Pesantren Tegalsari, dengan tokoh Ki Ageng Muhammad Besari dan Kiai Hasan Besari, tak bisa dilupakan ketika menyebut masa lalu Ponorogo. Selain sebagai desa perdikan yang mashur, pesantrennya begitu legendaris dengan menghasilkan tokoh-tokoh berpengaruh yang memiliki ruh pengabdian tingkat tinggi.
Martin van Bruinessen, pengamat Islam dari Belanda, bahkan menyebut pesantren Tegalsari sebagai pesantren pertama di Jawa. Hal itu karena ia menjadikan standar model pesantren Jawa seperti yang dijumpainya sekarang, sehingga ia menyebut pesantren baru ada pada abad ke-18, yaitu Pesantren Tegalsari. Tulisan lain yang masuk karya klasik terkait dengan Tegalsari adalah “De Priesterschool te Tegalsari” (Sekolah Ulama Tegalsari) karya F. Fokkens yang terbit dalam TBG, 1877, No. 24.
Desa Tegalsari termasuk Kecamatan Jetis, Kabupaten Ponorogo. Sisa-sisa kebesaran Pesantren Tegalsari masih dapat dilihat pada beberapa bangunannya. Di antaranya adalah masjid Agung Tegalsari dan ‘dalem’ Ki Ageng Muhammad Besari. Masjid tersebut merupakan peninggalan Ki Ageng Muhammad Besari, yang didirikan pada 1742, pada zaman pemerintahan Sunan Paku Buwono II.
Masjid dan Pesantren Tegalsari memang mempunyai kaitan erat dengan kisah pelarian Sunan Paku Buwono II ke wilayah Ponorogo. Di pesantren inilah Sunan Paku Buwono II tinggal beberapa hari dan mendapat bimbingan Ki Ageng Muhammad Besari. Pada saat itu, 30 Juni 1742, Kerajaan Kartasura sedang menghadapi pemberontakan Cina yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi atau Sunan Kuning. Begitu hebat pemberontakan sehingga Sunan Paku Buwono II terpaksa meninggalkan kraton dan menuju wilayah Ponorogo sampai akhirnya bertemu dengan Ki Ageng Muhammad Besari.
Berkat nasehat dan bantuan Ki Ageng Muhammad Besari, api pemberontakan dapat dipadamkan dan Sunan Paku Buwono II dapat bertahta kembali di Kartasura. Untuk membalas kebaikan Ki Ageng Muhammad Besari, Desa Tegalsari dinyatakan sebagai desa ‘perdikan’, yang bebas membayar pajak pada raja yang berkuasa. Adapun dalam khasanah Jawa, Pesantren Tegalsari disebut dengan Pesantren Gebang Tinatar.
Masjid Tegalsari sendiri dibangun dengan arsitektur Jawa. Bertiang 36 buah, yang diyakini sebagai jumlah wali songo (3+6=9). Atapnya berbentuk kerucut. Hingga kini, di sekitar masjid itu masih dijumpai peninggalan kuno. Umpak batu atau tempat pasujudan di depan masjid, yang diyakini berasal dari masa Majapahit. Konon, batu-batu itu tidak bisa dipindah.
Di dalam masjid tersimpan kitab yang berumur ratusan tahun yang diyakini ditulis Ronggowarsito. Usut punya usut, Pesantren Tegalsari adalah episentrum intelektual pada zamannya. Pasalnya, tinggalan naskah kunonya juga luar biasa, sebagaimana yang dibuktikan sebuah disertasi tentang naskah pesantren di Jawa Timur yang pernah digarap di Leidein pada 2006. Jika selama ini yang terkenal adalah pujangga penutup Jawa, alias Ronggowarsita, diperkirakan eyangnya atau pendahulunya, yaitu Yasadipura I & II juga nyantri di sana.
Peninggalan kuno lainnya adalah ‘Dalem Gede’, rumah Ki Ageng, yang berada di depan masjid. Di samping rumah, berada antara masjid dan ‘Dalem Gede’ terdapat sebuah pondok panggung tua. Konon, begitulah dulu pondokan para santri. Lokasinya mengelilingi masjid. Kini hanya disisakan satu dan diyakini sebagai pondokan Ranggawarsito. Di belakang masjid terdapat areal makam, di antaranya makam Ki Ageng Muhammad Besari dan keluarga besarnya, termasuk puteranya, serta cucunya yang membuat pesantren itu demikian mashur, yaitu Kiai Hasan Besari.
Pascakepemimpinan Ki Ageng Muhammad Besari yang wafat pada 1773, Pesantren Tegalsari berturut-turut dipegang oleh Kiai Ilyas (1773—1800), Kiai Kasan Yahya (1800), dan Kiai Hasan Besari (1800—1862). Pada masa inilah Pesantren Tegalsari mencapai keemasannya. Dalam “Babad Ponorogo” disebut santrinya berjumlah seribu orang dan kebanyakan datang dari luar Ponorogo. Adapun Van Der Chijs, seorang orientalis menyebut bahwa jumlah santri Tegalsari pada waktu itu sekitar 3000 orang.
Sepeninggal Kiai Hasan Besari, jumlah santri Tegalsari, kian menyusut. Walaupun demikian , banyak para santri dan anak cucu Ki Ageng Muhammad Besari yang mengembangkan Islam dengan mendirikan lembaga pendidikan dan Pondok Pesantren, baik di kawasan Wengker maupun kawan berbagai daerah di Nusantara. Bahkan Pondok Modern Darussalam Gontor yang terletak di wilayah kecamatan Mlarak, didirikan oleh tiga serangkai yang masih terbilang anak-cucu Ki Ageng Muhammad Besari. Begitu pula dengan salah satu anak dan cucunya yang menjadi ulama terkenal di negeri jiran, Malaysia, karena diambil menantu seorang raja di Malaysia.
Selain itu, K.H. Abdul Manan yang terkenal sebagai pendiri Pesantren Termas, juga K.H. Mas Mujahid, pengasuh Pesantren Sidoresmo, Surabaya, dan masih banyak lagi tokoh intelektual dan arsitektur pesantren merupakan alumni atau keluarga Tegalsari yang mendirikan pesantren di seantero Nusantara. Alumni dan dzurriyah Tegalsari juga banyak yang menjadi tokoh masyarakat yang tercatat dalam sejarah, antara lain pujangga Jawa R. Ng. Ranggawarsito, tokoh pergerakan Nasional HOS Cokroaminoto, dan lainnya.
Kini pesantren Tegalsari memang masih berdiri. Bangunannya terbilang baru dan berada di sebelah utara masjid. Namun, jumlah santrinya bisa dihitung dengan jari. Sebagian di antaranya adalah orang yang sedang mencari berkah keilmuan di Tegalsari. Meski demikian masjidnya tetap dikunjungi orang, terutama pada Senin Kliwon dan Jumat Kliwon. Tetapi, itu beberapa tahun lalu. Sekarang ada perkembangan lain. Masjid Tegalsari dan kompleks makam Kiai Ageng Muhammad Besari menjadi wisata religi yang ramai, yang tiap minggu dan malam Jumat didatangi pengunjung. Sayangnya, pada musim Covid ini, kompleks itu ditutup hingga 22 Februari 2021.
Demikianlah.
MA On Tegalsari, 2021.
*) Mashuri, lahir di Lamongan, Jawa Timur, 27 April 1976. Karya-karyanya dipublikasikan di sejumlah surat kabar dan terhimpun di beberapa antologi. Dia tercatat sebagai salah satu peneliti di Balai Bahasa Jawa Timur. Tahun 2018, bersama Sosiawan Leak dan Raedu Basha, dipercaya jadi kurator yang bertugas memilih narasumber dan menyeleksi para peserta Muktamar Sastra. Hubbu, judul prosanya yang mengantarkan namanya meraih predikat juara 1 Sayembara Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), tahun 2006. Dia menggeluti hal-ihwal terkait tradisionalitas dan religiusitas. Mashuri, merupakan lulusan dua pesantren di tanah kelahirannya. Dia menyelesaikan pendidikannya di Universitas Airlangga dan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Di luar aktivitas pendidikannya, berkiprah di Komunitas Teater Gapus, dan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) Surabaya.
Ilustrasi: Masjid, Dalem Gede, kompleks makam, dan gambar Kiai Ageng Muhammad Besari, Tegalsari, Ponorogo.