TIGA HAL YANG MEMBUAT KAU SADAR
KETIKA MEMANDANGI SAKRAMEN MAHA KUDUS
Do(a)
Kidung yang Kau nyanyikan tertelan rapi dalam dada
Tak sadar bahwa buah terlarang
Telah kau santap dengan kenyang: kenyal di tenggorokanmu.
Kita pandai membohongi Tuhan
Dengan nada paling tinggi
Dalam Doa.
(Sy)ukur
Kau mengukur laut merah dengan berlari
Sampai lupa bahwa kau tengah berada di daratan.
Jangan lupa pulang ke rumahmu: sunyi.
Kita lupa caranya bertekuk
Dan mengecup kaki Tuhan
Tanpa rasa Syukur.
(P)ujian
Tubuh yang tergantung di puncak
Adalah tubuh yang kau santap dengan rakus.
Sampai kau lupa ada banyak orang
Yang tinggal di bawah kolong langit
Makan remah-remah yang jatuh di tong sampah.
Kita suka menyombongkan diri
Lupa bahwa
Apa yang kita santap
Adalah Makan Puji(an).
SEHABIS MEMBACA BUKU
BERJUDUL
PERJALANAN MENCARI TUHAN
Kau duduk sendiri
Melihat buku di atas meja berdebu
Covernya kau pandangi
Dengan sebelah matamu tertutup
Sambil mengaguminya.
Tertulis:
“Perjalanan Mencari Tuhan”
Kau sibuk membolak-balik
Namun tak ada Tuhan
Yang kau temui.
Setelah itu kau mengambil
Pembatas buku
Dan meletakkannya
Di halaman sepuluh.
Terlalu asyik membacanya:
Matamu penuh gigil
Lehermu keram
Dan kepalamu pening.
Kepada penulisnya kau berkata:
“Sebelum aku menuntaskan isi bukumu
aku ingin marah padamu”
Di halaman pertama:
Aku menemui Tuhan yang abstrak
Dan seterusnya:
Tuhan tak pernah aku temui.
Sesudah kau habis membacanya
Tepat di halaman terakhir
Matamu berdebu
Sakit leher
Dan kepalamu berisi.
Credo: “Tuhan itu Ada
sebelum Kau membaca habis buku ini”.
Teruntuk penulisnya Kau berkata;
“Kau sungguh seorang penyair ulung
yang lahir dari rahim teramat hening”.
ELEGI TUBUH
(Mengenang Para Penderita HIV/AIDS)
Malam adalah waktu panjang
Yang asyik kelahi di ranjang
Dan tubuhmu adalah kenisah putih
Teramat suci
Malam ini aku ingin
Tidur pada aroma tubuh
Yang harum mewangi
Semerbak mawar
Yang tak pernah tawar
Ingin kupeluk lekuk punggungmu
Sambil menjamah pangkal ujung bawahmu
Selebihnya desahan beradu
Pada detakan jarum waktu
Tepat di sepertiga malam
Bulan membasahi seluruh
Tubuh kita yang tak pernah tabah
Merangkul kepedihan
Sesudah itu waktu terus menggusur
Dan tubuh kita mulai uzur
Perlahan-lahan mulai mengusut
Dalam kelabu
Kita merapal doa
Yang terbata-bata:
“Sebab tubuh adalah Elegi Rindu yang teramat sendu”
Kau dan Aku meninggalkan tubuh yang tandus.
PERIHAL SETIA
Dear Gabriella…
Jika mencintaimu adalah rasa yang paling lara,
biarlah aku kekalkan rindu dalam doa yang tiada tara,
biar sampai pada gendang telingamu.
Sebab cinta selalu patah
pada rancak-rancak daun yang jatuh dihempas angin.
Perihal Setia, jangan kau tanyakan pada Tuhan.
Mari duduklah denganku,
biar kusuguhkan puisi yang ranum dari bibir
Bahwa setia adalah rasa yang tiada mendua.
Sebab dalam hatimu telah kutemukan Tuhan yang setia mengamini puisi-puisiku.
Dalam pintaku, cukupkanlah setiamu kepada Tuhan, selebihnya terserah padamu.
Sebab tak selamanya kecupan selalu berakhir dengan pengkhianatan.
***
Adrian Balu, seorang peminat sastra, kelahiran Kota Kupang, NTT. Pernah mengikuti Tetralogi menulis bareng bersama Penerbit Palaray Media dalam Antologi Puisi Berjudul Teragak (2020). Selain itu, puisi-puisinya sudah dimuat di beberapa media dan dibukukan dalam beberapa buku Antologi, bersama Pramedia (Menguak Kenangan, 2020), dll.
Hai… Aq Amelia. Salam kenal. Aq juga tinggal di Kupang. Btw, kita ternyata satu tim di Tim Rindu ya…