Taufiq Wr. Hidayat *
Gerimis. Desember. Natal. Lampu-lampu malam yang berwarna jingga. Angin dari selatan meniup begitu pelan begitu lembut. Begitu terkenang. Pada sebuah belokan, Penyair Jarot menghentikan jalannya. Ia menatap sebuah poster sabun mandi bergambar foto perempuan cantik dan seksi. Dulu tepat pada tiang itu terdapat sebuah pohon beringin yang tua, di bawahnya terletaklah kursi taman memanjang. Penyair Jarot mengenang seseorang. Seseorang yang pernah duduk berdua dengannya di kursi taman itu tatkala hujan menjelang dini hari.
Tapi sekarang, segalanya sudah berubah. Dulu sering didengarnya lagu keroncong “Jembatan Merah”. Lagu yang dinyanyikannya bersama sang kekasih. Perihal kesetiaan dan kehilangan. Sekarang pohon beringin itu telah berubah menjadi sebuah tiang, terdapat iklan pada tiang itu. Dan perempuan kekasihnya telah meninggalkan. Meninggalkan sang penyair yang tak punya masa depan.
“Alangkah cepat semua percintaan kita, kekasih,” desahnya. “Namun untuk melenyapkan peristiwa itu dari ingatanku, alangkah menderita,” lanjutnya. Mulutnya mengepulkan asap rokok. Rambutnya panjang tak terjaga. Dan celananya kumal. Di bahunya, tas tua seperti gembolan. Ia hanya sebatang kara. Penyair terluka yang mengelanai kota demi kota, mencoba membuang kenangan yang panjang. Dan luka hatinya yang teramat dalam.
Dari sebuah warung, terdengar lagu “laju-laju si perahu laju.. jiwa manis indung disayang.. la-la-la.. la-la-hoo..”. Hatinya riang. Keroncong Kemayoran terdengar tanpa diminta. Penyair Jarot menuju warung itu. Uangnya tinggal segelas kopi dan sebatang rokok eceran. Ia duduk. Dan suara keroncong perlahan menghilang dari radio warung.
“Alangkah singkat keroncong itu, tetapi jejak kenangan darinya alangkah lama sekali membekas dalam ingatanku,” desah.
“Kamu dari mana, anak muda?” tanya seseorang setengah tua yang duduk di sebelahnya.
“Dari jauh, Pak,” jawab Penyair Jarot.
“Mau ke mana? Di kota ini, kerja atau mencari sanak-saudara?”
“Oh tidak, Pak. Saya sedang mengelana. Mencari pertemuan demi pertemuan, melacak pembicaraan-pembicaraan tentang diksi.”
“Oh anak muda ini seorang perancang dekorasi pengantin?”
“Bukan.”
“Untuk apa mencari pertemuan?”
“Untuk membacakan puisi.”
“Nama Anda?”
“Kenalkan, nama saya Penyair Jarot.”
Penyair Jarot mengulurkan tangan. Orang setengah tua di sebelahnya menyambut tangan Penyair Jarot.
“Anda masih muda, Penyair Jarot. Usia masih akan mengantarkanmu pada banyak kejadian-kejadian,” kata orang setengah tua.
“Iya, Pak. Begitulah. Tapi jiwa saya rasanya sudah rapuh. Oya hampir lupa. Nama Bapak siapa?” ujar Penyair Jarot.
“Baiklah, Penyair Jarot. Kenalkan, nama saya Sumandiman. Saya suka lagu keroncong.”
Deg! Penyair Jarot terperanjat, bagaimana mungkin orang setengah tua bernama Sumandiman di sebelahnya itu juga menyukai lagu-lagu keroncong seperti dirinya dan kekasihnya dulu.
“Apakah Bapak Sumandiman ini orang sini?”
“Bukan, Penyair Jarot. Saya juga orang jauh. Mengembara dari kota ke kota. Tanpa keluarga. Tanpa siapa-siapa. Tidak hendak mencari pertemuan demi pertemuan untuk membacakan puisi sepertimu. Saya tak membutuhkan panggung dan perhatian cuma untuk menghindari kenyataan, tak ingin dikenali, dan tak gemar di tempat ramai.”
Keduanya terdiam. Pelan-pelan radio memperdengarkan lagu keroncong “Jembatan Merah”.
Walau jembatan merah
Andainya patah
Aku pun bersumpah
Akan kunanti
Dia di sini
Kembali lagi
“Ini bukan kebetulan!” ujar Penyair Jarot.
“Adakah kebetulan di dunia ini?” kata Sumandiman.
Hujan bulan Desember turun perlahan. Alangkah panjangnya ingatan. Alangkah singkatnya tiap-tiap kejadian.
Tembokrejo, 2021
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.