SASTRA SEBAGAI DULANG RENUNGAN FILOSOFIS (5)

: Filsafat Manusia dalam Novel Iwan Simatupang

Djoko Saryono

Hakikat manusia hanya dapat ditemukan dalam keberadaannya di dunia sehingga hidup manusia dan pergumulan hidup manusia menjadi penting. Hal ini tegas sekali disiratkan dalam novel-novel Iwan Simatupang. Melalui novel-novelnya, Iwan tampak hendak meyakinkan kita bahwa hidup manusia beserta pergumulannya dengan berbagai permasalahan teramat penting karena di situlah manusia menemukan hakikatnya sebagai manusia.

Hidup manusia dan pergumulan hidup manusia di dunia seperti apakah yang dipesankan oleh Iwan agar sejalan dengan hakikat dan keberadaan manusia? Kalau hakikat manusia terletak pada keberadaannya di dunia dan keberadaan di dunia itu tidak boleh terembeli-embeli identitas sosial dan terikat oleh ruang dan waktu tertentu, apakah makna hidup di dunia dan pergumulan hidup di dunia seperti apakah yang harus dijalani oleh manusia? Dalam novel-novelnya, Iwan memberikan jawaban khas bagi ihwal hidup manusia di dunia dan pergumulan hidup manusia di dunia.

Melalui novel-novelnya, Iwan hendak mengatakan bahwa hidup manusia di dunia merupakan suatu pengembaraan tanpa henti dan tanpa ujung. Dalam Merahnya Merah hal ini disimbolkan dengan hidup menggelandang. Tokoh Kita dalam novel ini digambarkan oleh Iwan selalu hidup menggelandang, menjadi gelandangan. Dalam Kering hal ini disimbolkan dengan migrasi terus-menerus tokoh utamanya. Hidup manusia pada hakikatnya merupakan suatu migrasi tan-pa henti sehingga manusia selalu dalam kondisi mencari. Bagi Iwan, penggelandangan dan pencarian menjadi kata kunci untuk me-mahami hidup dan pergumulan hidup manusia. Sebab itu, bagi Iwan, manusia tidak mempunyai tempat tinggal yang pasti. Dalam kata-kata dan sikap hidup Iwan sendiri, tempat tinggal manusia hanyalah sebuah hotel;hotel merupakan tempat datang dan pergi lagi.

Dalam Merahnya Merah ihwal penggelandangan manusia jelas sekali. Tokoh Kita, tokoh utama novel ini, digambarkan selalu hidupan menggelandang, menolak kemapanan dan keenakan. Iwan hendak meyakinkan kita bahwa hidup manusia itu pada hakikatnya merupakan penggelandangan; kegelandangan. Kegelandangan yang bukan ditentukan oleh kebutuhan biologis, melainkan oleh kasadaran sebagai manusia modern.

Penggelandangan dan kegelandangan ini melambangkan kesementaraan hidup manusia di dunia. Dalam kesementaraan hidup di dunia ini, manusia dihadapkan pada berbagai pertanyaan yang bersangkutan dengn tujuan hidup dan nilai-nilai hidup yang harus dicari.Penggelandangan jugamerupakan cara untuk menjawab hakikat hidup di dunia. Dalam Ziarah penggelandangan sebagai ungkapan makna hidup manusia yang sementara atau kesementaraan hidup manusia demikian jelas. Ziarah bermula dan berakhir dengan kegelandangan yang semakin jauh dari makna cita rasa material. Ini merupakan pengingkaran terhadap semangat kebendaan.

Kegelandangan manusia berakhir dengan suatu ziarah panjang, yaitu kematian yang tidak dapat dipahami oleh manusia, tetapi harus dialaminya demi kelengkapan dan kesempurnaan hidup. Kegelandangan dan ziarah hidup manusia di dunia belum lengkap dan sempurna kalau belum berakhir dengan kematian. Di sinilah manusia berharap menemukan jawaban dari tanda tanya mahabesar yang selalu menghantui semua manusia sepanjang hidup di dunia.Dalam Ziarah dikatakan, „Besoknya pekuburan geger. Opseter didapati mati, menggantung dirinya di rumah dinasnya. Di atas menja didapati sepotong kertas tulisan almarhum : DEMI KELENGKAPAN DAN KESEMPURNAAN”(138). Jadi, pencarian makna hidup manusia akan berakhir dengan kematian. Dalam kematian akan ditemukan keleng-kapan dan kesempurnaan sebagai manusia.

