Bercengkerama dengan Pendekar Bahasa

Muhammad Nanda Fauzan *
Jawa Pos, 8 Des 2019

Laiknya sosok pendekar atau kesatria, buku ini tidak saja memiliki serangkaian serangan yang jitu, tetapi juga memiliki kuda-kuda dan pokok pertahanan yang kukuh.

Judul buku ini sekelebat mengingatkan saya pada James Murray dan Dokter Minor, dua tokoh sentral dalam film biopik bertajuk The Professor and the Madman (2019). Kombinasi ciamik antara seorang poliglot –dengan latar belakang nonakademis– dan kecerdasan seorang dokter militer yang mengidap gangguan kejiwaan.

Keduanya bekerja sama merumuskan Oxford English Dictionary (OED). Dokter Minor mengirim lebih dari sepuluh ribu kutipan selama ia dirawat di Boadroom Asylum, sedangkan James Murray wafat pada 1915 dan kamusnya berhenti di huruf T.

Dalam konteks tertentu, bagi saya, keduanya cocok belaka diberi julukan pendekar bahasa. Adib, yang mengutip definisi Harimurti, menulis bahwa ’’pendekar bahasa merupakan sarjana dalam bidang di luar ilmu bahasa yang menyumbangkan pikirannya bagi kemajuan bahasa (halaman 19)”

Setelahnya, dengan arsip-dokumentasi yang lengkap, kita diajak bertamasya menyusuri sejarah para pendekar bahasa yang pernah hadir di Indonesia. Dari empat pendekar mula; Ki Hajar Dewantara, M. Tabrani, Soemanang, dan Soedarjo. Hingga generasi teranyar; Ivan Lanin, penulis buku Xenoglosifilia; Kenapa Harus Nginggris (2018), dan Gustaf Kusno, penulis Gara-gara Alat Vital dan Kancing Gigi (2014).

Adib menutup esai ’’Pendekar Bahasa” dengan sederet harapan akan munculnya jurus-jurus maut untuk melawan kebuntuan sikap kita yang tunduk pada kata asing, tanpa rela bertungkus-lumus mencari padanan yang tepat. Dalam pengantar buku ini, Eko Endarmoko telah mengingatkan kita bahwa Adib memiliki sikap yang tegas terhadap fenomena berbahasa.

Sikap nonkompromi ini bisa kita pacak di bab bertajuk ’’Sikap terhadap Bahasa”. Laiknya jurus Pukulan Kunyuk Melempar Buah yang dikuasai Wiro Sableng, pendekar fiktif karangan Bastian Tito, Adib berhasil ’’menyerang’’ sekelompok orang yang mengidap gejala xenomania, pada mereka yang terlampau suka terhadap segala sesuatu yang asing.

Dalam ’’Sikap Negatif Perguruan terhadap Bahasa Indonesia”, Adib melancarkan jurusnya pada kampus-kampus di Indonesia yang memilih menggunakan bahasa asing sebagai nama gedung. Mulai rectorate and research center di Universitas Negeri Padang, MBA research center di Institut Negeri Bandung, science park Universitas Indonesia, dan lain-lain. Selanjutnya, ’’Bahasa dan Nama Klub Sepak Bola” menjadi sasaran yang tak luput dari perhatiannya.

Sedangkan dalam ’’Melecehkan Bahasa Indonesia”, Adib langsung ’’menotok’’ titik saraf para penggawa yang, alih-alih menjadi barisan terdepan dalam rangka melestarikan bahasa Indonesia, justru bersikap sebaliknya. ’’Salah satu cara melecehkan bahasa Indonesia melalui kegiatan literasi ialah menyelenggarakan acara literasi, seperti diskusi dan pameran buku, dengan menamai acara tersebut menggunakan bahasa Inggris (halaman 110)”.

Laiknya sosok pendekar atau kesatria, buku ini tidak saja memiliki serangkaian serangan yang jitu, tetapi juga memiliki kuda-kuda dan pokok pertahanan yang kukuh. Ia tampil secara utuh sebagai juru selamat, menjadi satu kesatuan yang layak diandalkan para ’’pesakitan’’.

Adib, dengan ketekunannya ’’berlatih’’ dan mencari dokumentasi juga arsip-arsip yang kompeten, selalu berhasil menautkan diri terhadap fenomena berbahasa yang hidup di tengah penuturnya. Ia mencatat dengan khidmat setiap riwayat dan merunut dengan urut segala lektur.

’’Sejarah Jomblo dan Perkembangannya” misalnya. Adib langsung merujuk pada bahasa sumbernya; Sunda.

Ia menjajarkan definisi jomblo dari Kamus Bahasa Sunda (2015) susunan R.A. Danadribrata dengan Kamus Basa Sunda (2016) susunan R. Satjadibrata. Muasalnya jomblo memang merujuk pada barang dagangan yang tak laku, lalu diterapkan pada gadis yang tak kunjung dipinang. Dan sekarang, jomblo tak lagi distingtif antara jenis kelamin.

Pendekar Bahasa menjadi sangat menarik karena ia memiliki integritas. Ia paham memutuskan posisi dan sikap. Lancar menelaah ’’kawan’’ dan ’’lawan’’. Tak melulu tunduk pada kamus-kamus yang otoritatif, tetapi berpihak pada ’’konsensus’’ masyarakat.

Sebagai satu identitas bangsa, bahasa adalah elemen penting yang tidak dapat ditawar. Penggunaan di ruang publik adalah napas pencegah kepunahan, perkembangan dan perluasan makna serupa pergaulan yang menjembatani relevansi, serta Pendekar Bahasa tak ubahnya tali yang mengikat persatuan.
***

*) Mahasiswa Filsafat UIN Banten, menulis cerita pendek dan puisi.


Judul: Pendekar Bahasa
Penulis: Holy Adib
Penerbit: Basabasi
Cetakan: I, November 2019
Tebal: 176 halaman
ISBN: 978-623-7290-39-1

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *