Nasrullah Thaleb
aceh.tribunnews.com, 5 Juli 2015
Arafat Nur baru saja menerbitkan novel terbarunya Tempat Paling Sunyi (Gramedia, 2015). Sebagaimana novel-novel Arafat Nur sebelumnya, kisah dalam Tempat Paling Sunyi ini pun begitu unik, mengisahkan seorang penulis novel tak terkenal di Aceh yang sepanjang hidupnya mengabdikan diri pada sastra di tengah orang-orang yang tak peduli dan memandangnya begitu asing. Bagi Mustafa, tokoh utama buku ini, novel adalah sesuatu yang sangat penting, setidaknya untuk menunjukkan bahwa dirinya pernah ada di dunia fana ini.
Mustafa bertekad kuat menulis, meskipun ia tahu novel tidak mungkin memberikan pengaruh besar, apalagi mengubah dunia, dia tetap tidak pernah berhenti berjuang. Ia yakin kekuatan sastra mampu mengubah moralitas dan karakter manusia dalam persepsi kehidupan berbeda.
“Sebetulnya Mustafa bukanlah tokoh penting dalam cerita ini, andai saja dia bukan seorang penulis novel; itu pun dianggap gagal. Tetapi, bukan atas dasar alasan itu semata kisah ini menjadi menarik dan sangat penting untuk diungkapkan. Banyak kisah lain terutama kisah cintanya yang pelik dan ganjil, yang kemudian membawaku menelusuri lebih jauh lagi riwayat kehidupannya yang tidak terlalu panjang.”(hal.16)
Uniknya, tidak hanya kalangan pembaca novel serius, bahkan pembaca remaja, sebagaimana yang ditemukan di Internet, begitu tertarik dan dapat menikmatinya kisahnya dengan baik. Mereka terpana oleh kekuatan cerita yang terbangun, sampai-sampai ada bertanya-tanya apakah Arafat Nur berharap novelnya ini dibaca oleh Riana, salah seorang tokoh dalam novelnya.
Wajar saja kalau buku ini menjadi buah bibir dan mulai dibicarakan di kalangan sastrawan dan pembaca remaja. Apalagi novel ini mengangkat kisah perjuangan seorang novelis untuk menunjukkan betapa pentingnya sastra dalam kehidupan manusia sehari-hari, sehingga novel ini sangat perlu dibaca oleh siapa saja. Selain itu begitu banyak pesan penting yang disampaikan penulis, yang bisa dijadikan sebagai nasihat dan pelajaran.
Harus diakui Arafat Nur telah berhasil menyajikan sebuah kenyataan hidup seorang penulis sastra yang penuh liku-liku dan derita yang tidak wajar dalam novel. Tekad kuat menyelesaikan sebuah novel menjadi pilihan dalam hidup Mustafa. Ia hidup dan bejuang di tengah-tengah keluarga yang pasif dan membeci pekerjaannya sebagai seorang penulis. Bahkan istri Mustafa sendiri menjadi musuh yang menentang dan berusaha menggagalkan usaha suaminya untuk menyelesaikan novel.
Salma, istri Mustafa yang pencemburu, tidak bisa menerima kenyataan hidup mereka yang miskin, juga tidak pernah tahu kalau negerinya sedang dilanda perang dan rakyatnya jatuh melarat. Perihal ini disebabkan istrinya dilahirkan dari sebuah keluarga kaya lagi terhormat di kota, yang selalu dimanjakan dan dibesarkan dengan kebodohan. Dalam keadaan yang sedemikian rupa Mustafa tidak tahu lagi bagaimana harus menjelaskan pada istrinya bahwa novel itu penting bagi kehidupan.
Belum lagi ia menghadapi ibu mertuanya yang beranggapan menantunya hanyalah seorang lelaki tolol yang menderita sakit jiwa; di sini novel ini benar-benar berhasil menggelorakan emosi. Simak saja bagaimana rintihan Mustafa berikut ini:
“Oh Tuhan, dosa apakah aku? Aku terjepit diantara dua perempuan bodoh yang tidak mengerti sedikit pun keadaanku; mereka menganggap diri mereka lebih benar dan dirikulah yang salah! Dan, celakanya aku tidak bisa berbuat apa-apa, selain menunjukkan bahwa aku adalah pendosa besar.”(hal.40)
Sampai kemudian Riana, seorang gadis jelita, hadir dalam kehidupan Mustafa, yang kemudian mengubah warna hidupnya. Riana yang kelak menjadi istri keduanya, membangkitkan lagi semangat Mustafa dalam menyelesaikan novelnya, meskipun kemudian dia tetap dianggap sebagai seorang penulis yang gagal.
Sastra dan Kehidupan
Sebagai pembaca awam penyuka sastra, saya menganggap Tempat Paling Sunyi begitu penting dibaca. Kisahnya begitu dekat, realistis, indah, dan sangat menawan. Bagi saya novel ini lebih menarik ketimbang Burung Terbang di Kelam Malam (Bentang, 2014) yang sudah dialih-bahasakan ke bahasa Inggris, sekalipun tidak sekuat Lampuki (Serambi, 2010) yang memenangkan dua penghargaan bergengsi tingkat nasional sekaligus.
Disaat dunia pendidikan memandang sebelah mata pada pendidikan sastra, Mustafa muncul dengan segala keterbatasan dan keterpurukannya, meneriakkan betapa pentingnya sastra dalam kehidupan ini. Hari ini novel Tempat Paling Sunyi telah menelanjangi kita, mengungkit bobrok bahwa pemerintah dan masyarakat telah mengasingkan dunia sastra dan memperlakukannya dengan sangat buruk. Mustafa justru menyerahkan hidupnya dan mati untuk sastra dan pendidikan.
Setelah menamatkan Tempat Paling Sunyi, saya berada dalam sepuluh tahun masa yang paling rumit, dengan emosi, rasa iba dan air mata, dan dengan dada sebak. Membayangkan penderitaan Mustafa, saya sedih dan terenyuh. Bahkan saya tidak mampu melukisnya dengan kuas yang paling mahal sekalipun, kecuali Anda sendiri yang membacanya.
***
*) Nasrullah Thaleb, Ketua Komunitas Sastra Lhokseumawe (KSL) yang sedang berjuang mengembangkan sastra di kampungnya.