SEORANG GANDRUNG

Taufiq Wr. Hidayat *

Mata laki-laki itu terpaku di situ. Duduk mematung di bilik bambu. Kulitnya dilabur waktu. Pagi yang tak berpeluh. Musim hujan. Butiran air dijatuhkan. Langit bagai menyiramkan segala kesal. Butiran air yang menempel di daunan berkilauan bagai kristal. Kang Muda’iyah melepaskan kesal bersama asap tembakau yang tebal. Istrinya, Mbok Natun, meletakkan kopi pahitnya di meja.

“Ada apa, Kang? Berhari murung kok tak pernah urung?”

“Lihat itu, orang-orang mengarak penggandrung di jalan raya. Kenapa mereka tak mendengarkan nasehat saya? Ini pertanda bencana!”

Kini asap tembakau yang tebal bercampur kekhawatiran, dan langit kembali menurunkan hujan.

Istri Kang Muda’iyah tak mengerti maksud suaminya ini. Dia hanya mengerti, bahwa pagi harus kopi. Memberi makan mentok dan memetiki dedaun sawi.

Kang Muda’iyah meminum kopinya. Mbok Natun menata daun-daun sawi muda. Kang Muda’iyah menyalakan tembakau. Butir hujan di daunan berkilau, mengundang pukau. Kang Muda’iyah berkata-kata. Dan di luar, hujan mereda. Tinggal gerimis yang manis, seperti juga tangis.

“Ini akan menjadi bencana. Sebab gandrung telah sirna. Tak ada gendhing yang kuat untuk melawan itikat jahat. Dan kerakusan yang mengarat. Gandrung sirna, sebab tariannya digelar di jalan raya. Penarinya siapa saja, tak mengerti semangat gerak diri dan gendhingnya. Lihatlah betapa guntur, pertanda pembelaan telah luntur. Kembang Menur yang “melik-melik ring bebentur”, disiram layu, sun petik mencirat ati. Sedih sekali.”

“Ketika gandrung hanya merundung. Maka nasib buruk berarak bagai mendung. Itulah nasib jaman. Siapa yang memegang kekuasaan, minum tuak dengan kerakusan. Akhir malam, Seblang menjadi karam. Karam dalam dendam yang sangat lebam. Kendang telah dikasetkan, dan kemaluan “diler” untuk memuaskan keserakahan. Agar tamu-tamu asing terhibur, kemudian kita menggali kubur. Hotel-hotel menjamur, dan gandrung pun hancur. Tambang emas mengeras, patung-patung berwarna kuning keras cadas.”

“Kita berjalan terlalu berani melanggar jatidiri. Tawanggalun dan Macanputih sunyi sendiri. Tak ada kisah ksatria yang dapat digali. Sebab kekuasaan mabuk pada dirinya sendiri. Dan sempoyongan diperbudak penambang emas dari luar negeri. Dan ketika kita lupa siapa diri sendiri. Maka menaklukkan Banyuwangi mudah sekali. Ditaklukkan oleh emas dan investasi yang menghisap orang-orang di tlatah “tirta” yang wangi ini.”

“Sering aku berharap, Tawangalun dan Mas Alit hidup lagi dan berdiri tegap. Menawarkan tangis dan ratap. Menenangkan mata-mata yang kalap. Lalu membuat perhitungan. Dan merobohkan kesewenang-wenangan. Kesewenangan yang halus, menjala harga diri ke dalam rakus yang bius. Agar para putra ini, generasi ini, tidak lupa masa lalu jati diri, agar tak bingung sendiri, agar tak pingsan dalam jala sutra yang lena tak terperih. Tawangalun, Mas Alit, Macanputih bukan khayalan, bukan masa lalu dalam buaian. Tapi masa depan!”

“Lihatlah! Orang-orang mempermalukan gandrung jiwa. Membanggakan kemiskinan pada Amerika. Duta Besar minum kopi dan pesta kalkun. Mengejek makna tradisi yang dijaga tekun. Bersama penguasa daerah yang bersolek rapi, orang-orang asing menghina kebanggaan tradisi. Dikabarkan mereka membawa dolar ke sini. Justru karena dolarlah kita tercaci maki. Dan meludahi harga diri sambil menari.”

“Ini pertanda buruk. Sebab watak jahat telah rasuk. Rasuk dalam jiwa penguasa. Penguasa yang memakan daging manusia sambil keliling kota dengan menjaya-menjaya. Ini alamat buruk. Datang bagai batuk-batuk.”

“Dengarlah, wahai istri. Banyuwangi ini memang telah ramai sekali. Namun benih yang kita semaikan, akan dipetik orang lain yang sengaja didatangkan. Tapi jangan takut. Karena kesadaran tak akan pernah sakit akut. “Lare angon, paculono gumuk iku. Tandurono kacang lanjaran. Sak unting kanggo perawan”. Tanamlah kacang-kacang harapan, kecil tapi kuat melewati kenyataan. Kesederhanaan. Agar dapat dipersembahkan buat sang perawan, dalam Seblang, dalam kemurnian.”

“Ini memang bencana. Bencana jiwa dan mental kita. Jiwa yang picik cakrawalanya. Mental yang kuli isinya. Tapi tetaplah berjalan. Dan tunggulah segala gerakan itu di Paseban. Ketika di Paseban yang penuh tenun, kau saksikan orang-orang pesta kalkun. Penguasa asik makan dan minum. Dan musik asing berdebum-debum. Diam-diam hunuslah keris-keris masa depan dengan hati yang kuat mengalun. Keris Mas Alit pewaris Tawangalun.”

“Gendam gendis buyar abyur! Kekuatan leluhur, berpusat ke satu jalur. Menumbangkan keangkuhan. Pada pilihan: Mereka yang tumbang atau kita sendiri yang bersiap untuk dipendam dalam-dalam di jurang jaman yang kelam.”

Kang Muda’iyah berdiri. Langit menumpahkan hujan lagi. Kilat dan petir. Hati yang getir. Dan hujan yang datang itu, membawa bayang-bayang masa lalu yang hampir lalu. Hampir jatuh ke situ. Ke selokan waktu yang bisu.

2014-2020


*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *