“KEKHILAFAN” MENGAMBIL PUISI


Nawa Tunggal *
Kompas, 31 Jan 2021

Pada akhirnya, Exan Zen, penulis skenario yang juga sutradara film puisi Binatang Jalang (2020) dari kumpulan puisi Chairil Anwar (1926-1949) menulis klarifikasi, Rabu (27/1/2021). Exan mengakui “kekhilafan” dalam mengambil puisi “Cinta dan Benci” yang ternyata bukan karya penyair Chairil Anwar untuk film puisi berdurasi 22 menit itu.

Film itu diputar perdana secara terbatas pada 30 Desember 2020. Beberapa media mengulas film puisi ini, termasuk Kompas dalam edisi Minggu (24/1/2021). Ulasan itu memicu polemik seputar puisi “Cinta dan Benci” yang diambil menjadi bagian naskah skenario film puisi itu.

Polemik berkembang di media sosial. Exan akhirnya mengakui, pengambilan puisi “Cinta dan Benci” itu sebagai kekhilafan, kekeliruan atau kesalahan tanpa disengaja. Exan pun menerangkan asal-muasal dirinya mengambil puisi tersebut.

Pada pernyataan klarifikasinya, disebutkan, Exan melalui mesin pencari Google, ia menemukan tautan informasi “Gasbanter Journal” di internet. Tautan ini memberitakan penganugerahan Dewan Kesenian Bogor (DKB) Award 2007 untuk kategori Seniman Sastra yang diterima oleh putri Chairil Anwar, Evawani Elissa Chairil Anwar.

Di situ dituliskan kumpulan puisi karya Chairil Anwar paling populer dan menginspirasi. Pada urutan nomor 12 berjudul, “Cinta dan Benci”, diapit oleh puisi “Cintaku Jauh di Pulau” pada nomor 11, dan “Sajak Putih” di nomor 13.

Exan juga mengacu tulisan tentang puisi “Cinta dan Benci” yang diperoleh dari tautan blog Riau Sastra berjudul Analisis Filsafat Sastra terhadap Puisi “Cinta dan Benci” Karya Chairil Anwar tertanggal 26 Desember 2019. Setelah terjadi polemik, tulisan di blog itu kemudian dihapus.

“Saya sebagai penulis skenario dan sutradara film puisi Binatang Jalang, secara pribadi meminta maaf kepada semua pihak yang telah dibuat tidak nyaman atas masalah ini,” tulis Exan.

Jejak artefak Jakarta

Selepas pemutaran perdana secara terbatas film puisi Binatang Jalang, digelar diskusi dengan narasumber Taufik Rahzen. Ketika dihubungi, Kamis (28/1/2021), Taufik menceritakan apa saja yang diutarakan di dalam diskusi itu.

“Waktu itu saya mempersoalkan lewat sajak-sajak Chairil Anwar untuk melihat jejak artefak kota Jakarta, terutama dari masa-masa Chairil Anwar menciptakan sajak-sajaknya pada periode 1942 sampai 1949,” ujar Taufik.

Bagi Taufik, sajak-sajak Chairil Anwar mencerminkan kehadiran kota. Di sisi lain, Jakarta pada waktu itu masih sebuah kampung besar.

Di luar agenda diskusi, Taufik melontarkan pertanyaan, apakah benar sajak-sajak Chairil bisa dibuat menjadi percakapan untuk sebuah film. Taufik pun kemudian melontarkan kritiknya. Film puisi ini sebenarnya bisa menjadi representasi melankolia atau kesedihan yang berlarut-larut atas pandemi Covid 19 yang tak kunjung selesai ini.

Film itu bisa disebutkan sebagai apropiasi atau sebagai penggunaan elemen-elemen pinjaman dari suatu karya seni sajak-sajak Chairil Anwar. Akan tetapi, jika ini dipilih, Taufik menolak adegan akhir film yang menyertakan rekaman gambar bergerak untuk makam Chairil Anwar.

“Film apropiasi bukan secara khusus untuk menceritakan sosok Chairil Anwar, sehingga makam Chairil Anwar tidak diperlukan lagi. Film ini sebuah representasi,” ujar Taufik.

Taufik juga mempertanyakan, jika film ini bertujuan menghidupkan kembali atau mengenalkan sajak-sajak Chairil Anwar, penggunaan judul film puisi Binatang Jalang ia anggap kurang memberi motivasi optimistik. Ia mengusulkan, judul bisa diganti Aku Mau Hidup Seribu Tahun Lagi, seperti pada penggalan sajak Chairil Anwar berjudul “Aku”.

