Taufiq Wr. Hidayat *
Dalam sebuah lagu dangdut lama, dijeritkan suara hati yang terluka. Yang menderita karena rindu, dan karena cinta.
…
Mengapa kau tak merasa
Yang aku derita?
Dalam aku termenung
Hidupku tersiksa
Tak dapat kulupakan
Meskipun kau jauh
Bilakah engkau datang
Hai kekasihku
…
Begitu lirik dangdut berjudul “Termenung”, dinyanyikan Ida Laela, si pemilik suara merana yang melegenda melalui “Keagungan Tuhan” karya A. Malik BZ (1965), menyanyikan dangdut pertamanya dalam Orkes Musik (OM) Sinar Kumala Surabaya. Tak hanya dalam sebuah kisah asmara, manusia menderita, terluka, merana, terlunta-lunta. Tetapi sesungguhnya dalam segenap perjalanan hidupnya, manusia menderita. Terlunta dalam belantara kefanaan. Meskipun toh manusia itu sendirilah yang menertawakan penderitaannya sebagai komedi tragis bagai dalam kisah-kisah Shakespeare, absurditas seolah lakon-lakon Beckett, atau kepahitan dalam film-film bisu Charlie Chaplin yang kelam dan lucu. Dari kepahitan demi kepahitan itu, manusia memikirkan cara untuk menyiasati kefanaan. Bagi kaum beragama, begitu kiranya “akal ilahi” bekerja dalam diri manusia. Hasrat kekal dalam diri manusia, membuatnya menciptakan aneka upaya mengatasi segenap kepahitan dan kesulitan hidupnya. Apa yang disebut sebagai sumber peradaban oleh Arnold J Toynbee dalam teori peradabannya.
Namun siapakah yang sesungguhnya menderita? Dan siapa pemilik penderitaan sejati? Jika pertanyaan ini kita arifi dengan pandangan kemanusiaan, maka tak lain yang menderita sesungguhnya jiwa sebagai si empunya kehidupan. Bagi Ibn Arabi, sejatinya Tuhanlah sang maha-menderita dan sang maha-pemilik-segala-derita. Bahwa segala duka-derita manusia, toh kembali kepada-Nya jua. Duka-derita itu bersujud sebagai hamba, Tuhan menerimanya dengan ampunan dan kasih-sayang-Nya yang tak terjelaskan. Dengan begitu, sejatinya Tuhan berkorban buat makhluk-Nya yang paling berharga, yakni manusia. Tanpa berkorban, betapa sudah layak Tuhan menghancurkan manusia karena kekejian dan kelalaiannya. Karena Dia berkorban buat segala ciptaan-Nya, maka kehidupan terus berlanjut sampai entah. Itulah agaknya yang diyakini Isa al-Masih, mengorbankan diri bagi penebusan dosa. Demi menjelma Tuhan ke dalam sejarah. Apa yang pernah diajarkan Nabi Ibrahim, yakni dengan pengorbanannya untuk menebus derita dosa manusia yang tak berdaya dan dilemahkan dunia. Bahwa sejatinya manusia seperti Tuhan, tetapi ia bukan Tuhan. Melainkan manusia yang berperilaku meneladani Tuhan melalui segala gambaran teladan para utusan, ialah manusia yang sesungguhnya menderita, berduka lara. Sehingga dengan begitu, ia sanggup merasakan lezatnya kebahagiaan. Apa yang sesungguhnya tak mudah ditirukan, tapi yang selalu melekat sebagai takdir dalam diri manusia. Dalam istilah ajaran Islam disebut “takhallaqu bi akhlaqillah”. Berakhlak dengan akhlak ketuhanan. Sebuah pandangan dan sikap humanis yang membuat manusia sanggup melewati kesulitan, derita, dan malapetaka dengan harapan dan keyakinan, ialah dengan menginternalisasi sifat dan nama-nama Tuhan yang mulia dalam jiwa-raga. Memelihara diri dan sesamanya ke dalam sebuah ruang abadi, yang disebut para penyair sebagai “ruang cinta”. Rupa-rupanya itu barangkali yang menggerakkan Sapardi Djoko Damono menulis “Duka-Mu Abadi” (1969).
