6-7 Pentigraf Siwi Dwi Saputro

6. Perempuan Pemecah Batu Di Kaki Gunung Merapi

“116. Seorang pemecah batu harus tahu serat-serat batu.”

Dari Perempuan itu, yang selalu memecah batu-batu, di sepanjang jalan menuju Kinahrejo, di kaki lereng Merapi, aku belajar banyak. “Kau harus tahu serat-seratnya” katanya pada suatu senja, ketika bunga-bunga mulai menebarkan wangi yang tak biasa. Kabut pun turun. Bunga kopi mengajakku menari bersama harumnya. Meliar aku.

Dari Lelaki di cerita yang ada di buku perempuan itu, aku belajar membaca hati. Hati manusia, terutama hati laki-laki, karena dia lawan sepadan yang kadang memang harus kutundukkan, baik dengan cara-cara halus maupun kekerasan.

Memecah batu dan membaca hati, aku sudah ahli. Aku merasa menjadi kampiun di bidangku, hingga aku tiba pada stigma jumawa. Nyatanya, terhadap Lelaki satu itu, aku tak pernah mampu membaca dan memecah serat hatinya. Dia terlalu lihai, karena dia pembaca yang unggul, bahkan terhadap hati sebuah arca.

SDS. 04.01.2021

7. Dipetik Tidak Mau, Ingin Dengan Sendirinya Dia Gugur

“48. Bagaimana aku sebut orang yang kucintai, sedangkan dia tak ingin dicintai?”

Tak ada yang lebih menyakitkan dari sebuah pengingkaran. Penipuan. Aku tak tahu lagi siapa yang ingkar, siapa yang tertipu. Pagi hari ketika hangat mentari sedang merangkak naik, bunga mawar di pojokan rumahnya mulai mendongak. Ia ingin mengabarkan pada dunia dan menebarkan harumnya.

Seorang gadis remaja yang sedang berkemah di lapangan seberang rumahnya, berjalan kearah seorang pemuda ranum, pemilik rumah yang kebetulan menjadi tempat umum, dimana anak-anak sekolah yang sedang berkemah itu boleh menumpang mandi.

Perkenalan yang menyisakan luka. Sang perjaka terlanjur cinta, tapi tak ada ijin nama gadis itu untuk disebutnya. Mawar di pojokan rumahnya masih pohon mawar yang sama. Dia selalu mendongakkan tangkai dan kelopaknya, menantang yang memandang agar ia diperhatikan. Bayu membantu mawar untuk menggeleng, ketika sang perjaka ingin menyentuhnya. Sang perjaka menyerah, dalam desahnya kabar yang dibawa burung sampai ke telinga sang gadis. “Dipetik tidak mau, ingin dengan sendirinya dia gugur”

SDS. 05.01.2021

Keterangan:
* Kalimat pembuka yang bertanda petik merupakan “Ujaran-Ujaran Hidup Sang Pujangga,” yakni sebuah kitab kumpulan kata mutiara yang ditulis Nurel Javissyarqi selama 10 tahun (1994-2004), cetakan ke IV, Desember 2020 oleh Penerbit PUstaka puJAngga dan Pustaka Ilalang, Lamongan.

Sebelumnya: http://sastra-indonesia.com/2021/01/dua-pentigraf-siwi-dwi-saputro/

One Reply to “6-7 Pentigraf Siwi Dwi Saputro”

Leave a Reply

Bahasa »