Ulasan Cerpen “Anak Ini Mau Mengencingi Jakarta?”
Cerita pendek Ahmad Tohari berjudul “Anak Ini Mau Mengencingi Jakarta?” dimuat di Harian Kompas, 13 September 2015. Ini merupakan cerita pendek bergaya realis, yang semakin langka dianut oleh para penulis cerita pendek kita. Para penulis cerita pendek zaman ini, lebih senang menulis dengan gaya surealis dan absurd.
Cerita pendek Ahmad Tohari ini berkisah tentang kereta api yang berhenti menjelang Stasiun Senen, Jakarta Pusat, lalu subyek cerita berpindah dari dalam kereta api ke pemandangan keluarga tuna wisma di pinggir rel. Diceritakan seorang bapak membeli mi instan, menaruh air panas dan bumbu dalam wadah plastik mi instan itu, lalu menyuapkannya pada anaknya. Kuah mi itu untuk si emak yang masih tidur. Anak itu hendak kencing lalu oleh si bapak diminta agar tidak mengencingi punggung emaknya. Ketika melihat ada anjing mengencingi tiang, si anak kembali ingin kencing, dan oleh si bapak kembali diminta agar tidak mengencingi buntelan milik si emak. Bapak itu minta anaknya kencing di mana pun di seluruh Jakarta; di Menteng, di pinggir Jalan Thamrin, di lapangan belakang Stasiun Gambir, di sepanjang gili-gili Kebayoran Baru, juga boleh kencing di Senayan.
Generasi penulis cerita pendek seusia Ahmad Tohari, sudah banyak yang tak produktif lagi; bahkan beberapa sudah meninggal. Saat ini usia Ahmad Tohari kelahiran 1948, sudah 67 tahun. Gaya penulisan realis yang dianut Ahmad Tohari, juga makin langka. Jejak Danarto kelahiran 1940 (75 tahun), yang menebarkan wabah surealisme dalam penulisan cerita pendek, makin banyak diikuti oleh generasi terkini penulis kita. Demikian pula dengan jejak Budi Darma, kelahiran 1937 (78 tahun), yang menawarkan absurditas; juga laris manis diikuti oleh para penulis cerita pendek Indonesia. Sebenarnya sebelum Budi Darma, Iwan Sipatupang (1928 – 1970) sudah terlebih dahulu memulai gaya absurditas dalam penulisan prosa dan naskah drama. Tapi generasi para penulis terkini, lebih banyak berkiblat ke Budi Darma.
Masa Lalu
Maka gaya realisme yang masih sangat setia dianut Oleh Ahmad Tohari menjadi langka. Gaya ini juga dipakai oleh Hamsad Rangkuti kelahiran 1943 (73 tahun), yang saat ini sudah tak bisa menulis karena faktor kesehatan fisiknya. Selain gaya penulisan realis yang semakin tersisih, obyek yang ditulis Ahmad Tohari juga semakin tergusur. Tepi rel kereta api, dan bantaran kali, memang identik dengan kawasan kumuh, yang menjadi tempat domisili para tuna wisma, yang umumnya berprofesi sebagai kuli angkut, pemulung, pelacur, dan pelaku kriminalitas kelas bawah. Di DKI Jakarta, pernah sangat terkenal nama Tanah Abang Bongkaran sebagai kawasan kumuh tersebut, karena setiap kali dibongkar, akan dibangun kembali oleh para penghuninya. Di sebelah barat Stasiun KA Senen, juga pernah terkenal tempat bernama Planet Senen sebagai kawasan kumuh. Sekarang Planet Senen menjadi Gelanggang Remaja.
Pelan-pelan Pemerintah DKI membersihkan kawasan kumuh di bantaran kali. Belakangan ini bantaran Kali Ciliwung di Kampung Pulo, Jatinegara juga tak luput dari pembersihan, untuk menormalkan aliran sungai, guna mencegah terjadinya banjir. Sejak Ignasius Jonan menjadi Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia, BUMN ini juga berbenah diri. Penumpang berjejal dalam gerbong kereta tanpa pendingin (AC) tak ada lagi. Semua gerbong sekarang ber AC. Penumpang yang naik ke atap gerbong juga lenyap. Pedagang kaki lima di Stasiun KA juga diusir, dan tepi rel kereta api pun dibersihkan. Tindakan ini mengundang kritik para aktivis LSM, bahwa Jonan tak berperikemanusiaan. Tapi pembersihan jalan terus. Bagi pemerintah, jutaan penumpang KA lebih diutamakan dibanding ribuan pedagang kakilima. Keamanan dan kenyamanan jutaan penumpang tentu lebih penting dibanding nasib tuna wisma di tepi rel KA.
Maka sekarang orang yang dulu suka naik mobil pribadi atau pesawat terbang, lebih memilih naik kereta api. Selain aman dan nyaman, cara memperoleh tiket pun sangat mudah. Kalau dulu calo merajalela, sekarang lenyap. Mereka yang melek teknologi online bisa memilih sendiri tiket yang dikehendaki. Mereka yang buta teknologi bisa pesan tiket jauh hari, dan langsung membayar di gerai Indo Maret dan Alfa Mart di mana-mana. Sekarang kereta api kita sama dengan di Malaysia, yang sudah sejak awal sangat tertib. Tapi pemandangan yang dilukiskan cerita pendek Ahmad Tohari ini juga ikut lenyap. Di beberapa tempat, termasuk di jalur Jatinegara – Senen, pembersihan masih belum sepenuhnya berhasil. Tetapi itu hanya soal waktu. Pada akhirnya sepanjang jalur rel kereta api akan bersih dan tak mungkin lagi ada tuna wisma seperti dalam cerita pendek ini.
