: Manusia dalam Novel Iwan Simatupang
Djoko Saryono
Manusia dan keberadaannya di dunia selalu dan tetap menjadi suatu tanda tanya atau persoalan mahabesar bagi dirinya sendiri. Malahan tanda tanya atau persoalan mahabesar itu sering menghempaskannya ke dalam ketidakberdayaan, ketidaksanggupan, dan ketidakmampuan untuk memahami dirinya sendiri dalam keberadaannya di dunia.
Tanda tanya atau persoalan mahabesar yang menyangkut hakikat dan keberadaan manusia di dunia tersebut nampaknya juga menghinggapi pikiran dan kesadaran Iwan Simatupang, seorang sastrawan besar Indonesia yang sering dijuluki manusia hotel. Dalam usahanya ikut menjawab tanda tanya atau persoalan mahabesar itu nampaknya itikad dan motivasi Iwan Simatupang menulis novel-novelnya.
Malah dapat dikatakan bahwa novel-novel Iwan, yaitu Merahnya Merah (1983), Ziarah (1983), Kering (1985), dan Kooong (1975) ditulis sebagai usaha menyumbangkan pikiran untuk menjawab tanda tanya atau persoalan mahabesar manusia yang menyangkut hakikat dan keberadaannya di dunia. Oleh karena itu, novel-novel Iwan dapat dilihat dalam kaitannya dengan sumbangan Iwan dalam usahanya memberikan pemahaman mengenai hakikat dan keberadaan manusia di dunia. Ringkasnya, novel-novel Iwan dapat diletakkan dalam kerangka untuk memahami hakikat dan keberadaan manusia di dunia.
Peletakan tersebut menguntungkan karena membuat Iwan dan pikiran pikiran filosofisnya tentang manusia dapat dipandang secara universal dan hakiki. Dengan cara demikian diketahui bahwa Iwan tidak terjebak dalam menampilkan tokoh yang dikungkung oleh ruang dan waktu tertentu saja. Berdasarkan pembacaan dapat diketahui bahwa manusia yang ditampilkan atau ditokohkan oleh Iwan merupakan manusia sejagat. Manusia yang terikat oleh ruang dan waktu semesta abadi dan universal, ruang dan waktu sejagat. Karena itu, tokoh-tokoh (utama) dalam novel-novel Iwan merupakan manusia sejagat, yaitu manusia yang tidak hanya terlibat dan dihinggapi oleh persoalan-persoalan di tempat dan zaman tertentu, tetapi terlibat dan dihinggapi oleh semua persoalan manusia di mana pun dan kapan pun.
Sejalan dengan itu, bolehlah dikatakan bahwa tokoh-tokoh yang terdapat dalam novel-novel Iwan selalu terlibat dan melibatkan diri dengan persoalan-persoalan manusia seluruhnya. Tokoh Kita, tokoh utama dalam Merahnya Merah, Kering, dan Ziarah, digambarkan oleh Iwan selalu terlibat dan melibatkan diri dalam segala persoalan hidup keseharian. Dalam kondisi dan keadaan demikianlah tokoh-tokoh Iwan menemukan hakikatnya. Hal ini menunjukkan bahwa tokoh-tokoh Iwan menemukan hakikatnya sebagai manusia dalam keberadaannya dengan manusia lain dalam hidup di dunia. Misalnya, dalam Merahnya merah digambarkan seorang tokoh sebagai berikut: “Dia berjalan terus. Tak tahu, tak menghiraukan, di mana dia jalan. Pokoknya, dia jalan. Dan jalan berarti: setidaknya dia masih ada. Ada di jalan. Dan ada di jalan setidaknya berarti: ada di bumi. Jadi, dia ada.”
Dalam banyak bagian novel-novelnya, seperti kutipan di atas, senantiasa diperlihatkan bahwa manusia terletak dalam keberadaannya di dunia. Hakikat manusia terlihat dalam keberadaannya di dunia dengan makhluk lain baik manusia maupun bukan. Lewat tokoh-tokohnya yang disebutnya Tokoh Kita, tanpa nama atau identitas diri, Iwan sebenarnya mengatakan bahwa lewat perjumpaan dan pertemuan dengan manusia lain, seorang manusia menemukan hakikatnya. Karena itu, manusia lain atau orang lain harus ada demi keberadaan seorang manusia.
Hal itu tanpa dipersoalkan apa, siapa, dari mana dan mau ke mana mereka atau orang lain itu. Yang penting adalah mereka sama-sama ada, sama-sama mengalami segala hal yang ada dalam hi-dup manusia sebagai manusia. Mereka sama-sama mengada. Karena itu, keberadaan manusia di dunia menjadi penting sebab dengan begitu dia bisa ada dan terus mengada. Ada dan terus mengada ini merupakan hakikat manusia. Jelaslah bahwa hakikat manusia ditemukan dalam keberadaannya di dunia.
Karena perjumpaan Tokoh Kita, tokoh utama dalam novel-novel Iwan, dengan manusia atau orang lain merupakan pertemuan dalam sama-sama ada dan mengada, maka dia tidak peduli identitas sosial orang atau manusia lain. Identitas sosial menjadi tidak penting sebab itu semua bukan merupakan hal hakiki. Tokoh Kita tidak peduli apakah orang lain mempunyai nama atau tidak, mempunyai pangkat atau tidak, mempunyai jabatan atau tidak, mempunyai status atau tidak, mempunyai harta benda atau tidak.
Di sini nampaknya Iwan mau mengatakan bahwa keberadaan manusia di dunia yang menjadi prasyarat ditemukannya hakikat manusia bukan ditentukan oleh nama, harta, status sosial, pangkat atau gelar, melainkan oleh manusia itu sendiri, yaitu oleh ada dan mengadanya sebagai manusia. Yang pokok bagi Iwan nampaknya bukan identitas sosial (nama, gelar, pangkat, dan sebagainya), melainkan ada. Ada sebagaimana adanya.”Pokoknya, dia ada”, kata Tokoh Kita dalam Merahnya Merah yang dikutip di atas. Paragraf pertama Merahnya Merah –yang sangat saya sukai – berkisah sebagai berikut.
“Sebelum revolusi, dia calon rahib. Selama revolusi, dia komandan kompi. Di akhir revolusi, dia algojo pemancung kepala pengkhianat-pengkhianat tertangkap. Kini revolusi telah selesai. Telah lama, kata sebagian orang. Ah, barangkali juga tak pernah selesai-selesai. Dia tak tahu. Rumah sakit jiwa telah lama pula ditinggalkannya. Dia bukan rahib. Gereja tak pernah dimasukinya lagi. Terdaftar di departemen urusan veteran, dia tak tega pula. Dia tak tahu, apa sebenarnya dia kini. Dia hanya tahu, di mana dia. Yaitu, di sepanjang jalan raya. Menurut istilah resmi departemen angkatan kepolisian dan departemen urusan sosial, dia orang gelandangan.”
Kutipan di atas membuktikan bahwa bagi Iwan identitas sosial tidak penting, bukan substansi, hanya “baju”hidup yang tak hakiki. Yang hakiki adalah ada dan mengada. Bila manusia mampu menyingkirkan identitas sosial, dia berarti ada dan mengada. Lebih jauh hal ini berarti keberadaan hidupnya di dunia jelas dan dengan demikian hakikat hidupnya ditemukan. Meskipun demikian, tidak berarti manusia harus membebaskan diri dari persoalan sosial. Justru manusia harus melibatkan diri dalam seluruh peristiwa sosial karena ada dan mengada itu hanya mungkin dalam seluruh peristiwa sosial. Hal ini dengan jelas ditampilkan oleh Iwan melalui tokoh tokohnya. Lewat tokoh-tokohnya Iwan hendak mengingatkan bahwa manusia merupakan makhluk historis.
Hakikat manusia sendiri adalah suatu sejarah, bukan semata-mata suatu datum atau artefak. Karena itu, hakikat manusia itu sendiri hanya dapat dilihat dalam perjalanan sejarahnya selama memiliki keberadaan di dunia. Seperti pernah disitir oleh Sastrapratedja, hal itu sejalan dengan pendapat E. Schillebeeckx yang mengatakan bahwa apa yang kita peroleh dari pengamatan kita atas pengalaman manusia adalah suatu rangkaian anthropological constants dan bukan suatu defini pra-ada tentang hakikat atau kodrat manusia.
(Iwan Simatupang, foto dari galeribukujakartadotcom)
Bersambung…
2 Replies to “SASTRA SEBAGAI DULANG RENUNGAN FILOSOFIS (3)”