John H. McGlynn: Gadaikan Semua Demi Sastra Indonesia


(John H. McGlynn, foto Frendi dari indonesiaexpatdotbiz)

Benny Benke
Kompasiana (SM), 11 Okt 2016

JOHN H. McGLYNN muda, sewaktu masih kuliah di University of Wisconsin di Milwaukee, AS dan mengambil jurusan Theater Arts tidak akan pernah berpikir dan mengira, jika dirinya pada suatu saat akan terlibat jauh dalam perkembangan kesusastraan di Indonesia. Sebuah negara yang pada mulanya hanya sebagai tempat dia belajar mendalami pewayangan, sebagaimana tujuan awalnya kuliahnya.

Tapi siapa mengira, pria ramah yang gemar berbicara dengan suara datar layaknya seorang ayah kepada anaknya itu, akhirnya terlibat aktif dalam penerjemahan karya sastra Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Padahal, sewaktu dia kuliah, “Sangat sulit mencari karya sastra Indonesia, untuk tidak mengatakan nyaris tidak ada,” katanya.

Hingga tidak terasa, secara resmi, telah 25 tahun bersama Yayasan Lontar, laki-laki kelahiran 1952 itu, ratusan karya sastra Indonesia telah berhasil dia terjemahkan ke dalam bahasa Inggris, “Yang niatannya membangun jembatan bagi orang di luar negeri, untuk memahami Indonesia melalui kebudayaan dan karya sastranya,” katanya di kantor Lontar, Jl. Danau Laut Tawar 53, Pejompongan, Jakarta, pada suatu ketika kepada penulis.

Berteman kopi dan rokok asli Indonesia, pendiri Yayasan Lontar bersama Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Umar Kayam, dan Subagio Sastrowardoyo, pada Oktober 1987 itu, bercerita tentang suka dukanya melahirkan, membesarkan, merawat, dan memelihara ‘anaknya’ bernama Lontar.

Bahkan sampai-sampai, pada sebuah ketika, dia harus menjual sejumlah lukisan, dan barang yang dia miliki untuk mempertahankan kelangsungan hidup yayasannya itu. Padahal kalau dia mau, dia bisa hidup jauh lebih makmur dan sentosa di AS atau di mana saja dengan menjadi pegawai Bank Dunia dengan bayaran yang menjulang langit,” Tapi ternyata saya tidak bisa meninggalkan anak saya,” katanya mengenang.

Seberapa besar cinta John kepada sastra Indonesia, sehingga dia sudi meninggalkan kemakmuran di luar sana, hanya demi membangun jembatan peradaban yang demikian dia idamkan, agar nama Indonesia, jauh lebih dikenal dengan cukup berwibawa di luar sana. Apakah sedemikian benar, mencerdaskan bahkan mencerahkannya sastra Indonesia sampai dia bela sampai mati karya sastranya? “Ah… ceritanya panjang,” ujarnya.

Maka, dengan bahasa Indonesia yang rapi, anggota anggota Komisi Internasional dari IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia), PEN International-New York, dan The Association of Asian Studies itu bercerita. Di mulai dari Universitas Indonesia, John muda sering diajak oleh sejumlah guru-gurunya seperti Sapardi Djoko Damono, Widarti Gunawan, dan beberapa nama lainnya, untuk membantu menerjemahkan sejumlah karya sastra Indonesia ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1978-an. Setelah makin sering menerjahkan karya sastra Indonesia, sering pula dia bertemu dengan para sastrawan, dan akhirnya makin terlibat aktif dengan dunia sastra Indonesia.

Yang kemudian, pada sebuah titik muncul kesadaran, jika di luar negeri tidak ada yang tahu tentang Indonesia teristimewa tentang karya sastra terjemahannya. Hal itu senada dengan pengalannya pribadi, betapa sangat sulit menemukan karya sastra Indonesia terjemahan, ketika dia sedang belajar di universitas Winconsin. “Jadi saya tidak berpikir, juga terpikirkan, pada saatnya nanti, akan terlibat dalam menerjemahkan sastra Indonesia.”

Karena pada mulanya, dia hanya belajar bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar studinya di fakuktas seni, disain dan teater. “Jadi sebenarnya saya ke Indonersia, mau belajar tentang Wayang Kulit.” Tapi, lantaran tidak ada kursus bahasa Jawa, maka dia harus belajar bahasa Indonesia, sebagai bahasa pengantar. Dari situlah John muda sering pergi ke UI dan ke Taman Ismail Marzuki (TIM).

