BUKU LAMA DAN LAYANG-LAYANG

Sunu Wasono

Saat lagi beres-beres buku, awak menemukan buku lama, buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk kelas III SD. Buku ini dicetak pada tahun 1975 (saat itu awak sudah duduk di bangku SMA kelas 2). Menarik juga mempelajari kembali buku lama. Ada diksi yang kurang awak pahami, misalnya buah peria. Setelah awak cek di kamus, ternyata kata itu ada di KBBI. Malah di kamus dicontohkan peribahasa yang bunyinya begini: “Pucuk diremas dengan santan, urat direndam dengan tengguli, lamun buah peria pahit juga.” Adapun maknanya ‘orang yang tabiatnya jahat, sekalipun diberi kekayaan dan pangkat, sifatnya tak akan berubah’ (KBBI, Edisi Keempat, Tahun 2008, hlm. 1055).

Di samping kata itu, ada sejumlah kata/gabungan kata lain yang kini mungkin kurang dikenal, seperti tembilang, tajak, dan layang-layang betina. Topik teks bacaannya lumayan beragam: ada yang berkaitan dengan alam (banjir), transportasi (stasiun dan kereta), komunikasi (kantor pos), pertanian dengan hal-hal yang terkait dengannya (sawah, kerbau, gotong-royong), permainan dan kesukaan (layang-layang), dan lain-lainnya.

Satu hal yang awak masih kurang paham ketika awak menemukan ungkapan “…sawahnya sepuluh piring telah rusak semua dilanggar banjir!” di dalam buku ini. Kata “dilanggar” dalam kalimat itu dengan mudah dapat diketahui maknanya. Namun tidak dengan kata “piring”. Di benak awak, piring itu wadah nasi atau tempat menaruh nasi yang akan dimakan. Ternyata kata itu bisa juga bermakna ‘petak’, dan makna itu bisa ditemukan di KBBI (hlm. 1080). “Boleh juga ini buku,” gumam awak dalam hati. Awak baru sadar bahwa salah satu penyusun buku ini adalah pekamus kondang WJS Poerwadarminta (penyusun lainnya adalah BM Nur dan Drs. Jazir Burhan). Pantesan. Tapi untuk gabungan kata “layang-layang betina,” sejujurnya awak belum paham apa landasan pembentukan frase itu.

Dulu waktu awak masih kanak-kanak, layang-layang yang ada sirip dan ekornya itu diberi nama layangan saja. Untuk yang polos (tak dihias apa pun), namanya layangan kodokan, sedangkan layang-layang yang dilengkapi dengan alat yang bisa menghasilkan bunyi ketika tertiup angin disebut layangan bapangan. Nama-nama itu berlaku di kampung awak (juga kampungnya Lik Mukidi), kampung Nglempung, Eromoko, Wonogiri. Entahlah di kampung lain.

Mau meneruskan “bualan” rasanya kok capek. Buku ini sedikit berdebu dan membuat awak dari tadi bersin terus. Hadeeuuh. (Tapi bukan salah bukunya. Salah awak sendiri karena tak merawat dengan baik). Lagipula dari belakang–gara-gara bersin itu–sudah ada yang berteriak agar awak tak masuk ke dalam rumah dulu. “Nulari yang lain,” teriaknya. Karena itu, cukup sekian saja. Tabik.


6 Januari 2021

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *