Junaidi Khab *
Lampung Post, 22 Jan 2017
Iman Budhi Santosa merupakan salah satu penyair Yogyakarta. Berkat tulisannya di media dia bisa lepas dari penangkapan, penjara pemerintahan Orde Baru. Suatu ketika, saat dia sedang duduk diskusi di lesehan, tiba-tiba ada razia. Semua masyarakat diminta kartu identitas. Sebagai gelandangan yang berpendidikan alam, dia tak begitu terpikirkan oleh kartu identitas. Saat akan ditangkap, dia melakukan dialog. Dia tak mengantongi kartu tanda penduduk atau kartu keluarga yang berlaku. Akhirnya, dia menunjukkan tulisannya yang dimuat, tentunya dengan identitas di dalamnya. Maka setelah itu, dia bebas sebagai warga negara yang berperilaku baik.
Begitu sekelumit perjalanan Iman Budhi Santosa yang kental dengan karya-karya puisinya yang penuh nadi-nadi kehidupan. Jika dilihat dari sudut pandang pendidikan formal, dia bukan seorang akademisi yang diatur oleh sistem. Tapi, pendidikannya terlahir dari rahim semesta. Mungkin, jika kita bandingkan, dia tak jauh berbeda dengan D Zawawi Imron – Sumenep, Madura. Mereka bagian dari manusia antik yang didikannya diberikan oleh alam. Sehingga, jika kita berbincang dengannya akan menemukan anak-anak alam dari pembicaraannya yang membuat nurani terobati.
Saat saya berkunjung ke kediamannya di Yogyakarta, beberapa deretan buku di atas rak menjadi ikon dunia akademisnya. Usianya yang mendekati senja tak memupuskan spirit hidupnya untuk terus mengajak menemui anak-anak alam yang terkandung di lingkungan sekitar. Ingatannya cukup begitu tajam dan cara bicaranya sangat bening, sebening naluriah hutan yang penuh dengan buaian oksigen bagi keberlangsungan hidup umat manusia.
Naluri Literasi
Sebuah spirit hidup yang dibangun oleh Iman Budhi Santosa merupakan seonggok fondasi yang mampu membuat dirinya tetap kukuh menjalani usianya yang dimakan waktu. Menurutnya, karya sastra itu lahir dari alam dan segala pengalaman ruh manusia tentang sesuatu yang membuatnya merasa nyaman, puas, dan penuh dengan kebahagiaan. Itu, yang bisa kita sebut dengan pengetahuan. Budhi Santosa ibarat puncak dari jantung literasi. Nafas-nafasnya terembus dari aspek keilmuan yang ditemukan di balik semak-semak dan lipatan-lipatan kertas berisi noktah rahasia kehidupan. Dari nafas-nafasnya, dia menekuni dunia literasi sebagai jalan hidupnya.
Beberapa deretan buku menjadi bukti bahwa dia hidup dalam pedagogi kesusasteraan dengan menekuni dunia baca dan tulis. Membaca bukan hanya terbatas pada lembaran-lembaran buku di atas raknya. Tapi, jauh dari itu, dia membaca alam dan segala sesuatu yang diciptakan oleh penguasa semesta. Sehingga, cakrawala pemikirannya tetap terasa bening bagai setetes embun yang mengalir di dahan-dahan dan reranting pepohonan kehidupan.
Seperti yang dia ungkapkan bahwa karya sastra – khususnya di Indonesia, lahir dari rahim alam semesta yang berhasil dikuak. Begitu pula dengan tulisan-tulisan para penulis tersohor, karyanya juga berangkat dari fenomena alam. Hakikatnya, manusia dan masyarakat Indonesia di Jawa menurutnya, merupakan manusia yang hidup dengan pohon-pohon. Dari pohon-pohon itu kembali lahir sebuah kehidupan baru. Tetapi, di era modern saat ini, masyarakat Indonesia hampir kehilangan jati dirinya demi mengikuti gaya orang lain yang bukan hakikat dirinya. Ibarat kita yang lumrah makan nasi, lalu makanan pokok itu mau diganti dengan roti dan kurma, jadilah diri kita terhimpit.