Apalagi pada waktu itu, TIM adalah pusat kebudayaan Indonesia, dan itu membuatnya,”Sangat fascinated.” Di TIM, seniman dan sastrawan muda dan tua, berkumpul semua di sana, sehingga dia menemukan kenyamanan yang tak termaknai. “Lama kelamaan saya mendapatkan a sense of prominence, atau secara samar-samar timbul keinginan untuk menjadi jembatan karya sastra Indonesia dengan pembaca dari mancanegara, khususnya yang berbahasa Inggris.”

Jadi setelah itu, tidak terasa telah puluhan atau mungkin ratusan buku sastra Indonesia telah dia terjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Dan secara formal, baru pada tahun 1987 dia dengan sejumlah koleganya, yang notabene adalah sastrawan Indonesia terdepan, mendirikan Yayasan Lontar. Meski sepengakuannya, setelah berjalan secara resmi selama 25 tahun, “Target penerjemahan sastra Indonesia, belum tercapai.” Mengapa capaian target itu belum tercapai? “Saya akan cerita nanti.”
***

Latar belakangnya, sebagaimana bidang lainnya, dalam dunia sastra, setiap hari lahir karya baru. Dengan demikian, “Biarpun kita telah menerjemahkan 100 buku, itu belum cukup.” Sebab, pikiran orang tahun 70-an berbeda dengan pikiran orang tahun 80-an, 90-an dan sebagainya. Dengan demikian, akhirnya timbul kesadaran dalam benaknya, walaupun suatu saat dirinya sudah tidak ada di Lontar, dikarenakan pensiun dan sebagainya, “Saya harap Lontar, atau lembaga yang serupa meneruskan pekerjaan penerjemahan karya sastra Indonesia.”

Dengan perjalanan panjang menerjemahkan karya sastra Indonesia, sebagaimana manusia biasa, tidakkah pernah John mengalami kebosanan, keletihan atau perasaan lainnya yang berkaitan dengan mandegnya kreatifitas menerjemahkan, karena berbagai alasan? Titik bosan, sepengakuannya, sebenarnya tidak ada, “Yang ada titik frustasi.” Sebab, sampai sekarang belum ada program bantuan penterjemahan dari pemerintah. Dia membandingkan dengan program penerjemahan karya sastra di beberapa negara lain. Misalnya beberapa negara seperti Korea Selatan, Tukir, Islandia dan beberapa negara lainnya, yang juga aktif terlibat dalam gelaran book fair paling penting di dunia, yaitu Frankfurt Book Fair.

Pada tahun 2015 Indonesia menjadi negara tamu kehormatan di acara book fair paling prestisius di dunia saat itu. Tapi sayangnya, menurut John, belum ada tanda tangan oleh Mendiknas untuk terlibat aktif di acara tersebut, padahal acaranya adalah Government to Government.

John bercerita, Korea yang pernah menjadi negara tamu kehormatan pada even itu, tercatat telah lebih dari 1000 karya sastranya telah diterjemahkan, bahkan ke dalam bahasa Jerman. “Turki juga sudah menerjemahkan beberapa ratus juga, demikian halnya dengan China yang telah menerjemahkan 350 karya sastra dalam bahasa Jerman.” Dan langkah itu diikuti Islandia yang menjadi tamu kehormatan Frankfurt Book Fair dua tahun lalu, “Mereka telah menerjemahkan 200 buku sastranya.” Jadi, dia ingin mengatakan, komitmen dari pemerintahlah yang memungkinkan hal itu bisa terjadi. “Padahal saya sudah berkali-kali berbicara dengan orang pemerintah, dan mereka hanya iya, iya dan bilang setuju-setuju,” katanya masygul.

Di mata John peran sastra sangat strategis dalam even besar seperti itu, “Karena sastra kan bisa menjadi jembatan untuk diplomasi kebudayaan, tapi sayangnya, orang pemerintah hanya talk, talk, talk, talk.” Jika pemerintahnya saja hanya omong doang, maka wajar jika John pun pada titik tertentu juga sudah merasa mentok, “Saya hanya bisa diam.” Tahun lalu dia mengaku pernah mencapai titik letih, dan hendak keluar dari dunia penerjemahan sastra Indonesia. “Lontar mau hidup atau mati, terserah.” Akhirnya John memang keluar, dan benar saja yang dia kuatirkan, Yayasan Lontar pelan dan pasti mulai mati, dan dia mulai berpikiran, “Aduh sayang, anakku…”.

Ya, John memang telah menganggap Lontar seperti anaknya sendiri. Padahal saat itu, dia sudah mulai bekerja dengan Bank Dunia dengan gaji yang bagus, “Tapi terpaksa kembali lagi ke Lontar, karena sudah hancur keadaan keuangannya.” Sebelum Lontar hancur, pada waktu itu masih mempunyai 20 karyawan, “Sekarang tersisa delapan.” Dan untuk menyehatkan Lontar, John waktu itu harus keluar uang 2 miliar rupiah untuk melakukan pengetatan. Dari mana dia mendapatkan sejumlah uang yang tidak sedikit itu? “Caranya, dengan menjual beberapa barang saya, seperti lukisan, juga meminjam uang ke beberapa kawan.”

