PUISI YANG MENGGIRANGKAN SAYA


Djoko Saryono

Di bawah naungan pandemi COVID-19, yang membatasi pergerakan dan kegiatan kontak langsung, orang-orang tak berhenti. Terus bergerak, terus beranjak. Sedapat-dapatnya, sebisa-bisanya. Dengan berbagai usaha, dengan pelbagai cara. Dalam bermacam rupa, dalam beraneka karya.

Para pujangga eh pensyair eh penyair Indonesia begitu juga. Mereka terus berkarya, mencipta puisi dan menerbitkannya. Terjadi surplus puisi, bahkan antologi puisi justru pada saat situasi tidak terlalu menguntungkan — pandemi global merundung. Namun, menulis puisi memang tak bergantung pada suasana dan keadaan luar diri, lebih bergantung pada greget dan spirit penulis eh penyairnya. Tak heran, tahun 2020 lumayan banjir antologi puisi — di samping bertebaran publikasi di medium digital.

Sebisanya saya berusaha mengoleksi antologi puisi Indonesia yang diterbitkan secara selain dipublikasikan secara digital selama tahun 2020. Sedapat-dapatnya saya membacanya — entah membaca layap, membaca lambat, dan membaca kreatif. Membaca puisi dengan berbagai-bagai tujuan. Kebanyakan membaca untuk mendapatkan kesenangan, memperoleh pengalaman keindahan, dan mengisi waktu di tengah karantina rumah. Serba sedikit juga membaca buat mengetahui perkembangan bahasa Indonesia dan puitika (cie cie cie). Walhasil subjektivitas saya sangat dominan saat membaca dan memberikan kesan pada tiap antologi puisi yang saya baca.

Di antara berpuluh (atau beratus?) antologi puisi Indonesia yang dapat saya koleksi selama tahun 2020 (yang baru pertama kali terbit, bukan cetak ulang), ada yang menggirangkan dan menyenangkan saya. Sepuluh antologi puisi yang secara subjektif dan impresif telah membuat saya senang sebagai berikut (secara berurutan):

1. Mama Menganyam Noken karya perdana Gody Usnaat.
2. Hindia, Sebentang Peta Kumal karya Boy Riza Utama.
3. Nabi Baru karya Triyanto Triwikromo.
4. Terdepan Terluar Tertinggal karya Martin Suryajaya.
5. Anarko Book Faith karya Zeffry Alkatiri.
6. Dinding Diwani karya Kiki Sulistyo.
7. Yang Tersisa dari Amuk Api karya Nanda Alifya Rahmah.
8. Api Sunyi karya Emi Suy.
9. Selama Laut Masih Bergelombang karya Mariati Atkah.
10. Ajisaka dan Kisah-kisah tentang Takhta karya Tjahjono Widijanto.

Selain sepuluh antologi puisi tersebut, tentu banyak juga yang membuat saya senang dan mereguk pengalaman baru. Misalnya, saya sangat senang dan berkesan ketika membaca 3 antologi puisi Ahmad Yulden Erwin yang diterbitkan secara digital (dalam format PDF), yaitu Cinta Icarus, Hara Semua Kata, dan Dua Puluh Cawan dalam Bilangan Phi. Tiga antologi puisi yang diterbitkan serentak oleh AYE begitu mengesankan saya. Namun, tak saya masukkan pertimbangan karena saya membatasi yang terbit cetak. Demikian pula berbagai berbagai antologi puisi lain yang kerap dibincangkan, bahkan diganjar anugerah tak masuk pertimbangan saya semata-mata karena kejadulan selera puitik saya. Sekali lagi, 10 antologi yang saya pilih hanya berdasar pada subjektivitas dan pengetahuan implisit saya soal puisi.

Lho kok tak ada antologi puisi yang sudah beroleh hadiah, anugerah atau pengharagaan lain? Misalnya, Empedu Tanah karya Inggit Putria Marga dan Belok Kiri Jalan Terus ke Kota Tua karya Isbedy. Belum lagi antologi puisi Di Tepi Rawi karya Lutfi Mardiansyah dan karya-karya antropologi kuburan macam Nisan Annemarie garapan Binhad Nurrohmat. Begitu protes Jabbar Abdullah. “Apalah saya, Bar! Saya hanyalah pembaca puisi. Bukan juri atau kurator yang rapat bersama dengan alasan segebok.,” respons saya. Namun, percayalah buku-buku yang kau sebut juga masuk favorit saya. Soalnya, berbeda dengan penulis fiksi, penulis puisi dan terbitan puisi di Indonesia luar biasa banyak, sedang saya hanya ingin memilih 10 antologi puisi.

4 Jan 2021

Leave a Reply

Bahasa ยป