Panduan Menjelajah Rimba Raya Kesusastraan


Erwin Setia *
Jawa Pos, 15 Maret 2020

Kumpulan esai yang bermula dari blog pribadi Eka Kurniawan ini menghimpun sejumlah bekal untuk para pembaca dan penulis. Mengambil bentuk esai pendek atau ulasan singkat, Eka membabarkan pelajaran-pelajaran soal menulis dan membaca.

Ketika bepergian ke tempat wisata, kita akrab dengan selebaran atawa brosur sebagai penunjuk untuk mempermudah vakansi. Selebaran semacam itu membuat kita tak harus berpusing-pusing atau menghabiskan banyak waktu.

Buku teranyar Eka Kurniawan, Senyap yang Lebih Nyaring, boleh dikata memiliki kemiripan dengan brosur wisata. Tepatnya, ia adalah buku panduan menjelajah rimba raya kesusastraan.

Kumpulan esai yang bermula dari blog pribadi Eka ini menghimpun sejumlah bekal untuk para pembaca dan penulis. Mengambil bentuk esai pendek atau ulasan singkat, Eka membabarkan pelajaran-pelajaran soal menulis dan membaca.

Buku ini tidak tersaji dalam bentuk karya ilmiah soal kritik sastra yang membuat jidat mengerut. Tidak pula terkesan terlalu santai seperti ulasan-ulasan singkat di akun para bookstagrammer.

Jika disejajarkan, buku ini berdiri di tempat yang sama berdampingan dengan The Art of the Novel (Milan Kundera) dan Letter to a Young Novelist (Mario Vargas Llosa). Buku yang menyodorkan pelbagai gagasan soal menulis dan bisa dibaca dengan menyenangkan.

Dalam ’’Apa Sih, yang Dilakukan Para Penulis Hebat’’, Eka menyebut empat kebiasaan penulis hebat yang bisa diteladani siapa pun. Empat hal itu adalah rakus membaca, menulis ulasan, menerjemahkan, dan menulis karya sastra.

Pada dasarnya, penulis hebat juga manusia biasa seperti kita. Mereka menulis bagus bukan tersebab wangsit atau mukjizat. Yang membedakan hanya ketekunan dan kerja keras dalam belajar.

Kita bakal memperoleh ’’tip dan trik’’ sejenis di atas sepanjang buku. Tapi, Eka tak tampak seperti menggurui atau orang tua yang merasa setiap perkataannya mesti dipatuhi. Sebagaimana seorang penunjuk, ia cuma memberikan petunjuk-petunjuk (guna menjelajah rimba raya kesusastraan yang liar dan buas). Urusan mengamalkan atau tidak berada di tangan pembaca.

Meski kebanyakan tulisan berbentuk ulasan, kita bisa menemukan sekelumit sindiran yang disisipkan Eka. Sindiran-sindiran untuk para kritikus yang sok benar, penulis yang buruk, dan pembaca yang tak kreatif.

Bermodal iman terhadap ucapan Borges ’’membaca merupakan tindakan yang lebih intelek daripada menulis’’, Eka mengajak dirinya sendiri dan pembaca untuk lebih kreatif ketika membaca. Penting bagi kita mengulik, berusaha merengkuh gagasan terselubung yang diselipkan para penulis dalam buku-buku mereka.

Soal membaca kreatif itu Eka praktikkan sendiri dalam buku ini. Ia menggali dan menyodorkan kepada kita siasat bercerita dari buku-buku bacaannya. Bagaimana kekhasan tulisan Cesar Aira, Michel Houellebecq, Guy de Maupassant, Robert Musil, hingga William Shakespeare; Eka bisa membocorkannya kepada kita. Ia juga berbaik hati memperkenalkan puluhan penulis bagus (yang jarang publik Indonesia dengar).

Rimba raya kesusastraan membentang sangat luas. Ada jutaan buku di dunia ini, juga ribuan penulis yang mustahil seluruh karyanya bisa kita baca dalam hidup nan fana. Dalam The Art of the Good Life, Rolf Dobelli menyebut bahwa ketika usia muda, kita semestinya membaca buku sebanyak-banyaknya.

Dengan statusnya sebagai sastrawan, tentu Eka membatasi pembahasan hanya perihal buku-buku kesusastraan. Sesekali ia memang menyinggung buku filsafat atau sejarah, tapi dua macam buku itu pun masih erat persinggungannya dengan sastra.

Sedikit cela soal buku ini adalah susunannya yang berdasar waktu sehingga membuat tema tulisan seperti loncat-loncat. Memang itu bisa dipahami karena buku ini hanyalah kumpulan esai (Eka menyebutnya ’’jurnal’’), bukan buku utuh yang membahas satu tema khusus. Pembaca yang mengharapkan keruntunan pembahasan barangkali akan sedikit terganggu.

Namun, kalau ditelaah lebih lanjut, sebetulnya buku ini terikat pada satu tema. Saya menyebutnya ’’panduan menjelajah rimba raya kesusastraan’’. Sebagaimana menjelajah rimba raya, kita memang tak disuguhi keteraturan, tetapi kejutan-kejutan yang menegangkan dan menyenangkan.

Judul Buku: Senyap yang Lebih Nyaring
Penulis: Eka Kurniawan
Penerbit: Circa
Tahun Terbit: 2019
Tebal: xii + 352 halaman

*) Erwin Setia lahir tahun 1998. Penikmat puisi dan prosa. Kini menempuh pendidikan di Prodi Sejarah dan Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di berbagai media seperti Koran Tempo, Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Minggu Pagi, Solopos, Haluan, Koran Merapi, Padang Ekspres, dan Detik.com. Cerpennya terhimpun dalam Dosa di Hutan Terlarang (2018). Bisa dihubungi di Instagram @erwinsetia14. Blognya: setelahmembaca.wordpress.com

Leave a Reply

Bahasa »