Untungnya, langkah pengetatannya itu, sekarang mulai berbuah hasil, dan membuat Lontar sudah lebih stabil, “Terutama berkat bantuan Djarum Foundatioan,” katanya. 5 tahun belakangan ini Lontar memang mendapatkan bantuan dari Djarum, “Meski tidak cukup, tapi lumayan.” Lumayan, karena untuk penerbitan seperti Lontar, kalau ada 100 buku untuk diterjemahkan, “Dibutuhkan biaya antara setengah sampai 1 juta dolar AS, dan angka itu masuk dalam ukuran sangat kecil.” Jadi, masih mau memandang sebelah mata kecintaan John atas dunia sastra Indonesia? Yang menurut dia, jika dikomparasikan karya sastranya pada saat dia kali pertama datang ke Indonesia, dan karya sastranya dewasa ini makin mengalami kemajuan.

Secara teknis maupun kualitas isi, karya sastra dewasa ini memang dia nilai meningkat. “Tapi dari segi penyuntingan menurun.” Hal itu terjadi karena, dunia buku menjadi bisnis yang besar. Bahkan dalam dunia percetakan dewasa ini, penerbit Gramedia bahkan mengeluarkan 1000 buku dalam sebulan,” Bagaimana mungkin bisa menyunting buku sebanyak itu dalam satu bulan.” John yang telah berbicara dengan beberapa penyunting di penerbit KPG, Mizan dan beberapa penyunting lainnya, mendapatkan informasi, setiap penyunting harus harus menyunting 35 buku dalam waktu yang singkat. “Itu bukan menyunting, tapi memeriksa aksara.”

Jadi, itulah kelemahan dunia perbukuan di Indonesia, yang menurutnya harus diperbaiki. Dan diperparah pada saat bersamaan, banyak pengarang di Indonesia juga sastrawannya, yang menganggap karyanya sebagai “suara Tuhan”, “Dan oleh karenanya tidak boleh diubah oleh penyunting”. Apalagi, pada saat ini, hampir semua orang bisa mencetak buku, dan menyatakan dirinya sebagai pengarang. Kondisi itu melahirkan fenomena, makin banyak buku yang diterbitkan, tapi makin sulit menemukan yang terbaik. “Dan makin sulit menemukan berlian.”

Padahal, tujuan penerjemahan novelnya adalah memperkenalkan Indonesia di mancanegara. Atau dalam bahasa yang sederhana, “Kita mencari buku yang benar-benar mencerminkan Indonesia.” Oleh karenanya, dia akan senang sekali jika membaca sebuah novel yang mampu berbicara tentang Indonesia secara utuh. Tidak sebagaimana novel yang banyak sekarang, yang mengambil setting di Jakarta, tapi hanya mengenai kelompok urban intelektual yang kaya raya sebagai bahan ceritanya,” Hal seperti itu banyak di Amerika.” Sebab di Amerika juga ada ciklit, juga komik,” Jadi kita harus cari yang berbeda.”

Apalagi saat sekarang juga ada kecenderungam, para pengarang muda sekarang apalagi menulis novel dalam bahasa Inggris. “Saya usulkan jangan menulis dalam bahasa Inggris, karena mereka belum benar-benar mahir berbahasa Inggris.” Dan yang paling penting, karya sastra yang ditulis dalam bahasa Inggris itu, bukan sastra Indonesia, tapi sastra Inggris.
***

Dia meyodorkan data, di Amerika ada 150 ribu buku sastra yang diterbitkan dalam setahun. “Jadi, bagaimana kita bisa bersaing (kalau menulis sastra dalam bahasa Inggris).” Hal itu berbeda, misalnya jika karya sastranya ditulis dengan bahasa Indonesia yang baik, dan diterjemahkan dalam bahasa Inggris yang baik pula, maka kemungkinan untuk bisa masuk pasar internasional menjadi jauh lebih terbuka.

Sebab di AS sendiri, jumlah buku terjemahan sastranya dari sekian banyak buku yang beredar, hanya 1 persennya karya terjemahan. Bedakan jika kita masuk toko buku di Indonesia, “Ada sekitar 40 persen karya terjemahan dari mancanegara beredar di sini.”

