan bibirmu. Sesekali mengusap layar smartphone. Membuka sandinya. Menggeser-geser bloatware. Menarik panel notifikasi. Kemudian menguncinya lagi. Lama sekali tak melihatmu.
Apa kabar?
Tegalsari, 2020
RIWAYAT JANJI
Kita telah menanam biji sawo di tepi jalan. Apabila ia tumbuh, kita akan merapikan sebagian rantingnya dan biarkan rimbun daunnya meneduhkan apa saja di bawahnya. Kelak akan ada sebuah bangku di sana. Semacam tempat menunggu pada janji yang hendak dilunasi oleh pembuatnya. Sebab janji adalah hutang. Dan kita membenci cara berhutang seperti itu. Tapi dengan janji, harapan senantiasa tumbuh. Serupa sawo yang kita tanam di tepi jalan itu. Selanjutnya merapikan lagi jadwal. Menunggu di bangku yang sama. Untuk bertemu di jeda selanjutnya. Atau sama-sama mengingkarinya, dan membiarkan sebuah bangku kesepian. Di bawah sawo yang kita tanam.
Tegalsari, 2020
NASIB SUNGAI
Kita mungkin akan melihat semua ini berubah pelan-pelan. Berubah: engkau meninggalkanku dan aku melupakanmu. Perubahan yang kita terima begini lapang, sebagaimana telah kukatakan “aku menjelma tubuh sungai tatkala engkau tiba sebagai air” itu. Lekaslah tiba di lautan, tempat engkau pulang dan melebur dalam keheningan yang biru yang dalam.
Tak perlu merisaukan bila kemarau kelak benar-benar panjang, dan mendamba janji berjumpa di antara presipitasi. Kita telah tunai pada hanya kata-kata. Setelah itu, tak perlu repot untuk berhutang lagi dengan basa-basi “aku menunggumu” atau “tunggu aku di ujung jalan itu.”
Mengalirlah dengan menerima keyakinan siklus hidrologi akan bekerja dengan caranya sendiri. Teruslah mengalir dan tak perlu menerka kapan kemarau akan hadir. Hari ini masih hujan. Dan debitmu masih kuterima sebagai yang kelak mustahil abadi.
Blokagung, 2020
01:00 AM
: Fiq
Usai petikan senarmu
Suara kita nyaris hening
Terjepit dan mengetam
Pada kunci gitar barusan.
Dan gerimis
Membasah rerumputan
Menggelap purnama
Merambatkan dingin ke leher kita.
Kopi pahitmu
Tak lekas menghangatkan
Gerimis menjelma hujan
Bibir kita kini benar-benar mengetam.
Bacakanlah, sekali lagi
Kisah berabad silam
Dari negeri timur dan barat
Ihwal raja-raja dan petarung pasar.
Nanti bila petromaks hilang cahaya
Itu berarti jibril tengah tiba
Membawa hikayat lama
Barangkali sebelum kisah-kisah purna.
Dan kopi pahitmu, tuan
Tinggal ampas yang tersisa:
Hitam serupa dadaku
Mengkilat bagai bola matamu.
Maka, kaki-kaki kita
Beranjak lagi entah ke mana
Roda-roda berputar dan melaju
Menghapus waktu
: Berlalu.
Tegalsari, 2020
Wahyu Hidayat, lahir di Banyuwangi 28 Oktober 1995. Pendiri Komunitas Tulis Graps, dan bergiat di Komunitas Tobong Karya. Beberapa kali mendapat penghargaan, di antaranya: Juara 2 Radar News Competition, Juara 3 lomba cipta puisi Dewan Kesenian Blambangan, masuk 20 besar sayembara manuskrip puisi Dewan Kesenian Jawa Timur, dan Juara 2 lomba cipta puisi 7 kota (Banyuwangi, Jember, Situbondo, Bondowoso, Lumajang, Probolinggo, Pasuruan) yang diadakan Universitas Jember (UNEJ). Puisi-puisinya termuat di koran, majalah dan antologi: Banyuwangi dalam Langgam, Merangkai Damai, Sastrawan Jilid III, Merupa Tanah di Ujung Timur Jawa, Puisi Sakkarepmu, Balada Tanah Takat. Kumpulan puisi pertamanya, Kesaksian Musim (2016). Santri Darussalam Blokagung. Dapat berkomunikasi melalui Facebook: Wahyu Lebaran atau Instagram: @wahyulebaran.