: Kelonggaran Moralitas Sosial dan Kebebasan Perempuan
Djoko Saryono *
Di samping menimbulkan kekerasan terhadap perempuan, modernisme dan pembangunanisme juga memunculkan kelonggaran moralitas sosial. Modernisme dan pembangunanisme memang telah membuat perempuan bebas dari (freedom from) belenggu dan kungkungan tradisi yang sangat patriarkis, tetapi juga menjadikan perempuan bebas untuk (freedom of) berbuat segala sesuatu, bahkan berbuat sesuatu yang melanggar moralitas sosial, misalnya promiskuitas dan pelacuran secara ekonomis, akibat timbulnya kelonggaran moralitas sosial. Hal-hal seperti ini banyak digambarkan di dalam teks-teks novel Indonesia sesudah perang yang di dalam teks-teks novel sebelum perang belum banyak digambarkan.
Teks novel Azab dan Sengsara, Sengsara Membawa Nikmat, Sitti Nurbaya, Salah Asuhan, Layar Terkembang, Anak Perawan di Sarang Penyamun, dan Tenggelamnya Kapal van der Wijk yang semuanya terbit sebelum perang, sebagai contoh, sama sekali tidak menggambarkan pelanggaran moralitas sosial karena memang tidak ada kelonggaran moralitas sosial bagi perempuan dan perempuan juga tidak bebas dari ikatan tradisi patriarkis yang memingit perempuan. Teks novel Belenggu yang terbit sebelum perang memang sudah mulai menggambarkan pelanggaran moralitas sosial dan kebebasan perempuan untuk berbagai hal di sektor publik. Akan tetapi, pelanggaran moralitas sosial karena timbulnya kelonggaran moralitas sosial bagi perempuan dan perempuan juga dapat bebas untuk berbuat segala sesuatu secara ekstentif digambarkan oleh Telegram, Raumanen, Burung-burung Manyar, Durga Umayi, Merahnya Merah, Para Priyayi, dan Pengakuan Pariyem yang semuanya terbit sesudah perang.
Di dalam teks-teks novel Indonesia sesudah perang, modernisme dan pembangunanisme digambarkan telah memberikan kepada perempuan kebebasan dari ikatan tradisi yang sangat patriarkis dan kebebasan untuk berbuat segala sesuatu tanpa sanksi moral sosial. Pada sisi lain, penetrasi modernisme dan pembangunanisme juga digambarkan telah menimbulkan kelonggaran moralitas sosial akibat rusaknya moralitas tradisional, semakin individualistisnya orang, dan lambatnya reintegrasi sistem sosial.
Dalam teks novel Telegram, sebagai contoh, Rosa — yang juga pelacur — memilih hidup kumpul kebo terus-menerus dengan tokoh Aku, pacarnya. Di dalam teks tidak digambarkan sama sekali reaksi masyarakat dan sanksi moral yang diterimanya. Dalam teks Raumanen digambarkan pergaulan bebas sejoli mahasiswa Manen dan Monang berhubungan intim di luar perkawinan hingga menyebabkan Manen hamil. Lembaga perkawinan di sini sudah digugat. Di dalam teks novel Pada Sebuah Kapal digambarkan Sri bermain seks bebas dengan orang asing sebagai bentuk pelampiasan ketidakpuasan kehidupan keluarganya. Demikian juga di dalam teks novel Durga Umayi digambarkan Iin Sulinda berprofesi sebagai pelacur kelas tinggi bagi pejabat-pejabat di samping berprofesi sebagai pengusaha. Di dalam teks tidak digambarkan reaksi sosial atas kepelacuran Iin Sulinda.
Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa kebebasan perempuan dari ikatan tradisi telah mendorong perempuan membuat perempuan bebas untuk berbuat sesuatu, ter¬masuk berbuat sesuatu yang melanggar moralitas sosial. Tidak seperti di dalam teks novel sebelum perang, di dalam teks novel sesudah perang tidak digambarkan sanksi moral sosial atas pelanggaran moral. Moralitas sosial terbendung oleh prinsip privasi dan individualitas mandiri.
Hal tersebut mengimplikasikan bahwa teks-teks novel Indonesia sesudah perang mencoba merespons teks-teks novel Indonesia sebelum perang. Kalau teks novel-novel Indonesia sebelum perang mempersoalkan kebebasan perempuan dari ikatan tradisi dan mencoba memberikan afirmasi terhadap kemodernan sekaligus modernisme yang telah menawarkan kebebasan baru, maka teks novel-novel sesudah perang justru mempersoalkan kebebasan baru tersebut.
Teks-teks novel Indonesia sesudah perang pada dasarnya mempersoalkan kebebasan perempuan untuk apa: apakah kebebasan untuk berbuat serong, berhubungan intim di luar nikah, dan hidup kumpul kebo?. Di sinilah jebakan modernisme dan pembangunanisme bagi perempuan. Kebebasan perempuan dari ikatan belenggu tradisi — yang banyak digambarkan oleh teks novel sebelum perang — berkat modernisme dan pembangunanisme — ternyata telah mengantarkan perempuan masuk ke dalam kebebasan untuk berbuat sesuatu yang tidak jarang melanggar moralitas sosial. Akibatnya, perempuan tersiksa atau teraniaya juga.
Oleh karena itu, citra perempuan tersiksa dan teraniaya tampil juga secara kuat dalam teks novel sesudah perang. Akan tetapi, pada masa sesudah perang perempuan tersiksa dan teraniaya oleh kekerasan modernisme dan pembangunanisme, sedang pada masa sebelum perang perempuan tersiksa dan teraniaya oleh kekuatan ikatan tradisi patriarkis.
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.
One Reply to “CITRA PEREMPUAN DALAM SASTRA (10)”