Kegelandangan dalam Kering merupakan kegelandangan modern, yaitu migrasi yang terus-menerus, tanpa henti tanpa istirahat. Di sini Iwan memaksudkan bahwa gejala-gejala fisikal hidup itu sela-lu berubah-ubah, selalu mobil, dan tidak stabil. Hidup manusia selalu begini:berubah-ubah, mobil, dan tidak stabil. Mengapa demikian? Berubah-ubah, mobil, dan tidak stabil berarti terbuka untuk segala kemungkinan.

Migrasi terus-menerus tersebut dilakukan untuk mencari kebahagiaan hidup di dunia. Ini menunjukkan bahwa pergumulan hidup dengan soal kebahagiaan dijalani dengan migrasi terus-menerus. Migrasi terus-menerus telah menjadi bagian dari pencarian manusia akan suatu tanah kebahagiaan di mana dia dapat mengalami hidup secara penuh. Dalam migrasi terus-menerus dalam upaya mencari kebahagiaan hidup inilah manusia menyadari bahwa hidup sekadar kesibukan, kerutinan saja tanpa harus diketahui untuk apa sebenarnya kerutinan itu. Hidup tidak mempunyai kediaman karena tidak mungkin pulang. Nyatalah bahwa hidup pada hakikatnya tidak akan pernah pulang, tetapi akan terus menggelandang dan migrasi terus-menerus. ”Persoalan saya yang sebenarnya bukanlah transmigrasi, tapi migrasi” (Koong, 47). “Ke mana? Tiap dia bertanya pada dirinya sendiri, dia selalu mendapat gairah baru. Gairah untuk : Terus. Terus ke mana, bagaimana, ini soal berikut. Soal nanti. Yang pokok adalah:Dia terus!”

Dalam Kooong, hilangnya perkutut adalah lambang dari hilangnya jatidiri manusia. Karena itu, perjalanan hidup manusia selanjutnya ditandai oleh pencarian terus-menerus akan jatidiri itu. Untuk itu, Pak Sastro, tokoh utama novel ini, meninggalkan segala yang bersifat jasmani. Materi dan kekayaan ditinggalkan demi pencarian jatidiri yang bebas tidak terikat badan jasmani. Pencarian terus-menerus jatidiri yang hilang inilah gambaran menggelandangnya manusia, kegelandangan manusia meskipun dia tidak tahu harus ke mana dan dengan tujuan apa. Yang penting di sini mencari jatidiri, menggelandang demi hidup yang terus mencari.

Ringkas kata, novel Koong menegaskan bahwa hidup manusia merupakan pencarian terus-menerus, tanpa harus diketahui ke mana arah dan apa tujuannya. Dalam pencarian itu manusia bergumul dengan berbagai persoalan, kebahagiaan, kebendaan, kematian, dan sebagainya. Dengan demikianlah manusia menemukan makna hidupnya.

Itulah sebabnya, boleh dikatakan bahwa bagi Iwan hidup manusia merupakan proses mencari, yaitu mencari jatidiri, kepenuhan makna, dan kebahagiaan hidup. Caranya adalah dengan menggelandang, mengembara, ziarah kemanusiaan dan migrasi terus-menerus. Penggelandangan, pengembaraan, peziarahan kemanusiaan, dan migrasi terus-menerus yang akan bermuara pada kematian, berakhir pada kematian. Kematian ini berarti berakhir pulalah pencarian manusia. Berakhirlah seluruh rentetan pencarian manusia yang dilakukan dengan bergumul dengan segala masalah manusiawi yang selalu dijumpainya dalam perjalanan sejarah hidupnya.


Bersambung…

2 Replies to “SASTRA SEBAGAI DULANG RENUNGAN FILOSOFIS (5)”

Leave a Reply

Bahasa »