Reny Sri Ayu, St Sularto
Kompas, 5 Des 2017
Wajah Prof Dr Nurhayati Rahman (60) berseri-seri saat Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid, dalam pidato perayaan 40 tahun Penerbit Obor, 26 September 2017, di Gedung LIPI Jakarta, mengatakan, pemerintah lewat Ditjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan membiayai penerbitan ”La Galigo” jilid 4-12. ”Akhirnya tidak harus cari-cari sponsor lagi,” kata Nurhayati.
Nurhayati nyaris menitikkan air mata. Selama lebih dari 25 tahun, hati dan perhatiannya tercurah pada La Galigo atau I La Galigo, naskah kuno dari Sulawesi Selatan. Naskah terpanjang di dunia, melebihi Mahabharata dan Odisseus. Panjang naskah La Galigo 360.000 bait, sedangkan Mahabharata 156.000 bait. Ditulis dalam bahasa Bugis kuno dengan huruf lontaraq tua, awalnya La Galigo berupa nyanyian yang dianggap keramat. Naskah itu menjadi saksi zaman tentang kehidupan sosial budaya orang Bugis kuno, menurut para ahli, ditulis dari abad ke-3 sampai ke-7.
Nurhayati, yang sering dipanggil Siti Galigo karena pengetahuan dan obsesinya pada La Galigo, bersyukur atas komitmen pemerintah. ”Artinya, kita bawa pulang kembali La Galigo ke tanah airnya,” ucapnya lirih.
Naskah itu sudah bertahun-tahun dikenal dunia, tersimpan rapi di Universitas Leiden, dan selama tujuh tahun (2004-2011) dipentaskan di 13 kota di sejumlah negara, sementara di tanah kelahirannya, Sulawesi Selatan, kurang dikenal. Berkat pementasan teater La Galigo yang disutradarai Robert Wilson, naskah dramaturgi ditulis Rhoda Grauder, serta produser Restu Imansari Kusumaningrum, Franco Laera, dan Elisabetta di Mambero, La Galigo menjadi milik dunia.
Untuk tiga penerbitan, yaitu tahun 1995, 2001, dan 2017, Indonesia baru terlibat pada penerbitan jilid 3. Menurut Nurhayati, jarak waktu dari penerbitan 1, 2, dan 3 selalu panjang karena menunggu sponsor. Dia berharap, komitmen Pemerintah Indonesia untuk penerbitan jilid 4 bisa berjalan lancar. Komitmen ini membuktikan pemerintah menghargai karya nenek moyang, akar peradaban bangsa, dengan membawa kembali ke Tanah Air.
”Proses editing bisa selesai dalam dua tahun,” kata Nurhayati. Dia menambahkan, dengan adanya komitmen pembiayaan proses penerbitan jilid 4-12, berarti penyelesaian dua pertiga dari seluruh naskah La Galigo kode NBG 188 (Nederlands Bijbelgenootschap atau Lembaga Alkitab Belanda) sudah beres. Nomor urut dibuat berdasarkan perutusan Benjamin Frederik Mattes yang menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Bugis dan Makassar pada abad ke-19. Naskah-naskah itu diserahkan ke NBG yang kemudian meminjamkannya kepada Perpustakaan Universitas Leiden. Naskah kode NBG 188 inilah yang ditranskrip, diterjemahkan, diedit, dan diterbitkan.
Terjadi kebetulan
Pada tahun 2011, La Galigo dinyatakan sebagai warisan dunia oleh UNESCO. Namun, pada umumnya orang hanya kenal dan bisa berkisah tentang Sawerigading, tokoh utama naskah La Galigo (I La Galigo). Masyarakat hanya melihat La Galigo sebagai nyanyian, bukan karya sastra yang unik dan berbeda.
Ditemani Basiah, bekas mahasiswa dan ko-editor buku jilid 3, Nurhayati berkisah tentang ketertarikannya pada La Galigo. ”Semua terjadi kebetulan. Lulus S-1 dari Fakultas Sastra Unhas (Universitas Hasanuddin), saya ambil S-2 Filologi di Universitas Padjadjaran. Untuk proposal penelitian, saya ambil salah satu episode La Galigo. Semua profesor senior sastra di Unhas tidak setuju. Mereka menganggap, ’La Galigo sangat rumit, kamu pasti tidak selesai, ambil yang lain’,” tutur Nurhayati.
Namun, tekadnya bulat. Saran dari para guru besarnya justru melecut semangat ibu dua anak ini. Naskah yang berisi tentang berbagai macam tradisi, norma, dan konsep kehidupan manusia dan masyarakat Bugis itu, menurut Nurhayati, perlu dilestarikan sebagai salah satu warisan dunia. Naskah itu menjadi karya sastra yang keindahannya terletak pada konvensi bahasa, sastra, metrum, dan alurnya.
Untuk penelitian itu, Nurhayati mendatangi orang-orang tua di Sulawesi Selatan yang masih bisa membaca huruf lontaraq kuno, huruf yang dipakai dalam bahasa Bugis. Selepas S-2, ada tawaran dari Dr Noorduyn Roger Tol, Direktur Perpustakaan KITLV Belanda, yang tengah menyusun kembali naskah-naskah La Galigo untuk diterbitkan sebagai buku.
Nurhayati dipanggil ke Leiden karena dinilai mampu menerjemahkan La Galigo ke dalam bahasa sastra. Sebagai ko-editor jilid 1 dan 2, Nurhayati ditugasi mengedit naskah yang sudah ditranskrip dan diterjemahkan oleh Muhammad Salim dan diedit oleh Fachruddin Ambo Enre yang sudah menyelesaikan tugasnya hingga jilid 12. Berkat bantuan redaksi Sirtjo Koolhof dan Roger Tol sebagai tim redaksi, terbitlah jilid 1 dan 2. Pada jilid 3, Nurhayati sebagai editor, Basiah sebagai ko-editor, dan redaksi Roger Tol.
Naskah La Galigo yang sebelumnya berbentuk lisan, terdiri atas 50 episode, disalin dan disusun oleh Retna Kencana Colliq Pujie Arung Pancana Toa (1812-1876), putra Raja Barru, Sulawesi Selatan, yang juga dikenal sebagai pejuang yang menulis banyak karya sastra. Naskah Arung Pancana Toa itu yang diproses untuk La Galigo jilid 1 sampai 12.
”Ini pekerjaan tidak mudah,” kata Nuhayati mengenang dua tahun bekerja di Leiden. Ia tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk membantu membahasakan dalam sastra saat mengambil program doktor di Universitas Leiden. Saat kembali ke Indonesia, dia melanjutkan kuliah di Filologi UI, lulus doktor dengan disertasi berjudul Sompeqna Sawerigading ke Tana Cina (Pelayaran Sawerigading ke Negeri Cina), salah satu episode La Galigo.
Untuk proses menerjemahkan jilid 4-12, Nurhayati menyiapkan generasi penerus. Dia memilih Basiah dan Faisal Oddang. Pilihannya pada Basiah karena memahami bahasa Bugis kuno dan sudah membantunya mengajar. Adapun Faisal dinilai sebagai penulis yang bisa menerjemahkan La Galigo menjadi kalimat sastrawi dan menarik layaknya novel.
”Sebab, pekerjaan terberat dalam menerjemahkan La Galigo adalah kami harus menyesuaikan kata per kata yang pernah diterjemahkan oleh pendahulu kami dengan naskah asli La Galigo dan menyusunnya menjadi bacaan yang enak dibaca. Saya menyiapkan dua generasi penerus karena pekerjaan ini masih panjang,” tutur Nurhayati.
***