Media sebagai Panglima

Orasi untuk Pesta Media 2013

Seno Gumira Ajidarma *

Puan-puan dan Tuan-tuan yang Terhormat,
Media bukanlah kenyataan, media adalah konstruksi kenyataan, dengan pencapaian yang sangat berdaya, sehingga nyaris merupakan ilusi kenyataan yang sempurna. Dalam pencapaian ini, media menjadi situs perjuangan berbagai kelompok, untuk menancapkan versi kenyataan menurut kepentingannya masing-masing, dalam suatu proses hegemoni tanpa akhir. Dalam proses sosial politik semacam itulah, berlangsung perlawanan kelompok terbawahkan maupun negosiasi kelompok dominan terhadap perlawanan itu, agar dalam konsesus sosial dari saat ke saat, dominasi wacana kelompoknya tetap bertahan.

Dalam pemahaman semacam ini, mungkinkah media tetap netral? Seperti telah dibuktikan, ternyata sama sekali tidak—bukan karena media telah mengkhianati cita-cita kelahirannya sendiri, melainkan karena konsep netral memang merupakan mitos yang sudah gugur. Kata netral tetap ada dan akan selalu ada, tetapi yang maknanya menjadi ajang perebutan berbagai kepentingan tersebut, sehingga media manapun akan disebut netral hanya sejauh menguntungkan diri atau kelompoknya. Netral tidaknya media tidaklah melekat dan terdapat pada media itu sendiri, melainkan adalah produksi wacana.

Demikianlah aliran berbagai kepentingan yang berusaha membebankan maknanya sendiri, mulai dari kepentingan ideologis sampai kepentingan finansial, dari saat ke saat membentuk arus berita dengan keterlibatan para wartawan di dalamnya.

Puan-puan dan Tuan-tuan yang Tentu Saja Saya Muliakan,
Menjadi penting untuk mempertanyakan sekarang, pertama, apakah wartawan mengikuti arus? Ataukah, kedua, para wartawan setidaknya berusaha menentukan ke mana arus berita bisa dibawa?

Gejala pertama akan berlangsung jika para wartawan masih terjebak mitos, bahwa suatu berita mestinya bisa netral; gejala kedua dapat diberlangsungkan, ketika para wartawan sadar, dengan mustahilnya suatu berita bisa menjadi netral, maka pengendalian atas keterarahan berita itu justru sangat perlu.

Betapapun, meski awal abad ini telah ditandai oleh konvergensi media, tempat dibuktikannya demokratisasi berita, tetaplah selalu terdapat arus berita dominan yang harus diberi perlawanan, karena dalam arus manapun sesungguhnyalah bermain sirkulasi hubungan-hubungan kuasa pembentuk wacana, tempat para wartawan juga berada di dalamnya. Tampaknya saja wartawan berada di luar berita yang dihasilkannya, tetapi sudah jelas wartawan berada di dalam wacana, karena memang tiada sesuatu yang bermakna di luar wacana.

Maka mengendalikan, mengarahkan, dan menentukan pewartaan menjadi tugas tak terelakkan, karena dengan kerendahan hati palsu dan semu sebagai sekadar pengolah media, apa yang disebut berita hanya terakali dan termanfaatkan sebagai corong propaganda kaum politisi yang licin, promosi gratis para cukong, khotbah nabi-nabi gadungan, kilah aparatur negara, dan pembenaran diri golongan militer yang mentalitasnya setara preman.

Dalam kondisi seperti itu, para wartawan bukanlah wartawan, melainkan sekadar instrumen media yang bekerja seperti robot, menjadi mesin bahasa canggih bagi kegagapan para pemikir medioker, dan ujung-ujungnya ternyata bahkan memberi sumbangan besar atas ke-serba-sesat-an pemberitaan.

Apakah yang tidak lebih menyesatkan ketika para pembunuh berdarah dingin dengan segala kelengkapan persenjataannya tersahihkan sebagai ksatria? Apakah bisa dikatakan tidak menyesatkan, ketika sensasi seksualitas memenuhi ruang pemberitaan lebih banyak daripada kasus korupsi yang menjadi sumbernya, dengan menjarah dan memerkosa ruang pribadi kaum perempuan yang pada dasarnya menjadi korban?

Puan-puan dan Tuan-tuan yang Saya Doakan Agar Berbahagia,
Dalam posisi terbawa arus pemberitaan, para wartawan akan menyesatkan; dalam posisi mengendalikan, mengarahkan, dan menentukan arus pemberitaan secara kritis, para wartawan akan mencerahkan—dengan catatan bahwa keniscayaan untuk berpihak, dalam kemustahilan netralias, hanya bisa diterima secara etis jika para wartawan menempatkan keberpihakannya dalam pendekatan emansipatoris, yakni berpihak untuk membuat setara wacana kelompok terbawahkan, terutama mereka yang lemah, tertindas, dan tak berdaya meskipun sekadar untuk bersuara.

Dalam sirkulasi hubungan-hubungan kuasa dan pergulatan antarwacana, konsesus sosial akhirnya akan terjadi dengan terdapatnya kelompok dominan yang wacananya hegemonik. Suatu kelompok hanya dapat menjadi dominan jika berada dalam posisi kepemimpinan moral dan intelektual. Justru posisi inilah yang sudah waktunya diambil oleh para wartawan, dalam fungsinya yang vital atas keberadaan media.

Demi konstruksi kenyataan terbaik bagi bangsa Indonesia, tiada jalan lain, para wartawan harus memperjuangkan dan merebut peran, dengan menjadikan media sebagai panglima.
***

Kebon Jeruk, Selasa 4 Juni 2013.


SENO GUMIRA AJIDARMA lahir di Boston, 19 Juni 1958. Sastrawan, fotografer dan kritikus film Indonesia. Cerita pendeknya Pelajaran Mengarang terpilih sebagai Cerita Pendek Terbaik Kompas 1993. Buku kumpulan cerita pendeknya: Manusia Kamar (1988), Penembak Misterius (1993), Saksi Mata (l994), Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi (1995), Sebuah Pertanyaan untuk Cinta (1996), Iblis Tidak Pernah Mati (1999), juga beberapa novel seperti Matinya Seorang Penari Telanjang (2000). Di tahun 1987, mendapat Sea Write Award. Dan mendapat Khatulistiwa Literary Award, 2005. Berkat cerita pendeknya Saksi Mata, peroleh Dinny O’Hearn Prize for Literary, 1997. Kini ia tinggal di Jakarta dan mengajar matakuliah Kajian Media di FFTV-IKJ dan Kajian Sinema di Program Pascasarjana FIB UI.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *