EPISODE BURAM
Kembali dituliskan bersama
deru ceracau, kegilaan telah
menyeluruh.
Satu bebal, satu lagi tak bisa
dipastikan akan luruh meski darah
membanjir tersembur dari kanalkanal.
Satu episode barangkali cukup
buat ditempelkan pada dinding sejarah,
dan selalu saja sesudahnya
terlena lagi, kalah lagi.
2020
KABAR KEMARIN
Belum sampai pada tatakan,
sebab potnya hilang entah kemana
Oleh karenanya tak segera kutanam
pohon yang kau kirim lewat mimpi
Sudah kupilih akan kuletakkan dimana
kabar itu, bahkan cahaya sudah kusiapkan,
kalengkaleng bekas buat menampung
kebencianpun kutumpuk, kulubangi
agar angin bisa masuk bersama cahaya itu
Kabar kemarin bukankah seseorang
telah ditangkap atau tepatnya disergap,
malah sebelumnya sempat dibungkam
Aku yang bertugas menyiapkan cahaya,
angin, tatakan pot, kalengkaleng bekas,
masih bimbang tak segera memastikan
mau kuletakkan dimana kabar kemarin itu
2020
HUJAN PERTAMA, MIE KUAH, DAN IBU PACARKU
puisi belum kutulis
hujan tibatiba menderas
seporsi hidangan tersaji pedas
ini hujan pertama
setelah sekian waktu
tak ada pertemuan,
keriuhan diatas meja
menawarkan keheningan
lalulalang angin, ibumu tak beranjak
lagi menuju ruang tamu, hilang ditelan
selambu pembatas jendela
deru angin kesekian kali,
hidangan tak tersentuh,
beku bersama waktu
puisipun tak segera
tertuliskan
2020
DI WAJAHMU
Ada puisi memendam gundah
Kado bagi siang gelisah
Setelah teriak tak didengar
: yang kau hadapi adalah orang orang
tak menyukai kebenaran, tak berpihak
pada kebaikan
Teriakmu cuma hingar bingar
Dianggap tak penting
Mengacaukan rencana laknat
: kau tak ubahnya anjing geladak
berwarna comberan menggonggongi
ruang kosong, dipikiran orang orang itu
tak ada kebajikan
Diwajahmu ada pucat pasi sejarah
Anjing menyalak pertanda
pembangkangan
Sejarah peradaban tak pernah
berpihak pada yang terlampau
dekat dengan comberan
2020
BERUMAHLAH
Pada pikiran dan hatimu,
sebab keduanya memiliki akalnya sendiri,
yang akan membawamu mengembarai
ketidaktahuan menjadi tahu,
kegelapan menuju terang,
kepicikan berubah nalar jernih
Rumah lain sekadar penyuluh,
terkadang cahayanya meredup
oleh dengki dan ketidakmauan
menerima ada cinta lain
berjalan menuju kilau
gemerlap
2020
Dody Yan Masfa, lahir di Surabaya 15 Juni 1965, menulis puisi adalah kegemarannya sejak remaja, sebagai ngudo roso, katarsis, dan meneliti diri sendiri sejauh mana ia memiliki kepekaan rasa keindahan tentang bahasa tulisan. Prestasi karya bukan menjadi prioritas bagi dirinya. Menekuni teater sejak usia muda, sampai sekarang aktifitas itu menyeretnya untuk terus menulis. Dody adalah aktor dan sutradara teater Tobong. No Kontak: 085732439089 email : dodyyanmasfa@gmail.com