Apakah dapat disimpulkan, sulit bersaingnya karya sastra Indonesia di panggung sastra dunia, karena karya sastranya sudah mentok? John menampik dengan tegas anggapan mentok itu. Sebab, sulitnya perkembangan dunia sastra di Indonesia, “Seperti lingkarang setan.” Karena berhubungan dengan banyak faktor, dari peran serta orang tua, yang harus mulai mengajarkan anaknya untuk kembali membaca, hingga peran pemerintah.

Anak-anak Indonesia, sepengamatan John dewasa ini, yang mengasuh adalah para pembantu, yang notabene nyaris tidak mempunyai kebudayaan membaca. “Lain dengan generasi tua, yang kebudayaan membacanya sangat kuat, baik membaca bahasa Indonesia, Belada dan bahasa lainnya.” Jadi, tidak mengherankan jika dia susah menemukan pemandangan orang tua yang duduk bersama anaknya, dan sedang melakukan kegiatan membaca.

Bahkan ketika anak-anak itu, telah sampai di bangku sekolah, tidak ada pendidikan susastra, “Yang ada hapalan tentang para pelaku sastra Indonesia.” Hal itulah yang menimbulkan keprihatinannya, sebab, seakan-akan setiap anak Indonesia yang lahir, langsung bisa menulis dan membaca sastra. “Jadi tidak heran jika sulit menemukan mutiara diantara sejumlah karya sastra Indonesia dewasa ini.”

Meski secara bersamaan dia tidak sepakat dengan ungkapan yang mengatakan, karya besar harus dilahirkan dari penderitaan yang besar juga? “Saya tidak percaya dengan ungkapan itu.” Pengarang besar di negara-negara lain, menurut dia, tidak harus menjadi miskin dan sengsara dulu untuk menghasilkan sebuah karya yang luar biasa. “Yang penting sensitifitas dan pendalaman atas sebuah peristiwa.” Dengan demikian, dia tidak mau gegabah untuk mengatakan sekarang sudah tidak ada lagi karya sastra yang luar biasa.

Atas alasan itu pula, dia tetap berharap akan ditemukan berlian dalam dunia sastra Indonesia pada saatnya nanti. “Saya tidak mau bilang sudah tidak ada berlian dalam dunia sastra Indonesia, saya tidak setuju.” Karena berlian menjadi berharga karena terus diasah. Berlian pada awalnya hanya sebuah batu di tanah. Tapi, jika terus diasah, baru terlihat kegemilangannya di kemudian hari. Demikian pula dalam kehidupan susastra di Indonesia, yang harus terus diasah. “Jadi saya pikir, itu masih proses.” Dan kembali ke masalah editing, dia menerangkan proses editing yang ideal, “Kalau pengarang masih hidup, saya biasanya akan berbicara dengan mereka, apakah boleh saya sunting seperti ini atau seperti itu. Bolehkah ini dipotong atau dipindahkan. Tapi kalau pengarang sudah mati, ya susah.”

Meski demikian dia tetap yakin, Indonesia tetaplah yang terdepan untuk kawasan Asia Tenggara jika berbicara tentang kreativitas dan susastra. “Yang saya pahami, meski ada sensorsip di sini, terutama sensor secara vertikal bukan horisontal, orang Indonesia lebih open dan kreatif.” Di Malaysia, orang tidak boleh menulis tenang masalah agama, di Singapura menulis tentang ras adalah larangan, dan di Thailand menulis tentang raja akan menjadi perkara, “Jadi di Indonesia jauh lebih terbuka.”

Dengan pengalaman sedemikian panjang bersentuhan dan terjun langsung dalam dunia penerjemahan sastra Indonesia, John mempunyai nasehat istimewa kepada sastrawan Indoneisa, istimewanya kepada penulis muda? “Saya hanya mampu memberikan saran, tapi tidak bisa mendikte kepada para pengarang.” Yang paling utama untuk seorang pengarang adalah melihat dengan cermat lingkungan, dan yang berbeda dari lingkungan itu. Karena hal itu, akan menjadi sumbangan yang berharga bagi bangsa ini kepada bangsa lain. Dia sekaligus menyayangkan tidak ada penulis yang yang menulis novel tentang dunia Islam di sini, “Dan harus menunggu karya terjemahan dari luar.”

Padahal karya terjemahan tentang Islam bahkan dari Arab Saudi sekalipun, menurut dia, “Lebih baik karya Islam yang ditulis orang Indonesia.” Karena, banyak pemikir Islam di sini, jauh lebih wahid dan tahu tentang Islam, dan bisa diterjemahkan bahkan dalam bahasa Inggris juga Arab. Dan yang tidak kalah pentingnya, menurut dia, menulis fakta atau kenyataan, jauh lebih menarik daripada fiksi.
***

Sumber: Suara Merdeka

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *