Sekapur Sirih untuk Sang Penyair

: Antologi Puisi Suwandi Adisuroso


S. Jai

Puisi, sebagaimana sesuatu karya kreatif lainnya, adalah karnaval—tepatnya karnaval keragaman suara. Tersebab itu, sebagai suatu karya kreatif, terbitnya buku Ibu, Antologi Puisi Suwandi Adisuroso patut untuk dirayakan.

Karnaval itu bukan saja atas kesan, pesan, penemuan, doa, upacara, lukisan alam, renungan, nyanyian, ode/puji-pujian, kisah, cerita rakyat, dongeng, seni, tokoh, protes, mitos wayang, kepahlawanan, solilokui, keprihatinan, kegelapan, nestapa.

Suara itu lebih dari sekadar suara sang penyair, yang menyuarakan kembali hasil dari tangkapan, pandangan dan pemahamannya tentang kenyataan atau pengalamannya. Melainkan juga suara itu sendiri—puisi itu sendiri ketika ditinggalkan oleh sang penyair tatkala melibatkan diri kembali dalam perjumpaan dan pertemuan dengan pengalaman-pengalaman lainnya.

Puisi lebih dari apa yang dikonsepkan sendiri, dimaklumatkan oleh penyairnya baik dalam kredonya maupun dalam pengantarnya. Sebagaimana beberapa hal telah dinyatakan penulis buku ini: “Semua yang ada tersebut merupakan pelajaran bagi kita semua untuk mengambil hikmah serta memahatkannya dengan aksara-aksara dan kata. Beliau yang mengajari kami untuk pertama kalinya mengenal huruf-huruf dan angka sewaktu kami masih kecil. Pada malam-malam yang hening, beliau bersama ayah senantiasa mendaraskan doa-doa untuk putra-putrinya. Swarga langgeng semoga menjadi tempat yang abadi bagi beliau serta ayahanda suwargi. Kita hidup di atas tanah negeri yang membentang luas dari Sabang sampai Merauke. Inilah hidup kita sebagai bagian dari bangsa dan negara ini di mana keragaman dan kamajemukan adalah sebuah sunnatullah untuk diterima dan disyukuri bersama serta dijalani secara bersama pula tanpa adanya permusuhan dan pertikaian di antara sesama.”

Nah, terhadap puisi, bunyi, itulah seorang penyair—dalam bahasa Franz Kafka—adalah seorang yang ‘menemui’ dan ‘menemukan’ kata. Penyair tidak hanya menghitung jarak bahasa yang ditemuinya dengan konvensi yang sudah ada tetapi lebih dari itu menciptakan, menemukan yang baru bermula dari pengalaman-pengalaman puitiknya sendiri.

Maka sudah berangtentu, buku Ibu, antologi puisi mesti memperlihatkan usaha keras penyairnya dalam melukiskan ‘perjumpaan’ dan ‘penemuan’ itu sebagai pengalaman-pengalaman puitiknya, usaha menyingkap dan mengungkap otensitas dari pengalaman-pengalaman kepenyairannya.

Dengan kata lain betapa penting kesungguhan penyair, bahwa seorang penyair adalah pencipta realitas dan bukanlah sekadar menampilkan aktualitas. Seorang penyair adalah dia yang yang memahami dan menggambarkan suatu pengalaman individual sembari melestarikan keunikan dan kehidupan. Dia bukan yang merusak atau melumpuhkan pengalaman kemanusiaan.

Kesungguhan penyair, kiranya terletak pada ikhtiar untuk menemukan/meneguhkan otentisitas pengalaman puitiknya. Yaitu suatu keadaan melepaskan kesadaran penuh pada kata-kata: dalam kehampaan, pengosongan diri, dengan menumpahkan pikiran, imaji, teknik, penginderaan , pengalaman puitiknya ke dalam kanvas ketiadaan.

Orang seringkali menggambarkan keadaan demikian dengan istilah ‘kemabukan.’ Ketika kesadaran terhisap lenyap dalam kemabukan puisi. Pada titik inilah ada kesamaan antara penyair yang menuliskan puisi dan pembaca yang menafsirkannya—keduanya sedang melakoni kerja yang sama; menafsirkannya, menemukan makna sekaligus menunda kepastian artinya dalam rahasia-rahasia.

Jika pun hal itu bukanlah ‘kemabukan’ puisi, boleh jadi visi dan ekspresi penyair buku ini hendak menyingkap perihal pertarungan kesadaran-ketaksadaran, ideologi tertentu, romantisme-idealisasi, mungkin pula perihal identitas-ruang-waktu tertentu. Setidak-tidaknya puisi-puisi dalam buku ini adalah refleksi: Puisi adalah citra pikiran penyairnya. Baik citraan dari pikiran yang pasif maupun yang aktif. Baik pemikiran-pemikiran penyair yang merefleksikan dunia luar dari puisi-pusinya, maupun pemikiran yang benar-benar baru yang memancarkan cahaya penyair sendiri.

Maka pertanyaan kreatif bagi penyair dan pembaca adalah seberapa rahasianya terkandung dalam karnaval suara dari puisi-puisi bertebaran di buku ini, dari berbagai medium; kesan, pesan, penemuan, doa, upacara, lukisan alam, renungan, nyanyian, ode/puji-pujian, kesaksian, kisah, cerita rakyat, dongeng, seni, tokoh, protes, mitos wayang, kepahlawanan, solilokui, keprihatinan, kegelapan, nestapa?

Maka jelas, buku puisi ini pun dengan demikian penting keberadaannya untuk dibaca oleh siapa saja. Oleh karena, setiap puisi bagi penyair yang militan—tak terkecuali penulis buku ini—menampilkan kejujuran-kejujuran dalam proses ‘menemui’ dan ‘menemukan’ kata dalam mencipta bahasa puitik nantinya akan sampai pada masanya—mencapai kematangan bahasa puitik dalam kepenyairannya.

Kejujuran, militansi dan ketenangan dalam mencipta sublimasi boleh dikata nyawa bagi setiap penyair. Ambisi, emosi, tujuan praktis bukanlah darah penyair. Karena bukankah proses yang tidak bernafsu untuk mencapai tujuan tertentu secara emosional dalam penulisan sastra adalah yang tertinggi dalam bersastra?

Sederhananya, kepentingan pembaca dalam hal ini adalah setidak-tidaknya, sebagaimana penyair bisa menjadikan puisi ini refleksi dari pengalaman kehidupan nyatanya, militansinya, keseriusannya.

Bagi penerbit, dengan terbitnya buku ini tentu saja suatu kehormatan dilibatkan berperan penting dalam merayakan karnaval sastra, puisi, metafora, kata. Betapa dunia menjadi lebih berlapis berkat metafora-metafora yang disublimasi menjadi kejutan-kejutan. Betapa sublimasi kata menjadi metafora yang demikian akan melambungkan ambiguitas puisi dan sangat penting bagi pembaca sebagai ‘penyair’ atau penulis puisi kedua dari puisi-puisi yang dibacanya dalam buku ini.

Inilah harapan besarnya bagi penerbit, dan sudah barangtentu bagi pembaca khususnya dan dunia sastra umumnya—utamanya khazanah kepenyairan.

***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *