/1/
Saya baru saja selesai membaca Anwar Tohari Mencari Mati karya Mahfud Ikhwan dan Burung Kayu karya Niduparas Erlang secara berurutan, dua novel yang menyenangkan untuk dibaca. Dalam catatan ini saya tidak hendak membandingkan antara dua novel tersebut. Dua novel itu dibuat dengan cara yang sama sekali berbeda sehingga memang tak cocok untuk dihadap-hadapkan. Sementara Anwar Tohari sangat cerewet dan berusaha menjangkau banyak hal, Burung Kayu ditulis dengan pilihan diksi yang ketat dan ‘sangat lokal’. Dalam Anwar Tohari kita bisa menemukan Masyumi, Ida Laila, Asmaraman S. Kho Ping Hoo, hingga HB Jassin. Sedangkan dalam Burung Kayu kita akan melulu berkutat dalam kehidupan masyarakat Mentawai di pedalaman Pulau Siberut yang diwakili oleh Saengrekerei, Aman Legeumanai, Taksilitoni, Legeumanai beserta konflik internal antar-uma maupun konflik eksternal dengan pemerintah dan modernitas. Karena keduanya memiliki perbedaan yang mencolok, cara paling pas untuk membahas keduanya adalah dengan menempatkannya di ruang masing-masing.
/2/
Anwar Tohari yang Meriah
Kita bisa berdebat apakah Anwar Tohari adalah novel yang bagus atau biasa-biasa saja atau buruk, tetapi satu hal yang sukar dibantah adalah bahwa novel ini ditulis dengan cerdik—maksud saya, ia ditulis dengan penuh pernak-pernik yang berguna sebagai pemikat untuk menarik perhatian banyak kalangan. Peminat sejarah kemungkinan bakal menyukai novel ini lantaran Anwar Tohari banyak menyinggung peristiwa-peristiwa sejarah macam konflik ’65 dan gesekan Masyumi-PKI; peminat dangdut akan tertarik karena sejumlah nama pedangdut dan lirik lagu dangdut dikutip terang-terangan dalam Anwar Tohari; begitu pula peminat topik keagamaan, sastra, silat, politik, dan penyuka novel thriller/detektif. Sebelum membaca novel ini saya heran mengapa banyak orang dari berbagai latar belakang tampak tertarik dengan novel teranyar karya Mahfud Ikhwan, tetapi setelah membacanya keheranan saya segera terjawab. Novel ini memang ditulis untuk orang banyak. Jadi, tak perlu ternganga-ngana kalau kelak banyak mahasiswa dari berbagai jurusan menjadikan novel ini sebagai bahan tugas akhir mereka.
Lantas, apa sebenarnya hal utama yang hendak dibahas novel ini? Itu adalah pertanyaan yang sulit. Namun, tentu kita bisa saja mengarang-ngarang jawaban atas pertanyaan tersebut sesuka kita. Novel ini bisa disebut sebagai novel mengenai lelaki yatim-piatu bernama Warto Kemplung alias Anwar Tohari yang musti berhadapan dengan anak dari salah seorang musuh lamanya. Novel ini bisa juga disebut sebagai novel yang hendak menggugat kesusastraan Indonesia (walaupun dalam hal ini penulis tampaknya malu-malu dengan tidak menggunakan ‘suaranya sendiri’, melainkan suara tokoh dalam surat Imam Widjaja). Novel ini juga dapat dicap sebagai novel yang hendak mencipta ulang sejarah. Tetapi memang paling gampang menyebut novel ini sebagai novel biografis yang mereka ulang kehidupan seorang pembual Rumbuk Randu bernama Warto Kemplung alias Anwar Tohari.
Selain kekayaan bahasan, hal yang berpotensi membuat novel ini disukai banyak orang adalah tempo ceritanya yang cenderung cepat dan gaya bahasanya yang lugas. Anwar Tohari juga penuh aksi sehingga dalam satu titik, ia boleh disebut memiliki unsur sinematik yang kental. Perhatikan saja adegan ketika Anwar Tohari mengatasi tiga orang bajing loncat di atas truk, Anwar Tohari bertarung melawan “Ndan”, dan momen saat Mustofa diculik dan disekap oleh Hendro. Satu-satunya hal menyebalkan—kalau boleh dibilang demikian—adalah novel ini diakhiri dengan penutup yang gantung (dan kita tahu apa tujuan penutup semacam itu, ya, tak salah lagi, novel ini akan memiliki lanjutan).
/3/
Burung Kayu yang Pasrah
Novel ini penuh dengan istilah-istilah lokal, yang hanya dimiringkan tanpa dibubuhi keterangan dalam catatan kaki. Konon teknik semacam itu adalah teknik yang mengagumkan sehingga banyak pembaca memuji keberanian Niduparas Erlang—selaku penulis Burung Kayu—meniadakan catatan kaki. Berulang-ulang kita menemukan istilah ‘uma’, ‘tuddukat’, ‘sikerei’, ‘barasi’, ‘situri’ sepanjang Burung Kayu tanpa benar-benar tahu apa artinya. Memang perlu keterampilan khusus menerapkan teknik semacam itu, tapi pujian berlebihan atas poin itu rawan membuat kita menganggap bahwa novel yang baik adalah novel tanpa catatan kaki. Keberadaan catatan kaki, catatan tangan, catatan punggung, atau catatan apa pun hanyalah satu dari pelbagai segi suatu karya. Jadi, kalau suatu karya memiliki keunggulan (hmm, apakah hal semacam itu betul-betul suatu keunggulan?) dalam sisi itu, hendaklah tak usah dipuji secara berlebihan, sebab berlebih-lebihan adalah perbuatan tercela…
Terlepas dari ketiadaan catatan kaki, novel ini layak diapresiasi karena ia terlihat ditulis dengan penuh kesungguhan. Tentu tidak gampang menggambarkan kehidupan suatu kelompok masyarakat tertentu dengan cara yang jujur, detail, dan tidak tendensius. Penggunaan banyak istilah lokal sepanjang novel juga mustahil dilakukan kecuali oleh orang yang sudah mempelajari bahasa dan adat daerah terkait dengan telaten. Muatan antropologis dan etnografis yang terkandung dalam Burung Kayu menjadi keunggulan tersendiri. Namun, tepat di titik itulah novel ini terlihat tidak lepas dalam menggambarkan tokoh-tokohnya, seolah-olah sang penulis takut akan terjebak dalam kesalahpahaman terhadap tokoh-tokoh yang diceritakannya. Umpamanya saat menuturkan kisah hidup Legeumanai (anak dari Aman Legeumanai, tokoh yang mati karena jatuh dari pohon katuka saat hendak meletakkan burung kayu di pucuknya). Sejak kanak-kanak, sejak Legeumanai menyaksikan ayahnya mati di depan matanya sampai ia tumbuh dewasa, Legeumanai digambarkan sangat polos dan tanpa perlawanan. Ia begitu gampang berpindah agama (terlepas apa pun alasannya) dan berganti komitmen (diminta sekolah menurut, diminta jadi sikerei pun menurut). Legeumanai bagai hidup tanpa kehendak pribadi dan itu membuat saya jatuh iba kepadanya.
Bai Legeumanai atawa Taksilitoni pun demikian. Ia tidak dapat berbuat banyak atas segala nasib yang menimpanya. Hanya Saengrekerei yang digambarkan memiliki daya lebih. Ia bisa lari dari uma-nya ketika keadaan sudah tak berpihak kepadanya. Ia juga ditunjuk menjadi kepala desa sehingga menjadi orang yang dituakan di antara para warga di barasi. Namun, bahkan dalam posisi sebagai kepala desa pun Saengrekerei tetap tak kokoh-kokoh amat. Warganya pernah mendatangi kantornya dan menuduhnya telah menyelundupkan bantuan dari pemerintah. Dalam adegan itu, walau Saengrekerei digambarkan tetap tenang dan berani, posisinya melemah dan mendekati kepasrahan. Saat tokoh-tokoh dalam Burung Kayu berhadapan dengan pemerintah dan orang luar, mereka juga selalu dalam posisi submisif alias kalah. Kepasrahan tokoh-tokoh dalam Burung Kayu membuat saya merasa novel ini tak ada bedanya dengan banyak novel lain yang melulu menjadikan orang-orang suku tertentu sebagai objek cerita, yang hanya menjadi karakter cerita tanpa pernah benar-benar memiliki kuasa dan kekuatan. Sekalipun tokoh-tokoh itu memiliki daya dan kehendak untuk melawan, mereka selalu kalah. Apakah tokoh-tokoh tersebut memang selemah itu ataukah para penulis kita yang tak memiliki keberanian ‘menghidupkan’ tokoh-tokoh yang (dianggap) lemah tersebut? Bukankah tokoh-tokoh dalam ‘kehidupan nyata’ dan tokoh-tokoh dalam karya sastra adalah dua entitas yang berbeda? Kenapa yang lemah harus senantiasa digambarkan lemah? Kenapa burung kayu yang magis yang gagal dipasang Aman Legeumanai di pucuk pohon katuka malah menjadi burung kayu ‘cenderamata’ belaka?
***
*) Erwin Setia lahir tahun 1998. Penikmat puisi dan prosa. Kini menempuh pendidikan di Prodi Sejarah dan Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di berbagai media seperti Koran Tempo, Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Minggu Pagi, Solopos, Haluan, Koran Merapi, Padang Ekspres, dan Detik.com. Cerpennya terhimpun dalam Dosa di Hutan Terlarang (2018). Bisa dihubungi di Instagram @erwinsetia14. Blognya: setelahmembaca.wordpress.com
NB: Terima kasih kepada Muhammad Nanda Fauzan yang sudah memberikan saya novel Anwar Tohari Mencari Mati dan Burung Kayu secara cuma-cuma. Semoga antum panjang usia dan panjang jenggot!
Terkait: http://sastra-indonesia.com/2021/03/seorang-pembual-menggugat-ekosistem-sastra-indonesia/