Taufiq Wr. Hidayat *
Pada setiap peristiwa, selalu ada yang tertinggal. Barangkali itu yang membuat orang mengabadikan tiap peristiwa dengan penanda. Lantaran peristiwa berlalu. Tak menetap di sini. Melainkan lekas berada di sana. Materi selalu berganti, tidak tetap. Berubah. Tidak ajeg. Bertambah. Lalu berkurang. Menyusut. Kemudian pasti hilang. Atau rusak. Rusak dalam arti manusia tak lagi menggunakannya, tak lagi membutuhkannya, tak lagi memandangnya, tak lagi memperlakukannya. Sebuah meja, lima puluh tahun yang lalu mahal. Sekarang boleh jadi murah. Atau dulu murah, sekarang bisa saja mahal karena orang memperlakukannya sebagai benda antik. Dan ia tetap saja meja lantaran manusia masih memperlakukannya sebagai meja, tetapi sebagai benda, ia telah melewati perubahan dalam satuan masa.
Buruh bekerja sepenuh tenaga. Resikonya tidak main-main. Tapi dengan bayaran yang sangat kecil. Tak sepadan dengan resiko yang ditanggungnya. Sang juragan mendapatkan manfaat dari tenaga si buruh. Tapi dengan hanya mengeluarkan uang sekadarnya saja. Ketika si buruh dahaga, tak ada air yang dia sediakan. Tak sebatang rokok. Dan tak ada segelas kopi. Menurut orang bijak, melihat orang kaya yang sejati itu, jangan dilihat seberapa banyak kekayaan hartanya. Namun lihatlah tingkat kesejahteraan dan kebahagiaan orang dekatnya, yakni sopirnya, pegawainya, pembantunya, sahabat karibnya. Banyak orang kaya—kata orang bijak yang tak bersedia disebutkan namanya itu, orang dekatnya susah. Pembantunya tersiksa dan bahkan tak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara wajar. Kawan dekatnya bahkan jadi kelaparan atau kebingungan. Lalu apakah kekayaan seperti itu dapat disebut kekayaan sejati yang akan menyelamatkan hidupnya di masa mendatang atau kelak di hadapan Tuhan? Kekayaan yang menindas atau yang membebaskan? Kekayaan atau pertanda celaka yang terbungkus kemegahan dan melimpahnya suatu pencapaian? Ia hanya melihat orang berbuat buatnya, dibayar, kemudian lupakan. Hubungannya dengan orang lain hanya sebatas untuk kepentingan dirinya sendiri. Tetapi menjadi angkuh dan kikir. Begitu tanya orang bijak yang tak mau disebutkan namanya. Mana mungkin ia akan mencapai kearifan, jika setiap kearifan didapatnya dari membeli seperti membayar tukang cuci? Tanyanya.
Siapakah orang bijak yang tak pernah bersedia disebutkan namanya itu, yang tak berkenan dikenal banyak orang, dan seringkali menjauhi keramaian? Ya. Orang bijak yang ramah, baik hati, sederhana, dan pemurah. Orang Jawa mengenal tokoh Semar. Tokoh yang tak bisa disebut fiksi, juga mustahil disebut tokoh nyata. Ke-fiksi-annya sangat nyata, tetapi kenyataannya sangat fiksi. Ia bisa menjadi fiksi, tapi dapat juga menjadi nyata. Pada suatu keadaan tertentu, ia bahkan mungkin bukan kedua-duanya. Ia boleh jadi orang yang setiap saat kita temui, karib, tapi kita tak kunjung menyadari bahwa sesungguhnya ia adalah mutiara yang sangat berharga. Bethara Ismaya yang agung, tapi hanyalah orang biasa. Hatinya terluka jika melihat ketimpangan, lantaran ia adalah korban. Kokoh dan keras terhadap kebusukan, tanpa kompromi. Tapi apabila ia melihat penderitaan dan kesetiaan, melihat sahabatnya, alangkah pemurah hatinya, apa pun yang kau minta akan diberikannya, bahkan seandainya pun kau menginginkan seluruh isi dunia ini, maka seluruh isi dunia ini dapat kau ambil dengan sangat mudah darinya, atau akan ia berikan padamu dengan riang gembira.
Saya tak pernah rela ditinggalkan orang-orang bijak yang baik hati itu. Orang-orang yang setiap detik nafasnya adalah kehidupan bagi alam semesta, yang setiap tatapan matanya adalah kasih sayang, dan segenap gerak hidupnya sangat bermanfaat bagi sesamanya. Orang-orang yang tak banyak bicara, tapi setiap kata yang diucapkannya, tiap sesuatu yang disentuhnya menjadi kenangan indah yang tak terlupakan. Orang-orang bijak yang kadangkala pergi begitu saja, tanpa pesan, bahkan tak perlu bicara. Seolah ia meneladankan dengan dirinya sendiri, bahwa hidup gak perlu kebanyakan basa-basi. Kalau mau berbuat baik, berbuat saja. Tak usah ribut, atau dipamer-pamerkan. Kalau mau makan, ya makan saja, tak perlu diumum-umumkan. Orang-orang bijak yang baik itu diciptakan Tuhan seakan-akan seperti utusan; mendatangi manusia, memberikan mata air dalam dahaga, kemudian pergi nyaris secara tiba-tiba, tanpa ingin lebih dalam dikenali jati dirinya. Manusia biasa yang kebajikannya laksana seorang ibu. Ya. Seorang ibu. Yang bahkan sesobek gombal dapur yang ditinggalkan seorang ibu, bermanfaat bagi anak dan cucunya hingga berpuluh tahun kemudian. Hatinya kaya, tidak miskin dan picik. Pandangannya luas, bukan dendam dan sakit hati.
Tembokrejo, 2021
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.