Djoko Saryono
Filsafat bertugas menggarap persoalan mendasar dan hakiki tentang manusia dan hidupnya. Permenungan, pencerahan, penerangan, perumusan, dan pemaknaan tentang manusia beserta seluk-beluk hidupnya ditawarkan dan disodorkan oleh filsafat. Pertanyaan-pertanyaan seperti siapakah manusia, ke mana perjalanan hidupnya, apakah makna hidupnya, dan sebagainya menjadi pokok bahasan filsafat manusia. Demikian juga peristiwa-peristiwa kematian, kemiskinan, kesengsaraan, penyakit, dan kebahagiaan menjadi pokok bahasannya. Hal ini menunjukkan, yang dibahas filsafat khususnya filsafat manusia merupakan persoalan abstrak, konseptual, dan transendental yang tidak selalu dipahami oleh orang, lebih-lebih orang awam.
Persoalan-persoalan tersebut perlu diketahui oleh setiap manusia. Bukan hanya filosof, cendekiawan, mahasiswa yang menekuni filsafat, dan lain-lain schollars yang wajib mengetahuinya, melainkan juga manusia awam atau masyarakat umum. Dikatakan demikian karena setiap manusia berurusan dengan persoalan-persoalan tersebut. Dalam hidupnya di dunia, setiap manusia tidak bisa melepas-kan diri dari pertanyaan-pertanyaan tentang dirinya, hidupnya, dan pergumulan hidup di dunia. Hal ini mengimplikasikan bahwa persoalan-persoalan filosofis tersebut perlu disebarluaskan kepada semua manusia.
Hal tersebut memerlukan komunikasi dan wahana komunikasi. Kepada masyarakat umum atau manusia awam malahan diperlukan komunikasi dan wahana komunikasi yang komunikatif agar persoalan-persoalan filosofis tersebut mudah dicerna dan dipahami. Ada beberapa wahana komunikasi yang dapat dikatakan komunikatif. Media massa khususnya surat kabar dan majalah, kesenian, dan sastra merupakan beberapa wahana komunikasi filsafat ayng terbukti komunikatif. Dikatakan demikian karena wahana-wahana tersebut (i) menyampaikan persoalan filosofis manusia tidak secara deskriptif dan diskursif, tetapi naratif dan hidup, (ii) digemari dan diakrabi oleh masyarakat pada umumnya, dan (iii) beredar luas dan hidup akrab di tengah-tengah masyarakat.
Sastra dapat dikatakan sebagai salah satu dulang atau wahana komunikasi yang komunikatif yang banyak digemari oleh para filosof dan sastrawan. Dikatakan demikian karena dua hal. Pertama, banyak filosof mengomunikasikan pikiran, gagasan, dan pandangan filosofisnya tentang manusia melalui sastra. Kedua, banyak sastrawan menuangkan atau mengintroduksi pemikiran-pemikiran, gagasan-gagasan, dan pandangan-pandangan filosofis tentang manusia ke dalam karya-karya sastranya. Hal ini membuktikan bahwa sastra merupakan tempat yang baik untuk menuangkan pemikiran, gagasan, dan pandangan filosofis tentang manusia dan menggambarkan secara hidup pikiran, gagasan, dan pandangan tentang manusia.
Filosof-filosof besar yang sekaligus sastrawan-sastrawan besar dari Barat sering melontarkan pemikiran, gagasan, dan pandangan filosofisnya tentang manusia melalui sastra. Jean Paul Sartre, Albert Camus, dan Frederich Neitzche memperkenalkan dan menyebarkan pemikiran filosofisnya tentang manusia melalui novel-novel mereka. Pintu Tertutup(naskah drama) karya Sartre sarat sekali dengan pikiran-pikiran eksistensialis tentang manusia. Demikian juga La Peste (Sampar) karya Camus menyodorkan pikiran-pikiran eksistensialis tentang manusia.
Malahan pikiran-pikiran filosofis Muhammad Iqbal, filosof yang sekaligus sastrawan Islam yang demikian mashur, sebagian besar dituangkan ke dalam karya sastra. Javid Namah, Asrari Khudi, Bangi Dara dan lain-lain merupakan cetusan-cetusan pikiran-pikiran filosofis Iqbal tentang manusia dan hidupnya. Dalam hal ini sungguh sulit dibedakan apakah Iqbal merupakan seorang filosof yang menuangkan pikiran filosofisnya melalui sastra ataukah seorang sastrawan yang mengintroduksi dan menyebarkan pikiran filosofis ke dalam karya sastranya. Mungkin lebih tepat dikatakan bahwa Iqbal merupakan filosof sekaligus sastrawan yang memuati karya sastranya dengan pikiran-pikiran filosofis. Di sini dapat pula dikatakan bahwa Iqbal (dan mungkin yang lain juga) berfilsafat dalam sastra dan bersastra secara filosofis.
Sastra sebagai dulang komunikasi pikiran filosofis tentang manusia juga merupakan hal lumrah dalam dunia sastra nusantara atau daerah di Indonesia. La Galigo, karya sastra daerah Bugis-Makassar, mengandung pikiran filosofis tentang manusia dan hidupnya menurut kosmologi Bugis-Makassar. Karya-karya Hamzah Fansuri, sastrawan sekaligus sufi mashur dari Melayu, diakui oleh banyak kalangan mengandung pikiran-pikiran filosofis tentang manusia beserta hidupnya. Demikian juga karya-karya sastra daerah Jawa, misalnya karya-karya dari Pakubuwana IV, Yasadipura, dan Ranggawarsita, sarat sekali dengan pikiran filosofis tentang manusia dan hidupnya. Hal ini membuktikan bahwa sudah sejak lama sastra menjadi dulang renungan filosofis tentang manusia.
Sastra Indonesia, sebuah jenis sastra baru, yang memiliki bobot sastra juga menjadi wahana komunikasi pikiran-pikiran filosofis. Meskipun tidak semua, banyak karya sastra Indonesia memuat pikiran-pikiran filosofis. Cerpen-cerpen, drama-drama, dan novel-novel Indonesia banyak yang filosofis. Di antara sekian banyak novel Indonesia, yang sering disebut-sebut memuat pikiran filosofis secara kental ialah novel-novel Iwan Simatupang. Keempat novel Iwan, yaitu Merahnya Merah, Kering, Ziarah, dan Kooong dikatakan oleh banyak pengamat sebagai memuat konsepsi atau pikiran eksistensialis. Novel-novel tersebut bisa dibilang menjadi contoh paling menonjol novel yang menjadi wahana komunikasi filsafat. Malahan bisa dibilang bahwa novel-novel Iwan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan mahabesar tentang manusia.
One Reply to “SASTRA SEBAGAI DULANG RENUNGAN FILOSOFIS (1)”