Sajak-Sajak Rikard Diku

BERITA

Tanah-tanah warisan merana
Penghuni adalah hutan dan hantu
Tuhan menjatuhkan airmata
Menerima peti jenazah dari negeri seberang
Tempat memburu rezeki

Seseorang yang menjunjung mimpi bagai penjudi
Dini hari ditemukan mati tanpa celana
Berita dan derita tersiar sampai ke pohon telinga
Negara dan agama ribut merebut kuasa
Para pekerja menyalibkan rasa sakit di tiang listrik
Pengemis berdoa Bapa Kami: berilah kami rezeki pada hari ini

Hulubalang menyepak pantat TKI illegal
Seniman memahat wajah negara
Wartawan sibuk mencari data dan kehilangan kita
Penyair menganyam kata untuk membungkus luka
Nasib dan kita bermain teka-teki silang
Saling bersaing menemukan jawaban dan kekalahan-kekalahan
Dan pertanyaan-pertanyaan

(2021)

PEREMPUAN MASA LALU

Selepas meninggalkan bandara dan peta alamatmu
Ayat-ayat rindu seperti tamat untuk dibaca
Kita menjelma buku kosong yang lupa dilukai pena penyair
Lampu jalanan yang muram dan terlantar oleh kota
Kata-kata seperti enggan dieja tubir bibir
Mawar telah tumbuh di dada dan menusuk aorta

Cinta ini tercipta bukan dari pertemuan-pertemuan kan?
Sendiri-sendiri mulai menyiasati sepi dengan memeluk masa lalu
Puisi tak lagi membaca secangkir kopi
Atau jarak yang mengukur kesibukan-kesibukan
Selepas meninggalkan bandara dan peta alamatmu
Kalimat yang bisa kucatat ketika sepi menancap

Di kaki-kaki kursi adalah apa kabarmu yang pergi?
Meski sejak aku menulis sajak tentang perpisahan
Perempuan itu kamu, yang belum pernah menanyakan

“Apa kabarmu, puisi?”
Selepas meninggalkan bandara dan peta alamatmu
Aku belum menemukan kehilangan lain selain hilangnya kabar
Meski sebenarnya kau seumpama roh untuk puisi-puisi yang berkibar

(2021)

RAHASIA

Setiap menatap hal ihwal yang membuat mata berkaca-kaca
Kau menangkap rahasia dengan memotret
Langit biru, kabel listrik, gedung tua, sepotong bulan
Keindahan seperti terbit dari tangan mungil

Yang diam-diam menutup sepasang mata jendela
Ketika senja yang merah seperti darah anak domba
Mendamba bayang-bayang hari tak lekas pergi

Seperti kucing kecil di kamarmu
Terus mengeong sebelum sisik ikan teri
Kau lempar ke bawah sisi kursi

Ketika tidur melupakanmu dan hujan
Dan lonceng gereja menjatuhkan peristiwa sedih
Sudah pergi bayangan di telapak kaki

(2021)

KETIKA KAU MEMBACA PUISI

Ketika kau membaca setiap puisi
Dalam hati ada aliran sungai
Membawa serta ikan-ikan kecil
Kerikil tersangkut di saku baju
Kau mencuci kenangan yang luntur
Aku meyapu awan di matamu yang mendung
Berharap langit tidak menumpahkan bulir-bulir hujan
Membasuh bunga pukul Sembilan di halaman

Aku ada di sela-sela kalimat
Menghitung detak jantungmu
Berapa kali jeda ketika debur puisi
Menyisir segala debar hati

(2021)

MEMASUKI KAMAR INI

Memasuki kamar ini sendiri
Sunyi berdiri di empat penjuru mata angin
Buku-buku yang berantakkan dibaca oleh mata lampu
Foto yang dipaku berjejer pada dinding
Benang merah, putih dan hijau dalam buku harian
Penanda cerita-cerita yang tidak dilupakan

Jubin berdebu dari remah-remah masa lalu yang belum disapu waktu
Kau bersembunyi diantara halaman-halaman buku puisi
Setelah dilahirkan penyair pada malam-malam yang lupa tidur

Dan mata jendela mencatat rahasia-rahasia dengan jujur
Pulang ke dalam tubuh ini sendiri
Di hadapan meja dan kursi dan kita
Adalah kamar pengakuan

(2021)

ISYARAT SEBUAH SEPI

Jarak mengisyaratkan rindu akan selalu kambuh
Tumbuh pohon-pohon doa yang memohon
Tuhan mengikat erat tali layang-layang
Terbang tinggi sebelum angin berhenti menari

Mengudara hatimu yang langit dan suka berubah warna
Menerka-nerka kangen dan doa ini milik siapa
Ketika sepi yang api menyiksa kesendirian kita

(2021)

DOA DI SEPERTIGA MALAM

Sebelum bantal menjadi alas bagi mimpi
Aku memintal doa dalam kepala
Mata terkatup sedang tuhan membuat jaring laba-laba
Di bawah pohon matamu yang sering menjatuhkan daun tua
Dan embun yang membasuh musim-musim kemarau panjang

Keranjang bunga-bunga doa adalah sesal tak selesai
Dijinjing para malaikat penjaga taman eden
Kepada surga yang menaburkan buah kehidupan
Buah terlarang dari tangan perempuan

Tuhan di sepertiga malam jauhkan aku dari
Godaan si ular yang hendak melilit buah mimpi-mimpi
Yang ranum di dada seperti Hawa

(2021)

MASIH

Masih bergetar pita suaramu diantara gerimis yang merintih
Angin menerbangkan ritmis gitar dan hati menjadi ketir
Petir tiba-tiba menyambar pohon jati
Diri kita tercipta dari perkataan-perkataan yang cahaya, katamu.

Pisau yang kau selipkan di dada dan tiada
Risau merobek kenangan yang berwarna malam
Adalah rentetan kebetulan yang luka
Masih bergetar pita suaramu dekat lampu jalanan
Yang diam-diam tak kunjung padam sebagai rindu
Masa lalu sudah dicabut seumpama ilalang diantara gandum. Benalu.

Kutulis puisi ini setelah pita suaramu masih bergetar, gitar masih kudengar
Suaramu memantulkan gema ke udara
Tak terasa tiba-tiba sunyi begitu lumpuh

(2020)


Rikard Diku, lahir 7 Februari 1999, mahasiswa STFK Ledalero, Maumere-NTT. Beberapa cerpen dan puisinya tersiar di koran, media daring, dan dibukukan dalam beberapa antologi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *