WALI ULO

Taufiq Wr. Hidayat *

Seseorang yang bernama Kisemaur mengisahkan perihal orang yang disebut Wali Ulo. Bagi saya, kisah Kisemaur itu bukan cerita baru. Ia mengisahkan kembali kisah-kisah lama yang pernah didengarnya ketika menjadi santri dulu. Sekarang Kisemaur sudah tidak nyantri lagi. Umurnya hampir 50 tahun. Tapi gerahamnya kokoh, besar, dan giginya masih kuat menghaluskan jagung goreng.

Meski dia bernama Kisemaur sejak kecil, ternyata dia bukan orang Jawa. Melainkan orang Madura, orangtuanya berasal dari Sumenep. Merantau ke Banyuwangi, menikah dengan perempuan Banyuwangi, lalu lahirlah anak semata wayang yang kemudian diberi nama Kisemaur. Bibirnya tebal dan hitam. Jari-jari tangannya besar-besar. Tapi lincah memainkan gitar seperti Alip Ba Ta. Siapa kira, Kisemaur adalah ahli Balaghoh. Akan tetapi, dia tidak pernah menjadi pembicara perihal tafsir. Sehari-hari Kisemaur adalah pedagang bawang dan bumbu-bumbu dapur. Ia mengulak bahan-bahan dari petani, lalu dijual di pasar Sabtu di desanya. Untuk itu, ia memakai mobil pick-up jadul, tapi masih kokoh dan tidak gampang macet. Itu lantaran Kisemaur memiliki kepandaian memelihara dan membongkar-pasang mesin mobil.

Setiap pagi, sambil menjual bumbu-bumbu dapur dari atas pick-up-nya, ia meminum kopi. Kopinya hitam, hanya memakai sedikit gula. Ia gemar kopi Arabika. Saya sering berbincang dengan Kisemaur. Mendengarkan cerita-ceritanya yang aneh, tapi menarik.

Dikisahkan langsung dari lisan Kisemaur kepada saya pagi itu, bahwa ada seorang gembala yang lebih agung kedudukannya dari seorang nabi. Menurut Kisemaur, gembala itu menjadi sosok yang keagungannya melampaui keagungan seorang nabi, lantaran ia diam saja ketika ditegur seorang nabi. Suatu hari, Nabi Musa mendengarkan doa sang gembala tersebut. Sebagaimana disampaikan Kisemaur waktu mengupas bawang merah, sang gembala berdoa. Adapun doanya adalah sebagai berikut:

“Ya Tuhan yang maha esa. Di mana Engkau. Aku ingin menyediakan makan buat-Mu, agar Kau tidak kelaparan. Mengadukkan segelas susu bagi-Mu, agar Kau tidak kehausan. Menjahitkan baju-Mu. Dan menyediakan tempat tidur yang hangat buat-Mu, agar Kau dapat beristirahat melepaskan lelah-Mu mengurus dunia. Amen..”

Nabi Musa menegur sang gembala.

“Wahai Sang Gembala! Doamu salah total! Tuhan tidak membutuhkan makan dan minum. Tuhan tidak tidur. Anggapanmu kepada Tuhan telah menyalahi akidah. Hentikan doamu!”

Sang gembala diam. Menghentikan doanya. Lalu kembali menggiring domba-dombanya. Nabi Musa melanjutkan perjalanan sucinya ke puncak bukit. Menghadap Tuhan. Kisemaur melanjutkan kisahnya. Menurut Kisemaur, giliran Nabi Musa ditegur Tuhan.

“Musa, kenapa kamu tegur doa sang gembala tadi?”

“Ampun, Tuhan. Doanya tergolong doa sembarangan. Dia mengira-Mu butuh tidur, makan, dan minum. Bukankah itu melanggar akidah?”

“Dengar, Musa. Bukan kata-kata dari doa sang gembala yang aku utamakan dan Aku lihat. Yang Aku utamakan dan Aku lihat adalah hati yang mengucapkan doanya dengan ketulusan. Sekarang kembalilah kamu padanya. Minta maaf padanya.”

“Ampun, Tuhan.”

“Lantas apakah Nabi Musa kemudian mencari sang gembala?” tanya saya.

Kisemaur tertawa.

“Hahaha! Apakah Nabi Musa berani melanggar perintah Tuhan? Mana mungkin dia berani, meski pikirannya galau!” ujar Kisemaur.

Setelah mengepulkan asap rokoknya, Kisemaur melanjutkan.

“Maafkan aku, wahai Sang Gembala. Kembalilah berdoa seperti doamu tadi, ucapkanlah kata-kata doamu. Tuhan berkenan menerimanya,” ujar Nabi Musa.

Tapi sang gembala tak menjawab. Dia diam saja. Menatap domba-domba. Dia menuding-nuding, memberikan isyarat dengan jarinya. Menurut Kisemaur, sang gembala tiba-tiba menjadi bisu. Nabi Musa heran. Ia kembali menghadap Tuhan.

