: Dipetik dari Ujaran-Ujaran Hidup Sang Pujangga *
4. Sampyuh
“118. Belajarlah ketegaran dari pohon cemara dan keteguhan pohon jati melewati musim (kemarau panjang).”
Kau tidak cukup menjadikanku hutan, tidak cukup pula menjadikanku gurun. Di sabana ini, aku limbung. Menghitung. Segala cara segala daya kuajak bekerjasama, agar sinar dan cahaya, cukup menjadikanku ada. Ketika bayanganmu meninggi dan aku terdiam dalam rindu sepi yang paling mencekam, lecutmu berbunyi. Mengajakku berdansa.
Pada musim apa kita setuju untuk menyemai benih? Pada musim apa kita sepakat menuai? Rumput yang ada tak pernah kau siangi. Musafir datang menawarkan bantuan. Aku tergagap menanggap. Ini cinta yang tak pernah laras, sepanjang senapan yang selalu kau genggam. Tak pernah kau tembakkan. Kau kokang. Kekangnya memberiku rasa tegang yang demikian menantang.
Sampyuh. Itulah yang terjadi, ketika aku tak bisa menebak aksara yang kau terakan pada lontar yang kau bentang. Bagaimana harus kurangkai untuk menemu cara, agar pohon cemara dan pohon jati tumbuh bersama? Kau benar-benar sinting.
SDS. 29.12.2020
5. Lelaki Wangi Berwajah Bunga Persik
“527. Laksana legenda harum melati, kebenaran wangi dari kelopak-kelopaknya.”
Selalu saja aku merasa difetakompli. Bagaimana tidak? Tuhan menciptakan manusia itu unik dan mempunyai keistimewaannya sendiri. Lalu bagaimana aku bisa menentukan siapa yang lebih tampan? Sungguh tidak bisa diperbandingkan. Demikian juga dengan lelaki dihadapanku ini. Bau tubuhnya wangi, wajahnya secerah bunga persik, dan rambutnya sehitam jelaga. Panjang, lembut dan menggoda. Barangkali saja dia bisa menjadi duta shampo. Kulitnya? Seputih melati.
Aku masih bertanya dan belum menemu jawabnya, darimana harum wangi tubuhnya. Semilir angin yang berhembus, perlahan menjatuhkan kelopak-kelopak melati. Aku tersihir. Hatiku gundah. Selebihnya aku tak tahu apakah keputusan yang kuambil tepat atau tidak, ketika aku menadah kelopak terakhir yang gugur sebelum menyentuh tanah.
“Apa yang akan kau perbuat dinda?” akhirnya dia bersuara. Rambutnya menjadi cahaya bulan. Aku menjawabnya dalam hati, aku tak ingin DNA yang ada di kelopak itu juga lenyap bersama perginya. Mungkin aku bisa menyemainya di rahimku dan melahirkan anak-anak kehidupan yang bertabur wangi. Menjadikan legenda ayahnya terpelihara. Mungkin juga pada suatu ketika, ia, anakku itu akan menjadi panglima.
SDS. 30.12.2020
Keterangan:
* Kalimat pembuka yang bertanda petik merupakan “Ujaran-Ujaran Hidup Sang Pujangga,” yakni sebuah kitab kumpulan kata mutiara yang ditulis Nurel Javissyarqi selama 10 tahun (1994-2004), cetakan ke IV, Desember 2020 oleh Penerbit PUstaka puJAngga dan Pustaka Ilalang, Lamongan.
Sebelumnya: http://sastra-indonesia.com/2020/12/tiga-pentigraf-siwi-dwi-saputro/
2 Replies to “Dua Pentigraf Siwi Dwi Saputro”