KNUT HAMSUN, PERIHAL ISI PERUT DAN SEBUAH HARGA DIRI


Fatah Anshori *

Perihal isi perut barangkali tidak bisa dianggap sepele. Ia adalah kebutuhan vital dalam kehidupan. Seseorang bisa hidup dengan makan. Tanpa makan sudah tentu secara nalar orang akan mati. Memang secara fisiologis tubuh mampu bertahan hidup dalam jangka waktu tertentu tanpa makan dan minum. Jika jangka waktu itu habis muara selanjutnya tentu kematian.

Membaca novel Lapar karangan Knut Hamsun, seorang pengarang Norwegia. Perihal isi perut itulah yang menjadi pokok permasalahan utama di novel tersebut. Tokoh utama sekaligus narator cerita, atau bisa kita panggil aku lirik dalam novel ini adalah orang yang mengalami permasalahan itu.

Cerita diawali dengan tuturan aku lirik ketika sedang menjelajahi jalan di kota Cristiania—nama lain ibu kota Norwegia sebelum diganti Oslo. Ia menyebut itu adalah sebuah kota aneh di mana ia tinggal dan menjalani kehidupan-kehidupan sulitnya. Bisa kita bayangkan aku lirik adalah seorang lelaki menyedihkan yang tidak sanggup apa-apa kecuali menulis. Di suatu bagian aku lirik berusaha melamar kerja sebagai tentara namun karena postur tubuhnya yang kurang proporsional akhirnya ia tidak diterima. Akhirnya di kota itu ia hanya hidup dari menulis.

Tapi kita tahu hidup dari menulis tentu tidak mudah. Barangkali ini sama dengan kehidupan nyata, menulis untuk memenuhi kebutuhan hidup, mau tidak mau adalah dengan cara mengirimkan tulisan-tulisan kita ke media massa atau menerbitkan buku. Baru kemudian kita bisa mendapatkan royalti atas tulisan-tulisan kita. Tapi hal tersebut tentu saja tidak semudah menyelesaikan skripsi. Tidak ada pakem-pakem tertentu dalam hal menulis agar dapat dimuat media dan mendapatkan royalti.

Aku lirik dalam novel Lapar, kurang lebih juga mengalami hal yang sama, kemalangan yang bertubi-tubi. Ia berkali-kali diusir induk semangnya karena tidak bisa membayar kos. Tidak ada uang untuk membeli secuil roti, hingga ia terpaksa untuk melumat batu, menggigiti kulit kayu, atau berbohong ke tukang daging untuk meminta tulang sebagai pakan anjing peliharaannya. Ia melakukan semua itu untuk bertahan hidup.

Tentu saja kita akan berpikir itu sebuah kegilaan, kehidupan macam apa itu. Sesulit-sulitnya orang di dunia nyata paling tidak mereka tetap bisa makan. Jika nasib terlalu buruk tinggal di kota dan tidak punya apa-apa termasuk saudara, paling tidak kau bisa mengemis di lampu merah, ngamen dengan memasag wajah iba tanpa mempedulikan nada, atau yang tidak mempedulikan benar atau salah kau bisa ngutil. Tentu saja dengan itu kau bisa menyelesaikan urusan isi perut. Tapi kenapa aku lirik dalam novel Lapar tidak melakukan hal-hal serupa, tentu saja itu karena harga diri. Bahkan aku lirik merasa sangat bersalah ketika ia menanyakan royalti naskah pada redaktur media. Bahkan dihadapan uang yang sudah nyata miliknya ia tak mau untuk sekedar menanyakannya. Seolah ia tak membutuhkan uang padahal di dalam hatinya ia sangat membutuhkannya. Mungkin ia akan merasa tampak hina jika ia menulis untuk mendapatkan uang, seakan-akan uang adalah segalanya.

Jika kita hadapkan pada dunia nyata, barangkali tidak orang di sekitar kita yang nasibnya seburuk aku lirik dalam novel Lapar, Hamsun. Paling tidak seburuk apapun nasih buruk orang di dunia nyata, mereka tentu bisa makan, ngopi, bahkan membeli rokok. Tapi yang keterlaluan adalah mereka yang sudah memiliki rumah di setiap kota, tapi masih mengambil uang warga tanpa sedikitpun menempel setitik rasa bersalah di hatinya, apakah mereka pantas membicarakan harga diri? Atau melambai-lambaikan tangan di depan warganya?

Membaca novel Lapar, Hamsun yang memiliki tokoh utama seorang penulis. Mungkin akan membuat kita merenung lebih lama tentang urusan isi perut, harga diri, nilai-nilai kehidupan, rasa bersalah, semangat dalam menjalani hidup, juga termasuk mencemooh semuanya. Meskipun novel ini dituturkan oleh seorang tokoh yang merupakan penulis, novel ini tidak mengajarimu atau sekedar menunjukkan kaidah-kaidah menulis yang baik. Tapi akan menunjukkanmu bagaimana menjalani hidup sebagai seorang penulis paling menyedihkan.
***

*) Fatah Anshori, lahir di Lamongan, 19 Agustus 1994. Novel pertamanya “Ilalang di Kemarau Panjang” (2015), dan buku kumpulan puisinya “Hujan yang Hendak Menyalakan Api” (2018). Salah satu cerpennya terpilih sebagai Cerpen Unggulan Litera.co.id 2018, dan tulisanya termuat di Sastra-Indonesia.com sedang blog pribadinya fatahanshori.wordpress.com

Leave a Reply

Bahasa »