“Tuhan, perintah-Mu telah aku tunaikan. Aku menemui sang gembala untuk menyampaikan perkenan-Mu atas doanya itu. Tapi sang gembala telah menjadi bisu. Kenapa seketika dia menjadi bisu?”

“Musa, kebijaksanaanmu tak sampai pada kebijaksanaan sang gembala itu. Ia tak lagi membutuhkan kata-kata untuk menyampaikan maksud hatinya kepada-Ku. Sedangkan kamu masih membutuhkan kata-kata untuk dapat mengerti perintah-Ku dan untuk menyampaikan pengaduanmu kepada-Ku.”

Menurut Kisemaur—sebagaimana dikisahkan dalam kitab kuno yang mashur, Nabi Musa tertunduk. Ia menyadari betapa lebih agung kebijaksanaan sang gembala itu dari kebijaksanaan kenabiannya.

“Itu kisah menarik, bukan?” kata Kisemaur sambil menghirup kopinya.

“Di mana letak menariknya?” tanya saya.

“Kita masih membutuhkan keluhan orang lain agar hati tergerak untuk memperhatikannya. Kita masih membutuhkan begitu banyak ungkapan hanya sekadar untuk mengerti kebutuhan dan penderitaan sesama. Kita tak sampai pada kebijaksanaan sang gembala, yang membisu dalam menyampaikan maksudnya. Dan membisu serta tak membutuhkan kata-kata dalam memahami kebutuhan domba-dombanya, ia tak perlu domba-dombanya berkata-kata untuk sekadar mengerti apakah domba-domba itu haus, lapar, dan kelelahan.”
***

Pada sekali waktu, Kisemaur mengisahkan perihal orang yang bernama Wali Ulo. Orang itu orang Jawa, hidup di Jawa. Disebut Wali Ulo karena ia memelihara ular piton di rumahnya. Ular itu dimasukkan ke dalam kotak kayu, dibawanya ke pasar-pasar. Dia menjual jamu pegal linu dan impotensi. Membual. Wali Ulo menyampaikan, bahwa dalam kotak kayunya terdapat ular piton, ular piton yang ganas. Dia menawarkan jalan keluar, yakni menyulap daun-daun menjadi uang. Menyatakan mampu memantrai keadaan supaya menjadi baik-baik saja, dan dapat meramalkan masa depan. Wali Ulo juga menyatakan, bahwa segala tindakannya yang tidak masuk akal harap dimaklumi, karena semua tindakannya adalah tindakan yang diperintahkan Tuhan kepadanya. Dia menyatakan tahu di mana dan bagaimana menemukan Tuhan dan Nabi Khidir. Sebagai orang yang dipanggil Wali Ulo, dia tahu bagaimana kebutuhan seekor ular setiap harinya.

“Wali Ulo itu pembual. Dia gemar mengundang grup musik supaya manggung, tapi dengan bayaran surga kelak. Dan menegaskan, segala perbuatan harus ikhlas,” ujar Kisemaur.

“Apakah orang yang bernama Wali Ulo dalam kisah Anda itu terdapat dalam kitab-kitab kuno?” tanya saya.

“Wali Ulo tidak pernah ada dalam kitab-kitab kuno.”

“Lalu dari mana Anda dapatkan kisah perihal Wali Ulo itu?”

“Dari saya sendiri. Wali Ulo itu tetangga saya! Hahaha!”

“Hahaha! Jadi Wali Ulo tidak terdapat dalam kitab kuno dan ayat suci?”

“Tidak ada. Tapi kamu harus tahu, Wali Ulo itu anak seorang tokoh agama, bapaknya banyak tanahnya. Begitu lahir, Wali Ulo langsung pakai jaket. Langsung mapan. Dan aman. Orang yang usianya lebih tua harus bicara menggunakan unggah-ungguh, sedang dia sendiri kalau bicara sama orang yang lebih tua dari usianya tidak pakai unggah-ungguh. Karena dia dianggap “putra mahkota”, pembawaannya selalu ingin dan harus dilayani, dihormati dan dijunjung. Tapi dia tidak mau menghormati orang lain. Semua orang disuruhnya tulus dan mengabdi kepadanya. Maunya enak sendiri. Ketika harta warisan orangtuanya habis, dia hidup sengsara. Menjadi penjual obat di jalanan, mengoceh ke barat dan ke timur, kalau menasehati orang paling jago. Kalau bicara seenak udelnya. Sekarang yang bisa dia lakukan hanya membual, memelihara ular piton. Sehingga disebut Wali Ulo. Apa sebutan lain dari Wali Ulo?”

“Apa sebutan lainnya, Kisemaur?” tanya saya.

“Sebutan lain dari Wali Ulo adalah “jancuk”. Tahu, jancuk?! Hahaha!”

Kisemaur tertawa. Giginya putih seperti tawanya. Tapi kopinya tetap hitam pekat seperti bibirnya.

Gumuk Angin, Tembokrejo, 2020


*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *