: Menikmati puisi Derai-Derai Cemara karya Chairil Anwar
Dari semua yang tumbuh di halaman rumah Pakde Banjir, ada satu pohon yang paling menarik perhatian Abdun. Bukan pohon mangga yang sedang ranum buah-buahnya. Bukan pula pohon nangka yang buahnya seukuran badan kambing ingonan-nya. Tapi, pohon cemara. Tak berbuah. Tak terlalu tinggi juga. Hanya seukuran tiang bendera. Batangnya pun terbilang kecil. Tak seperti pohon-pohon cemara yang tumbuh di tanah pegunungan. Menjulang, seperti hendak menggapai langit.
Sembari menunggu si empunya rumah, Abdun terus mengarahkan matanya ke pohon itu. Tak bosan-bosannya. Padahal, tak terhitung lagi dia pergi mengunjungi Pakde Banjir. Duduk di beranda. Di kursi kayu yang sama. Memandang ke arah yang sama. Dan cemara itu terlihat seperti tak banyak berubah. Mungkin karena tanah dataran rendah kurang cocok dengan pertumbuhannya. Sehingga sejak dulu terlihat begitu-begitu saja.
Meskipun begitu, Abdun tak menjadikannya sebagai masalah. Perhatian dan rasa antusiasnya tak pernah berkurang. Barangkali, hal ini karena pohon tersebut adalah satu-satunya cemara yang tumbuh di kampungnya.
Memang, banyak yang mengamini bahwa sesuatu yang langka memiliki nilai lebih dibanding sesuatu yang umum lainnya. Akan tetapi, ketertarikan Abdun pada pohon cemara bukan lantaran keberadaannya yang langka.
Entah, apa itu. Abdun hanya tahu, bahwa setiap kali melihat pohon cemara, pikirannya selalu melompat pada sesuatu yang sangat bernilai. yang luhur, yang tinggi, yang melahirkan rasa khidmat dalam dirinya. Cemara yang tumbuh meruncing ke atas, mengingatkan Abdun pada orang-orang yang mengarahkan hidupnya kepada Tuhan. Begitu pula usaha-usaha (riyadlah) mendekatkan diri pada Tuhan.
Mengenai pikirannya itu, Mas Nur, putra sulung Pakde Banjir yang menyukai dan menulis puisi, hanya mengiya-iyakan kepala usai mendengarnya. Seperti mendapatkan pemahaman lain yang baru, yang berbeda dari apa yang selama ini mengendap dalam pikirannya.
Bagi Mas Nur, pohon cemara seperti menggambarkan jalan hidup kalangan penyair. Misalnya, Chairil Anwar—yang posternya kerap tergantung pada dinding kamar para penyair generasi berikutnya—. Jalan hidup yang cenderung bohemian, tak peduli pada sesuatu yang berharga di mata umum, tak pusing penilaian orang. Karena bagi mereka, satu-satunya yang berharga adalah keyakinan dan jalan hidup yang dipilihnya. Menjadi penyair, yang menyusuri jalan puisi.
Namun, dalam percakapan ringan pada senja yang damai itu, Mas Nur hanya diam. Tidak mengungkapkan pikirannya itu. Hanya ingin mendengar, dengan sesekali mengorek pengetahuan dari Kang Abdun. Laki-laki sederhana berusia sepuluh tahunan di atasnya itu, selalu saja menumbuhkan rasa hormat ketika berhadapan dengannya.
Dua penafsiran dari gambaran pohon cemara di atas, yaitu: pertama, keyakinan dan kesetiaan menjalani kehidupan yang menjadi pilihan; kedua, pengakuan dan jalan menuju Dzat yang menguasai hidup manusia, agaknya juga menjadi poin utama dari puisi “Derai-Derai Cemara” karya Chairil Anwar. Secara lengkap dituliskan sebagai berikut:
Derai-Derai Cemara
Cemara menderai sampai jauh
Terasa hari akan jadi malam
Ada beberapa dahan ditingkap merapuh
Dipukul angin yang terpendam
Aku sekarang orangnya bisa tahan
Sudah berapa waktu bukan kanak lagi
Tapi dulu memang ada satu bahan
Yang bukan dasar perhitungan kini
Hidup hanya menunda kekalahan
Tambah terasing dari cinta sekolah rendah
Dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
Sebelum pada akhirnya kita menyerah
***
Pada puisi di atas, cemara merupakan diksi kunci. Pohon berbatang tinggi, tegak lurus, berdaun kecil seperti lidi, dan mudah terhempas angin. Tumbuh subur di daerah perbukitan atau dataran tinggi. Namun, poin utama dari cemara pada puisi ini, merefleksikan kehidupan orang-orang memilih jalan hidup yang dipilih bersama keyakinan atas pilihannya, sebagaimana telah diungkapkan sedikit di atas.
Jalan hidup yang tak sederhana. Juga sepi. Penuh dengan pergolakan batin. Terus menerus berjibaku dalam perjuangan eksistensinya, dimana pada pengalaman-pengalaman tertentu, dia akan berhadapan dengan dirinya. Mempertanyakan kembali pilihan-pilihan dalam hidupnya. Kehidupan yang kian jauh bersama waktu, digambarkan dalam ungkapan… Cemara menderai sampai jauh/.
Ada jarak yang terbentang. Jauh. Entah, sejauh apa. Terkait waktu, barangkali yang paling jauh adalah masa lalu. Meskipun, tak pernah meninggalkan manusia. Bahkan menjadi ruang bangun pribadi seseorang. Dan yang paling dekat adalah hari-hati yang akan datang, yang sekaligus mengandung batas hidup manusia. Kematian yang tak terelakkan.
Gambaran waktu yang kian dekat pada kematian, diungkapkan,… Terasa hari akan jadi malam/, yang menjadi batas manusia menerjemahkan diri bersama matahari. Malam yang umum menjadi waktu manusia untuk tidur. Bahkan, tidur dengan tenang.
Kemudian pada jarak waktu yang jauh dengan masa lalu dan perasaan yang kian dekat dengan batas waktu di depan, seseorang akan melihat kembali perjalanan hidupnya. Menemukan… Ada beberapa dahan ditingkap merapuh/ Dipukul angin yang terpendam/.
Beberapa cita-cita dan keinginan terkait sesuatu, gagal dan tanggal dalam hidupnya. Mungkin juga, dia mendapati usaha dan perjuangan terus-menerus dalam mewujudkan eksistensi terasa kian melemah. Terasa semakin tak berdaya di hadapan ketentuan takdir, yang rahasia bersama (angin yang terpendam).
Dan inilah pengakuan itu, bahwa… Aku sekarang orangnya bisa tahan/. Bisa—atau berusaha— menerima ketentuan yang digariskan-Nya. Karena… Sudah berapa waktu bukan kanak lagi/, yang menyiratkan berbagai pengalaman hidup, yang membuat (aku) seseorang menjadi lebih arif. Lebih bijaksana dalam memandang hidup. Berbeda dengan yang dulu.
Kemudian ungkapan,… Tapi dulu memang ada satu bahan/, menampilkan sebuah pemikiran yang bergolak, untuk terus menidak (tapi) dengan berbagai alasan yang dipegangnya. Pemikiran yang menjadi dasar atas pilihan hidup yang dijalani. Dari semua yang ada, barangkali filsafat eksistensialisme yang lebih cenderung menjadi spektrum pemikiran di masa muda, yang sarat dengan kebebasan, pembebasan diri, serta dalam proses mengejawantahkan menjadi diri sendiri bersama nilai-nilainya sendiri. Pemikiran (Yang) pada batas tertentu,… bukan dasar perhitungan kini/. Sekaligus menghadirkan fase pemikiran yang berikutnya.
Berbagai pengalaman hidup, agaknya menjadi pintu yang membuka pemahaman, bahwa… Hidup hanya menunda kekalahan/. Bersama rasa tak berdaya di hadapan kekuatan yang Maha Besar, yang menguasai hidup manusia. Berbagai kekalahan yang menjadikannya,…. Tambah terasing dari cinta sekolah rendah/. Dari cita-cita, harapan, dan kebahagiaan hidup yang pernah terbayang saat kecil dulu. Usia anak-anak yang pernah akrab dengan fase cinta monyet atau “dipacok-pacokno” (dijodoh-jodohkan) dengan teman satu kelas, satu sekolah.
Selanjutnya, ungkapan… Dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan/ Sebelum pada akhirnya kita menyerah//, agaknya menjadi pemahaman, pengakuan, dan kesaksian kepada-Nya. Hakikat Iman dalam diri manusia, yang tetap menjadi amaliyah batin (tetap tidak diucapkan). Iman yang menjadikan seseorang mendekat (menyerah) kepada-Nya.
Dari seluruhnya, ungkapan… kita menyerah//—pergeseran dari (aku) lirik ke (kita)— cukup mengusik, yang agaknya dimaksudkan sebagai pesan pamungkas dari puisi di atas, yaitu semacam spiritualisme-teistik.[*]
*) Ahmad Syauqi Sumbawi, sastrawan kelahiran Lamongan 28 April 1980. Menulis cerpen, puisi, novel, esai, kritik, dll. Sebagian karyanya dipublikasikan di media massa. Puisi-puisinya terkumpul dalam antologi: Dian Sastro For President; End of Trilogy (Insist, 2005), Malam Sastra Surabaya; MALSASA 2005 (FSB, 2005), Absurditas Rindu (2006), Khianat Waktu (DKL, 2006), Laki-Laki Tanpa Nama (DKL, 2007), Gemuruh Ruh (2007), Kabar Debu (DKL, 2008), Tabir Hujan (DKL, 2010), Darah di Bumi Syuhada (2013), Pesan Damai di Hari Jumat (2019), Menenun Rinai Hujan (2019). Dan beberapa cerpennya dapat dibaca pada kumpulan: Sepasang Bekicot Muda (Buku Laela, 2006), Bukit Kalam (DKL, 2015), Di Bawah Naungan Cahaya (Kemenag RI, 2016).
Sementara antologi tunggalnya: Tanpa Syahwat (Cerpen, 2006), Interlude di Remang Malam (Puisi, 2006), dan #2 (SastraNesia, Cerpen 2007). Novel-novelnya yang telah terbit: Dunia Kecil; Panggung & Omong Kosong (2007), Waktu; Di Pesisir Utara (2008), dan “9” (2020). Sedangkan bukunya dalam proses cetak ulang “#2,” dan Limapuluh (kumpulan puisi) segera hadir. Selain menulis, juga berkebun, dan mengelola Rumah Semesta Hikmah, dengan kajian dibidang sastra, agama dan budaya, di dusun Juwet, Doyomulyo, Kembangbahu, Lamongan. Blog pribadinya https://syauqisumbawi.blogspot.com/