PENGHILANGAN KATA DALAM KRITIK SASTRA INDONESIA (V)

Jawaban untuk bagian A. Pengantar esainya (makalahnya) Sofyan RH. Zaid

Nurel Javissyarqi

V
Perpindahan bahasa Melayu (Kuno) dengan aksara Pallawa, Kawi, Jawa, Arab (pegon), hingga beraksara Latin di dataran subur Nusantara, tak lebih melalui pelbagai kebijakan para penguasa pada masa-masanya, dibalik kesuntukan para pustakawan, kaum penerjemah, kalangan pujangga dlsb. Namun sayang, harta berlimpah kekayaan pengetahuan sebelumnya itu, banyak diboyong berupa cara upeti maupun paksa atas para penjajah ke negerinya, Belanda, Inggris, dan sangat mungkin sampai Italia. Serupa nasib tragis dialami batuan Candi Borobudur pindah ke negara tetangga. Kita melihat hal usulan kebijakan Gubernur Jenderal Hindia Belanda J.J. Rochussen, agar bahasa Melayu ditetapkan sebagai bahasa pengantar yang dipakai di kepulauan Nusantara, tentu mengekalkan akrasa Latin dengan kehendak kuat menggantikan dari aksara Pallawa, Kawi, Jawa hingga Arab, atau gagasan yang dimunculkan Rochussen kita rasai hingga sekarang, serupa pelajaran bahasa beraksara Jawa tak lagi populer, dan tulisan Arab pegon tinggal bernafas dalam pesantren-pesantren yang pamornya kian meredup.

Dan kebijakan itu dipertegas pandangan Van Ronkel: “Berbicara dalam bahasa Melayu merupakan hal biasa bagi kami… sayangnya orang Belanda yang dapat membaca (mengerti huruf Arab) masih sangat langka.” (Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya: Batas-batas Pembaratan. Penerbit Gramedia, 1996: 96, MSM: 21). Di tahun 1818 ditetapkan, bahwa salah satu tugas pemerintahan Hindia Belanda adalah: “Merencanakan langkah yang tepat untuk menyebarluaskan pengetahuan bahasa Melayu, Jawa dan bahasa-bahasa lainnya di antara penduduk bangsa Eropa.” Selepas pemerintahan peralihan Inggris, usaha penyebaran huruf Latin dalam bahasa Melayu diimpelementasikan di hampir semua peraturan yang dikeluarkan pemerintah. Tujuan lain usaha itu, selangkah pemutusan bahasa Melayu dari asosiasi pengaruh Islam yang terikat pemakaian huruf Arab.
***

Perpindahan (peralihan) huruf Pallawa ke Kawi tentu memiliki sejarah kebijakan tersendiri, dan pengalihan huruf Jawa ke Arab (pegon) juga bersimpan riwayatnya masing-masing. Dan bahasa Melayu berkembang di atas aksara-aksara tersebut ditimpai rupa pergeseran maknanya, ada yang mengalami penyempitan, perluasan pula mungkin penyilangan makna perkawinan arti atas kata-kata yang diemban bahasa Melayu di bumi Nusantara. Para guru, ulama,’ kaum cendekia, tidak lebih tangan panjang penguasa oleh kebijakan yang dipatenkan, atau tradisi tulisan terus dirawat, dikembangkan bagi generasi lanjut. Dan rerantai panjang ini telah menghasilkan banyak temuan dari kesuntukan teliti yang merawat malam-malamnya, menajamkan pengertian di waktu siang menerawang dari bentuk perubahan yang selalu mendapati penentu pada masa-masa penulisan.

Semua melewati proses panjang tonggak-tonggak peradaban bersegala limpahan kekayaannya, dan dapat dipastikan melalui pelbagai periode, jenjang peraturan. Misal Gubernur Jenderal Van der Capellen (1816-1826) membuat sejumlah peraturan, bertujuan meningkatkan pengetahuan bahasa ambtenar Eropa. Sekolah Marine di Semarang (1819), mengajarkan bahasa Jawa dan Melayu di samping bahasa Belanda, Prancis, dan Inggris. Dan kebijakan pemerintah akan pentingnya penguasaan bahasa Melayu, dilanjutkan Gubernur Jenderal H.M. de Kock (1826-1830) yang mengeluarkan peraturan No. 16, 14 April 1826, bahwa ambtenar sipil dan militer yang bertugas di pos-pos sipil, diberikan kewajiban mempelajari buku tata bahasa Melayu dan kamus Malayu karya W. Marsden.