Rahasia Empat Jilid Buku
Di tengah perbincangan, Budhi Santosa sempat membicarakan perihal nama-nama pepohonan atau tumbuhan dan segala yang berhubungan dengannya. Di Indonesia – Jawa, katanya ada beberapa daerah yang diberi nama bersumber dari nama bagian pepohonan atau tumbuhan. Hal itu mencerminkan bahwa masyarakat Indonesia hakikatnya dekat dengan alam. Sehingga nama-nama daerah mereka disebut dengan nama bagian dari pepohonan. Misalkan desa Alang-Alang di Jawa Timur, di daerah Bangkalan, Dukuh (Kupang) dan Bungur nama daerah di Surabaya, Paterongan (Jombang), Kangkung dan Gebanganom (Kendal, Jawa Tengah), Sawit dan Semanggi (Surakarta, Jawa Tengah), dan Papringan (Yogyakarta).
Pada kesempatan itu, saya dihidangi empat jilid buku berjudul Pohon Berguna Indonesia yang ditulis oleh K. Heyne berdarah Belanda-Jerman, bekerjasama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan. Buku itu merupakan kamus botani. Di dalamnya ada beberapa nama tumbuhan dan sebangsanya berikut dengan penjelasan dan kegunaannya pada masa dahulu oleh nenek moyang masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa.
Empat jilid buku tersebut memiliki daftar-daftar nama tetumbuhan yang diambil dari asalnya masing-masing. Di sekitar kita, banyak tetumbuhan dan pepohonan. Tapi, kita banyak tidak tahu nama-nama tersebut. Padahal, pohon atau tumbuhan itu memiliki nama dan kegunaan bagi kehidupan. Sebagaimana firman Tuhan di dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 26 bahwa Dia tidak akan menciptakan sesuatu yang tidak bermanfaat, bahkan seperti nyamuk masih ada manfaatnya.
Saya merasa terhenyak ketika mencari tetumbuhan dengan nama lokal di Sumenep, Madura. Di dalam buku itu diulas perihal ciri-ciri hingga kegunaannya. Pada saat itu pula, saya berpikir bahwa saya – khususnya bangsa Indonesia – akan banyak kalah langkah dengan orang non-pribumi yang telah mengetahui nama tetumbuhan atau pepohonan di Indonesia yang kadang kita tidak tahu bahkan tidak mau tahu. Tak heran, jika bangsa kita mudah dijajah dan dipermainkan oleh bangsa Asing. Sementara, Prof. Manu – seorang islamolog di Yogyakarta – mengingatkan bahwa Belanda telah memiliki data-data nama daerah di seluruh pelosok Indonesia. Jadi tak heran jika mekanisme jajahannya berlangsung lama.
Sejatinya, masyarakat Indonesia lebih dekat dengan alam seperti pohon-pohon atau tetumbuhan sehingga mereka dijuluki masyarakat agraris. Dari proses alam ini, mereka menghasilkan berbagai corak seni, budaya, karya sastra, dan segala macam pengetahuan yang memiliki peranan penting bagi proses hidup. Bangsa Indonesia memang kaya, tapi kadang kekayaannya sering dilupakan dan melihat kekayaan orang lain yang tak mungkin didapat dengan jati diri mereka tanpa memiliki kapasitasnya. Sehingga, produk gagal dan menjadi boneka bangsa Asing menggerogoti diri kita secara perlahan.
Maka dari itu, kita sebagai bangsa Indonesia harus menaruh perhatian yang dalam terhadap jati diri kita sebagai masyarakat yang hakikatnya hidup dengan pohon-pohon dan tetumbuhan, tapi bukan pada beton-beton serta baja yang menjadi perusak kehidupan umat manusia. Mari kembalikan jati diri kita sebagai bangsa Indonesia yang benar-benar hidup di atas kaki sendiri tanpa pengaruh dan intervensi bangsa Asing agar tetap menjadi bangsa yang kuat!
***
*) Penulis adalah Akademisi asal Sumenep, lulusan Sastra Inggris Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya.