Beni Setia *
Lampung Post, 18 Nov 2012
YANG tersisa dari gaung seminar Wong Jawa Ilang Jawane (Balai Budaya Sudjamiko, Solo, 14-6-2009) itu asumsi dasar dari diskusi. Siapa (orang) Jawa dan apa fenomena kejawaan yang hilang.
INI sekaligus mengingatkan penulis ke satu obrolan di depan Aula Graha Sanusi Hardjadinata (Unpad, Bandung, 21-2-2009) saat peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional (International Mother Language Day). Pas ada teman yang menunjukkan draf kumpulan puisi Sunda, yang akan diterbitkan, dan meminta agar dibuatkan semacam kata pengantar.
Kami spontan memeriksa draf itu, dan tiba satu kesimpulan, bahwa poetika dan rasa bahasa dalam memilih serta menyusun diksi tidak beraroma dan berkepekaan rasa Sunda. Mungkin karena faktor usia si penyair -sekitar 40 tahun-, tak peduli si penyair sengaja mengambil idiom dari teks khazanah budaya Sunda c.q. budayawan Hasan Mustapa dan fakta sosial aktual lokal Masjid Agung Bandung, dan tidak peduli semua puisi itu bergenre sajak bebas.
Bahkan tiba di kesimpulan mengerikan: ada pengaruh pola estetika persajakan asing, ada kata/bahasa non-Sunda yang diserap sebagai kosa kata pinjaman, dan ada aspek sosial-budaya yang tidak eksklusif Sunda tapi sengaja dipinjam sebagai idiom ungkap. Citarasa Sunda dan eksotisme lokalitas hilang, meski komunikatif, karena secara teks tak berbeda dengan puisi berbahasa Indonesia.
Ini terlihat dari munculnya sosok Bob Dyllan, sebagai referensi si penyanyi lagu pop internasional yang menyejarah sebagai ikon si anak muda antiperang di Amerika. Atau, diksi tol sebagai semiotika perampasan hak petani oleh negara yang berambisi membangun tanpa menyejahterakan petani yang faktual tidak lagi memiliki sawah. Tanpa merujuk fakta sejarah di Tangerang, Betawi, dan Bogor di masa kolonial awal Belanda, tentang tanah partikelir yang mengharuskan siapa saja yang lewat di fasilitas jalan di zona itu harus membayar tol, yang melahirkan novel grafis klasik Ganes T.H., Tuan Tanah Kedawung, atau Si Buta dari Gua Hantu. Fakta sejarah yang bila dioplos dengan fakta tol kini akan jadi komposisi derita abadi tanpa penanda merdeka 17/8.
Untuk fenomena bahasa, Wawan Husain cerdas mengajukan sebuah istilah yang menohok kesadaran. Si multilinguist dan tak sekedar bilinguist, buat menandai ujud orang Sunda yang tidak mono-linguist terisolasi dalam komunitas dan habitat orisinal -total terpisah dari dunia. Tapi mungkinkah (masih) ada komunitas Sunda (baca: Jawa, karena fokus tulisan ini merujuk ke budaya Jawa) yang hidup dalam satu lost horison?
Komunitas Sunda yang secara “sadar” memisahkan diri ke dalam kubah eksklusivitas di Sukabumi selatan itu, misalnya, memang masih mempertahankan sistem pertanian dan tradisi asli, tapi mereka juga tak mengisolasi diri di asylum xenophobia. Mereka menerima cara berpakaian lain, cara perniagaan lain, dan alat hiburan terkini c.q. radio, tape, VCD dan televisi?hampir mirip dengan kesadaran berbudaya Samin di sekitar Cepu.
Mayoritas orang Sunda (baca: Jawa) hidup dalam pola budaya berbahasa Sunda (baca: Jawa) di rumah dan dengan teman bermainan semenjak kecil, lantas berbahasa Indonesia saat menempuh pendidikan sejak TK sampai PT -kini malah bahasa Inggris- dan bekerja. Spontan semua referensi berbahasa dan berpikir etis Sunda (baca: Jawa) dipenggal dan direduksi etika dan tertib berbahasa Indonesia yang teramat dominan di kehidupan riil. Yang primair memancarkan etika lokal tiba-tiba dihempaskan, diganti oleh referensi etika baru dari pembiasaan berpikir dan berbahasa baru, karena itu laku santun menghargai yang lebih berpangkat dan lebih tua didegradasi sikap humanistik sederajat yang demokratik, atau yang sok egaliter kurang ajar amerikanistik.
Di titik ini, masalahnya bukan cuma subordinasi bahasa Sunda (baca: Jawa) oleh pilihan progresif prokemajuan yang bercirikan bahasa modern Indonesia dan Inggris, yang memunculkan dominasi budaya dan tak sekadar dominasi bahasa, seperti yang amat disadari pemikir post-moderinisme. Yang terjadi karena bahasa itu tidak sekadar mengubah preferensi etika berbahasa dan tertib berpikir sesuai tuntutan tata bahasa, tapi juga sebuah medium yang aktif menyodorkan aneka informasi pengetahuan serta gaya hidup yang harus diinpentarisasi, dipilih serta dipilah sesuai kebutuhan. Si orang yang berbahasa (baca: menyimak komunikasi lisan dan tulisan) sebenarnya sedang dikocok oleh banyak informasi, yang menimbulkan bah apatisme bagi si orang yang tidak siap menanggapinya. Anak muda yang pasif terdampar di dalam tsunami MTV, misalnya -berbeda dengan Islam yang bebas ditafsirkan dan menghasilkan mistisme kejawen, atau mitologi babad yang menyebabkan silsilah raja-raja Jawa bisa terkait erat dengan klan Amarta dari epik Mahabarata dengan menyisipkan tokoh rekaan Semar.
Anak-anak muda dan generasi bapak-ibu beranak usia SD-SMP adalah generasi yang tidak hanya dipaksa keadaan untuk hidup dengan keharusan multi-linguist, tapi juga multikultural, sebagai konsekuensi dari harus selalu toleran menerima informasi pendidikan, pengetahuan, ilmu, cara bergaul, gaya hidup, dan cara bersantai aktual kini yang meng-Indonesia dan menginternasional. Dan itu jadi pilihan politis negara untuk membina toleransi warga di tengah fenomena gerakan pemurnian cara beragama c.q. Islam, Kristen, dan Hindu atau Buddha.
Selain berupaya mengikuti gerakan antibandul nonreligius yang merujuk kepada cara berpolitik serta bernegara yang terkait dengan ideologi yang sekuler dan sekaligus tidak menyertakan tradisi (adat) yang diwariskan oleh leluhur di sisi lainnya.
Fenomena yang menyebabkan para orang tua kini kehilangan fungsi aji sejati kearifan budaya lokal, yang –sayangnya- tak dianggap sebagai satu siksaan (budaya) bagi generasi yang terbiasa dalam kondisi pola didik dan aroma bergaul yang sudah meng-Indonesia dan nginternasional. Tapi tak ada yang salah dengan generasi muda, mereka ditakdirkan hidup dalam pola bahasa dan budaya yang memang sudah edan seperti yang diramalkan Ranggawasita. Sekaligus tak bisa menyalahkan generasi tua yang sadar memilih strategi budaya progresif prokemajuan dengan memihak budaya Barat-c.q. bahasa Indonesia dan Inggris. Pihak pertama yang memilih ngedhan mengikuti kehendak zaman. Yang harus dilakukan hanya upaya refleksi budaya: mengawetkan budaya lalu, merevitalisasi khazanah budaya lalu, dan sekaligus menampilkannya lagi sebagai ekspresi budaya alternatif, dan berharap diapresiasi sebagai local genius yang sederajat dengan ekspresi budaya dominan.
Tak ada waktu buat menangis atau terharu, hanya ada kesempatan untuk survive secara kreatif meski dengan kehilangan orisinalitas dan autentisitas budaya, seperti yang diandaikan Arswendo Atmowiloto dalam novel Canting, ketika mengekalkan tradisi mengenakan baju batik dengan memanfaatkan teknologi printing dan bukan bersetia pada pola (batik) tulis. Menyakitkan memang!
***
*) Beni Setia, lahir di Bandung 1 Januari 1954. Tahun 1974 lulus SPMA di Bandung dan sejak itu belajar sastra secara otodidak. Ia menulis dalam bahasa Sunda dan terutama dalam bahasa Indonesia, tersebar di berbagai media cetak terbitan Jakarta, Bandung, Surabaya, Jogjakarta. Buku antologi puisinya: Legiun Asing (1983), Dinamika Gerak (1987), Harendong (1993). Kini ia tinggal bersama keluarganya di Madiun, dan tulisan-tulisannya, terutama cerpen dan kolomnya, terus mengalir. Beberapa esainya dimasukkan ke dalam Inul (Bentang, 2003). Beni memilih menulis sebagai profesi tunggalnya.