Hal tersebut disusul keputusan peraturan selanjutnya, dan kedudukan bahasa Melayu menjadi semakin penting sebagai bahasa administrasi serta birokrasi pemerintahan, selepas Gubernur Jenderal D.J. de Eerens (1836-1840) mengeluarkan keputusan No. 30, 22 Mei 1837. Kemudian laporan Menteri Koloni J.C. Baud (1840-1849) kepada Raja, 28 Juni 1842, mengenai keberadaan Akademi Delft sebagai lembaga yang diharapkan dapat mencetak tenaga-tenaga ambtenar Hindia Belanda yang punya pengetahuan bahasa secara baik, lantas mengungkap alasan belum perlunya bahasa Belanda diajarkan bagi penduduk pribumi, seperti pendapatnya: “Jika suatu bangsa yang dijajah selalu diajak bicara dalam bahasa asing, mereka akan senantiasa diingatkan… akan kedudukannya sebagai bahawahan” (Historische Note, 1900:23) : MSM: 24.
***

Dalam peralihan yang terjadi di atas, tak hanya sebatas bidang kebahasaan, pengetahuan lain turut mempengaruhi; filsafat, psikologi, sejarah, keagamaan juga perihal lain yang memakai tangan panjang kata-kata (bahasa), demikian pun tidak lepas dari kerangka penafsiran yang terikat fenomena; kelahiran, kematian, siklus perubahan musim, perputaran bumi, pasang dan surut air laut, desiran angin gulungan taupan, perjalanan hewan -penyebarannya, pertumbuahan pepohonan, sinar mentari, keteduhan bulan, atau keseluruhan itu terus mengajak dimaknai serta mengikuti kehendak perubahan alam.

Kita teringat nama Charles Adriaan van Ophuijsen (Solok, Sumatera Barat, 1856 – Leiden, 19 Februari 1917), seorang ahli bahasa berkebangsaan Belanda, yang pernah jadi inspektur sekolah di maktab perguruan Bukittinggi, Sumatera Barat, profesor bahasa Melayu di Universitas Leiden, yang menerbitkan Kitab Logat Melajoe, dan Maleische Spraakkunst (1910), diterjemahkan T.W. Kamil dengan judul Tata Bahasa Melayu, dan menjadi panduan bagi pemakai bahasa Melayu di Indonesia. Barangkali van Ophuijsen bersama Engku Nawawi gelar Sutan Makmur dan Moh. Taib Sultan Ibrahim (wikipedia), telah meneliti jauh kehadiran pula perkembangan bahasa Melayu dari aksara Pallawa, Kawi, Jawa, Arab (pegon) bersegala yang melingkupi, hingga pilihan akhirnya pada aksara Latin bagi kehendak perubahan jaman yang menaungi. Sampai tahun 1901 diadakan pembakuan ejaan bahasa Indonesia yang pertama, atau 7 tahun sebelum cetusan kongres Boedi Oetomo. Sejarah selanjutnya dan pekabaran lain, dapat dibaca di buku MMKI bagian dialog imajiner bersama Muhammad Yamin.
***

Kemudian pengetahuan lain yang perlu ditelusuri, Kerajaan Sriwijaya (Srivijaya: Jawa, bahasa Thai: Siwichai), salah satu kemaharajaan bahari yang pernah berdiri di pulau Sumatera, yang memberi pengaruh besar Nusantara ke daerah kekuasaan berdasarkan peta membentang dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa Barat, dan mungkin Jawa Tengah. Dalam bahasa Sanskerta, sri berarti “bercahaya atau gemilang,” dan wijaya bermakna “kemenangan atau kejayaan,” maka Sriwijaya itu “kemenangan yang gilang-gemilang.” Bukti awal keberadaan kerajaan tersebut berasal abad ke 7 ; seorang pendeta Tiongkok dari Dinasti Tang, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan.

Prasasti tertua Sriwijaya berada dalam abad ke 7, Prasasti Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682, ditemukan M. Batenburg, 29 November 1920 di Kampung Kedukan Bukit, Kelurahan 35 Ilir, Palembang, Sumatera Selatan, di tepian Sungai Tatang yang mengalir ke Sungai Musi. Prasasti berbentuk batu kecil berukuran 45×80 cm, ditulis dalam aksara Pallawa, bahasa Melayu Kuna, yang sekarang tersimpan di Museum Nasional Indonesia bernomor D.146. Dan mungkin, Prasasti Nalanda berangka tahun 860 berbahasa Melayu Kuno, dari penafsiran manuskrip tampak menyebutkan nama Sri Maharaja di Suwarnadwipa, Balaputradewa anak Samaragrawira, cucu dari Sailendravamsatilaka (mustika keluarga Sailendra) dengan julukan Sriviravairimathana (pembunuh pahlawan musuh), raja Jawa yang kawin dengan Tara, anak Dharmasetu.

Prasasti Talang Tuo ditemukan Louis Constant Westenenk (Residen Palembang) 17 November 1920 di kaki Bukit Seguntang (Bukit Siguntang), dan dikenal salah satu peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Keadaan fisiknya bidang datar yang ditulisi berukuran 50 cm x 80 cm. Prasasti ini berangka tahun 606 Saka (23 Maret 684 Masehi) dalam Aksara Pallawa bahasa Melayu Kuno, terdiri 14 baris. Sarjana pertama yang berhasil membaca dan mengalihaksarakan prasasti adalah van Ronkel dan Bosch, dimuat di Acta Orientalia. Sejak tahun 1920, prasastinya disimpan pada Museum Nasional Indonesia di Jakarta, nomor inventaris D.145.p.