Sastrawan bisa berperan sebagai “saksi sejarah” bagi masyarakat dan bangsanya. Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Ahmad Tohari masih berkisah tentang singkong (ubi kayu, ketela pohon). Tahun 1980an dampak dari serbuan kapitalisme global masih belum begitu terasa di Indonesia. Orang kelaparan memang sudah jarang kedengaran beritanya, tetapi waktu itu mi instan masih belum merajai selera masyarakat Indonesia. Yang terkenal baru mi telor. Mi kering tanpa bumbu, yang memasaknya harus terlebih dahulu dilembekkan dengan air panas, air dibuang dan mi yang sudah lembek ini dimasak dengan bumbu-bumbu. Tahun 1980an, saat Ahmad Tohari menulis Ronggeng Dukuh Paruk, umbi-umbian masih merupakan komoditas yang dibudidayakan para petani di pedesaan Jawa. Selain singkong, juga ditanam ubi jalar, keladi, dan uwi-uwian yang tumbuh liar di lahan penduduk.
Mi Instan
Ada rentang waktu lebih dari tiga dekade, sejak Ronggeng Dukuh Paruk ditulis, dengan saat Ahmad Tohari menulis cerita pendek Anak Ini Mau Mengencingi Jakarta? Lahan kering di Jawa, sekarang sudah jarang ditanami umbi-umbian, termasuk singkong. Para petani lebih senang menanam kayu, terutama kayu sengon (jeungjing), yang tak perlu perawatan berat seperti budidaya tanaman semusim. Setelah lebih dari lima tahun, kayu itu akan dibeli oleh para pedagang yang kemudian menjualnya ke pabrik penggergajian. Kayu sengon itu akan diekspor ke Jepang dan Korea. Singkong yang disinggung Ahmad Tohari dalam Ronggeng Dukuh Paruk, memang masih dibudidayakan dalam skala ribuan hektar oleh perusahaan besar di luar Jawa, untuk dibuat gaplek dan diolah menjadi tapioka. Gaplek bukan lagi bahan tiwul, melainkan merupakan pakan ternak, terutama unggas. Tapioka paling banyak diserap oleh industri bakso.
Sejalan dengan itu, pola konsumsi masyarakat juga berubah. Ahmad Tohari tak bisa lagi bercerita tentang Rasus dengan singkongnya, melainkan tentang seseorang yang anonim, di lokasi urban yang menyantap (menyuapi anaknya) dengan mi instan. Mi merupakaan pangan terbuat dari tepung gandum (terigu). Karena Indonesia terletak di kawasan tropis, gandum tak bisa dibudidayakan di negeri ini. Maka kita harus mengimpor gandum untuk membuat mi instan. Badan Pusat Statistik (BPS), mencatat impor gandum Indonesia dalam berbagai bentuk selama tahun 2014 mencapai 7,4 juta ton, dengan nilai 242,3 juta dollar AS. Dengan kurs Rp 11.000 per satu dollar AS, nilai impor gandum kita tahun 2014 mencapai Rp 26,6 triliun. Jadi, tokoh cerita pendek yang menyuapi anaknya dengan mi instan itu, sebenarnya sedang “membayar” upeti kepada kapitalisme global.
Terjadilah sebuah ironi. Ketika rakyat miskin Indonesia bahkan tuna wisma menyantap mi instan dengan sangat nikmat, sebenarnya mereka tengah membayar upeti kepada para petani gandum di AS. Sebab sebagian besar gandum kita diimpor dari AS. Nasi tergeser, umbi-umbian tergusur. Di DKI Jakarta memang masih bisa dijumpai para penjual pisang rebus dan umbi-umbian, dengan minuman bersantan yang disebut bajigur. Tapi mereka juga makin tersisih. Kalau pun ada peminatnya, mereka justru berasal dari masyarakat kelas menengah, bukan masyarakat di kawasan kumuh lagi. Kereta api dalam cerita pendek ini, tampaknya hanya sekadar “dipinjam” oleh Ahmad Tohari, agar ia bisa bercerita tentang kelompok masyarakat, yang sebentar lagi sudah tak akan pernah kita jumpai di tepi rel kereta api. Mereka akan tersingkir entah ke mana, sama dengan umbi-umbian yang juga tersisih, sama dengan gaya penulisan realis yang makin sedikit penulisnya.
Kritik dan esai yang sangat bagus,
F. Rahardi mengungkapkan keberadaan aliran realis dan sastrawannya, yang mungkin ruang geraknya terbatas bahkan hampir punah karena tergilas kemajuan teknologi yang dibarengi oleh penguasa kapitalisme global.
Ironi yang menyentuh keprihatinan, bahwa masyarakat kecil merupakan bagian yang paling besar kontribusinya sebagai pembayar upeti kpd kapitalis global. Itu semua tergambar dalam cerpen Ahmad Tohari yang berjudul ” Anak Ini Mau Mengencing Jakarta”
Dari esai tersebut kita diingatkan akan adanya aliran surealis dan absurd.