Atas keberadaan manusia yang menakjubkan, tetapi yang ganjil dan seringkali gagal dijelaskan itu, malaikat dan iblis pun iri. Iblis yang selamanya melanggar, iri melihat manusia yang dapat taat. Malaikat yang selamanya taat, iri melihat manusia melakukan kesalahan dan pelanggaran. Kenyataan unik dan sering bikin ribut ini, terjadi dalam film “Constantine” (2005) garapan Francis Lawrence dengan cerita Kevin Brodbin. Constantine adalah tokoh dalam komik Hellblazer karya Alan Moore. John Constantine mempunyai keahlian alamiah dapat melihat dan merasakan kedatangan malaikat atau iblis yang menjelma manusia. John Constantine yang perokok berat itu dimainkan oleh Keanu Reaves, yang dikenal karib sebagai si John Wick yang dingin, nekat, dan tak punya sopan santun. Tetapi dalam film ini, ia ditemani si cantik Rachel Weisz, perempuan berbibir mungil yang seakan pasrah dilumatkan selumat-lumatnya.
Gabriel sebagai malaikat melakukan pengkhianatan kepada Tuhan guna meloloskan iblis ke bumi. John Constantine menghalanginya. John Constantine adalah manusia yang pernah ke neraka karena bunuh diri oleh keputus-asaan, sebelumnya telah divonis Gabriel masuk neraka. Tapi bukan wewenang malaikat menentukan nasib surga dan nasib neraka manusia. Pada akhir film, Constantine ternyata mampu diterima Tuhan ke surga. Constantine sanggup membuktikan keimanannya kepada Tuhan dengan pengorbanan. Ia melakukan bunuh diri kedua kali, tapi kali ini bukan karena keputus-asaan, melainkan pengorbanan diri demi menyelamatkan manusia lain. Ia meniru Tuhan!
Gabriel merasa iri kepada manusia, sehingga ia membantu meloloskan iblis ke dunia agar menyiksa manusia, menjadikan dunia neraka semata. Dalam pandangan Gabriel, alangkah beruntungnya manusia. Mereka melakukan kekejian, pembunuhan, pemerkosaan, penindasan, atau kejahatan yang melampaui batas dan menjijikkan sepanjang sejarah. Bahkan manusia telah menghina-Nya dengan menyia-nyiakan hidupnya, menganiaya dirinya sendiri, melanggar-Nya bertubi-tubi, ada yang bahkan terang-terangan tidak memercayai keberadaan-Nya. Namun tatkala manusia tersungkur akibat perbuatan jahatnya sendiri yang menimbulkan malapetaka di hadapan Tuhan, mengiba, menyesal, dan sekarat berharap pada-Nya, amat sangat singkat sekali dan dengan suka rela Tuhan mengampuninya, menerimanya dengan sepenuh rindu dan cinta. Sedangkan malaikat yang tak pernah sekali pun melanggar-Nya seumur hidup—berabad-abad dalam sejarah hanyalah kepatuhan totalitas pada-Nya meski beban-beban berat dipikulkan padanya, tak mendapatkan perlakuan istimewa sebagaimana yang didapatkan manusia-manusia berdosa yang tersungkur penuh kehinaan itu. Ini tidak adil, pikir Gabriel.
Setelah selesai menonton film “Constantine” itu, hujan turun ringan di bulan Januari. Di dalam film tersebut barangkali Gabriel lupa, ia tak mungkin bisa merasakan penderitaan seperti manusia yang menyadari kekeliruan lalu kembali pada-Nya dalam ketakberdayaan, lantaran segenap hidupnya hanyalah kepatuhan belaka. Sedang manusia, tidak demikian adanya. Iblis pun tak sadar, ia tak mungkin merasakan penyesalan seperti yang dirasakan manusia yang selalu ingin lepas dari penderitaan, lantaran seluruh hidupnya hanyalah pelanggaran belaka. Manusia tidak begitu. Manusia adalah iblis dan malaikat sekaligus. Tetapi juga bukan kedua-duanya.
Manusia memang makhluk yang menderita. Ia sangat lemah. Tetapi ia yang paling sempurna. Ia dapat menemukan batas dan beda antara yang nyata dan yang tak nyata. Atau menguraikan alasan dari segala peristiwa. Seorang manusia tiba-tiba terperanjat ketika mendapati dirinya bangun di pagi hari telah berubah menjadi seekor kecoak dalam cerita Frans Kafka. Betapa absurd sesungguhnya. Tetapi segala dalam diri manusia dan hidupnya, orang bukan yang tak pernah bisa menerima kenyataan sebagaimana iblis dan malaikat. Dengan deritanya, ia menemukan kebahagiaan. Itulah barangkali sebabnya, utusan-utusan Tuhan selalu mengutuk mereka yang melimpah, namun tak peduli dan membiarkan penderitaan sesamanya. Mereka yang bahagia sendiri, mengasihani dirinya sendiri, dan menutup diri pada penderitaan. Sehingga derita tanpa cinta, membuat ketimpangan yang curam dalam kehidupan. Hingga pada suatu ketika, penderitaan melumatkan dunia dengan kegelapan dan rasa dendam.
Tembokrejo, 2021
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.