Prasasti Kota Kapur, berupa tiang batu bersurat, ditemukan di pesisir barat Pulau Bangka, di dusun kecil bernama Kotakapur. Di tulis dalam aksara Pallawa menggunakan bahasa Melayu Kuno, merupakan salah satu dokumen tertulis tertua berbahasa Melayu. Prasasti ini dilaporkan penemuannya oleh J.K. van der Meulen, dibulan Desember 1892. Orang pertama menganalisis prasasti, H. Kern, ahli epigrafi bangsa Belanda yang bekerja pada Bataviaasch Genootschap di Batavia. Pada mulanya menganggap Sriwijaya ialah nama seorang raja. George Coedes yang kemudian berjasa mengungkap bahwa Sriwijaya nama sebuah kerajaan. Hingga tahun 2012, prasasti ini berada di Rijksmuseum (Museum Kerajaan) Amsterdam, Belanda, yang berstatus dipinjamkan oleh Museum Nasional Indonesia (Sudah balik di Indonesia kah?). Prasasti inilah satu sedari lima buah batu prasasti kutukan yang dibuat Dapunta Hyang, seorang penguasa dari Kadatuan Sriwijaya.

Prasasti Karang Brahi merupakan prasasti dari jaman kerajaan Sriwijaya yang ditemukan tahun 1904 oleh Kontrolir L.M. Berkhout di tepian Batang Merangin, di Dusun Batu Bersurat, Karang Berahi, Pamenang, Merangin, Jambi. Prasasti ini tak berangka tahun, tapi terlihat (teridentifikasi) menggunakan aksara Pallawa bahasanya Melayu Kuno. Isinya mengenai kutukan bagi yang tidak tunduk -setia kepada raja, pun orang-orang berbuat jahat, dan isi kutukannya mirip yang terdapat di Prasasti Kota Kapur dan Prasasti Telaga Batu.

Prasasti Sojomerto peninggalan Wangsa Sailendra, ditemukan di Desa Sojomerto, Reban, Batang, Jawa Tengah. Prasasti ini beraksara Kawi berbahasa Melayu Kuno. Prasastinya tidak menyebut angka tahun, berdasarkan taksiran analisis paleografi diperkirakan kurun abad ke-7 awal abad ke-8 M. Prasasti ini bersifat keagamaan Siwais. Isinya memuat keluarga sang tokoh utamanya, Dapunta Selendra, ayahnya bernama Santanu, ibunya Bhadrawati, sedangkan istrinya Sampula. Prof. Drs. Boechari berpendapat, tokoh bernama Dapunta Selendra adalah cikal-bakal raja-raja keturunan Wangsa Sailendra yang berkuasa di Kerajaan Mataram Hindu. Sedang bahan prasastinya batu andesit dengan panjang 43 cm, tebal 7 cm, tinggi 78 cm. Tulisannya terdiri 11 baris yang sebagian barisannya rusak terkikis usia masa.

Prasasti Gandasuli peninggalan Kerajaan Mataram Kuno ketika dikuasai Wangsa Syailendra. Prasasti ini ditemukan pada reruntuhan Candi Gondosuli, desa Gondosuli, Bulu, Temanggung, Jawa Tengah. Yang mengeluarkan itu anak raja (pangeran) bernama Rakai Rakarayan Patapan Pu Palar, juga adik ipar Raja Mataram, Rakai Garung. Prasasti Gandasuli terdiri dua keping, disebut Gandasuli I (Dang pu Hwang Glis), dan Gandasuli II (Sanghyang Wintang), ditulis menggunakan bahasa Melayu Kuno beraksara Kawi (Jawa Kuno), tahun 792 M. Teks prasasti Gandasuli II terdiri lima baris, berisi filsafat, ungkapan kemerdekaan dan kejayaan Syailendra. (wikipedia).

Dan penemuan-penemuan muakhir atau ditemukannya kembali prasasti-prasasti lain, kian memperkuat betapa bahasa Melayu (Kuno) menjadi cikal bakal bahasa persatuan Indonesia. Sungguhlah, kata “dalam” yang dihilangkan itu mengajak larut mendalami asal-usul bahasa Melayu. Sedangkan mengenai naskah kuno berbahasa Melayu, pembaca dapat menelusurinya sendiri. Di sini hanya mengharapkan tiada lagi tindak gegabah bin serampangan. Namun boleh tulisan ini masih dianggap akal-akalan, atau upaya permejengan dalam kesusastraan Indonesia mutakhir.
***

Lamongan, Jawa, 23 Sep 2019

Bersambung…

One Reply to “PENGHILANGAN KATA DALAM KRITIK SASTRA INDONESIA (V)”

Leave a Reply

Bahasa »