Diskusi pada peluncuran film puisi ini berlangsung tanpa sedikit pun menyinggung kesalahan pengambilan puisi karya Chairil Anwar.

Kultur riset

Biografi Chairil Anwar pernah ditulis Hasan Aspahani dan diberi judul “Chairil” (2016). Menurut Hasan, kekhilafan dalam pengambilan puisi “Cinta dan Benci” sebagai kecerobohan riset dalam pembuatan film puisi Binatang Jalang dari puisi-puisi Chairil Anwar.

“Penggarapan film ini mungkin implikasi dari work from home (bekerja di rumah) selama masa pandemi Covid 19, sehingga tidak sempat mengunjungi Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin untuk mendalami riset,” ujar Hasan.

HB Jassin mengumpulkan sedikitnya 96 tulisan Chairil Anwar, termasuk 70 puisi. Selebihnya, merupakan catatan-catatan penting Chairil Anwar, seperti catatan naskah pidato atau suatu perbincangan di radio, esai untuk majalah serta koran, dan sebagainya.

“Penyair Chairil Anwar bukanlah pengarsip yang rapi. Banyak karya puisi atau sajaknya dimungkinkan masih tercecer dan tidak pernah dicatat HB Jassin. Jika memang ditemukan puisi yang lainnya, mari kita turut merayakannya,” tutur Hasan.

Chairil Anwar menulis sajak-sajak dan mengirimkan ke berbagai media pada rentang waktu 1942 – 1949. Hasan memercayai ada puisi yang dimuat media massa koran atau majalah beroplah kecil hingga tidak sampai terdokumentasi oleh HB Jassin.

Kepada HB Jassin pun, Chairil Anwar disebut Hasan sebagai penyair yang “sadis”. Pernah suatu ketika, Chairil mengirimkan tulisan puisinya kepada HB Jassin. Di waktu berikutnya, Chairil menarik kembali sajak-sajak yang diberikan itu dan menyebutnya sebagai tulisan yang belum sampai menjadi puisi.

Inilah yang kemudian kemungkinan besar menjadi tercecer. Selain itu, Chairil Anwar juga memiliki buku catatan kecil atau notes. Notes itu untuk mencatat sewaktu-waktu ketika mendapatkan gagasan untuk penulisan sebuah puisi.

Temuan sajak-sajak Chairil Anwar masih dimungkinkan. Begitu pula, banyak sajak Chairil yang dimungkinkan tidak sampai selesai dan tidak pernah diketahui nasibnya.

Hasan mengambil hikmah positif dari peristiwa kekeliruan tanpa disengaja pada pengambilan puisi “Cinta dan Benci” untuk film puisi Binatang Jalang. Selama ini belum terlihat kehadiran negara untuk menerbitkan secara lengkap karya-karya sastra dari para penyair yang sudah meninggal.

Hasan mencontohkan, negara tidak pernah peduli untuk menerbitkan buku sajak-sajak yang pernah diciptakan penyair WS Rendra. Ironisnya, justru pemerintah Malaysia sudah menerbitkan buku berisi seluruh karya sajak yang diciptakan WS Rendra.

Kondisi ini menyebabkan pilihan referensi jatuh pada internet. Seperti ditempuh penulis skenario dan sutradara film puisi Binatang Jalang, Exan Zen, pilihan referensi dari internet memungkinkan kekeliruan terjadi.

“Ketika semua tampak begitu mudah kita peroleh, seharusnya kita selalu curiga,” ujar Hasan, yang juga mengimbuhkan agar para kreator seni memiliki kultur riset yang tinggi.

Di atas semua itu, Hasan mengapresiasi pembuatan film puisi Binatang Jalang ini. Baginya, tidak ada sedikit pun terlihat niat jahat di situ, hanya saja dihadapkan pada kultur riset yang lemah. Taufik Rahzen juga menilai film puisi Binatang Jalang, bisa menjadi perantara dalam mengaitkan sebuah kisah dalam karya seni dengan masa sekarang.

Editor: Mohammad Hilmi Faiq

*) NAWA TUNGGAL, wartawan Kompas sejak 2001. Lahir di Yogyakarta 28 Juni 1974. Lulusan Jurusan Sosiatri Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Meski berlatar pendidikan ilmu sosial, sebagai jurnalis justru lebih banyak menulis perihal ilmu pengetahuan dan teknologi. Mungkin inilah yang membuatnya cenderung menulis berbagai hasil riset ilmu pengetahuan dan teknologi yang memiliki relevansi dengan berbagai bentuk rekayasa sosial.

Link terkait: http://sastra-indonesia.com/2021/01/tertipu-2/

One Reply to ““KEKHILAFAN” MENGAMBIL PUISI”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *